Pernahkah anda mendengar Jassasah?
Itulah pengawal Dajjal yang bertugas mencari-cari berita dari manusia,
bila ia menemui manusia yang lewat di pulau kediaman Dajjal. Pulau apakah itu dan dimana? Pulau itu adalah pulau misteri sampai saat ini masih disembunyikan keberadaannya oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Kali ini kami akan mengajak anda menikmati kisah di bawah ini yangmenyingkap sedikit perihal kehidupan makhluk misteri iniagar anda semakin yakin tentang kebenaran risalah Nabi kita Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-..
Dari Fathimah bintu Qois -radhiyallahu anha-, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ
الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ
يَضْحَكُ فَقَالَ لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ ثُمَّ قَالَ
أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ
إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ وَلَكِنْ
جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا
فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي
كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ
فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ
فَلَعِبَ بِهِمْ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ ثُمَّ أَرْفَئُوا إِلَى
جَزِيرَةٍ فِي الْبَحْرِ حَتَّى مَغْرِبِ الشَّمْسِ فَجَلَسُوا فِي
أَقْرُبْ السَّفِينَةِ فَدَخَلُوا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْهُمْ دَابَّةٌ
أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يَدْرُونَ مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ
كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقَالُوا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا
الْجَسَّاسَةُ قَالُوا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ أَيُّهَا الْقَوْمُ
انْطَلِقُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى
خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ قَالَ لَمَّا سَمَّتْ لَنَا رَجُلًا فَرِقْنَا
مِنْهَا أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا سِرَاعًا حَتَّى
دَخَلْنَا الدَّيْرَ فَإِذَا فِيهِ أَعْظَمُ إِنْسَانٍ رَأَيْنَاهُ قَطُّ
خَلْقًا وَأَشَدُّهُ وِثَاقًا مَجْمُوعَةٌ يَدَاهُ إِلَى عُنُقِهِ مَا
بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى كَعْبَيْهِ بِالْحَدِيدِ قُلْنَا وَيْلَكَ مَا
أَنْتَ قَالَ قَدْ قَدَرْتُمْ عَلَى خَبَرِي فَأَخْبِرُونِي مَا أَنْتُمْ
قَالُوا نَحْنُ أُنَاسٌ مِنْ الْعَرَبِ رَكِبْنَا فِي سَفِينَةٍ
بَحْرِيَّةٍ فَصَادَفْنَا الْبَحْرَ حِينَ اغْتَلَمَ فَلَعِبَ بِنَا
الْمَوْجُ شَهْرًا ثُمَّ أَرْفَأْنَا إِلَى جَزِيرَتِكَ هَذِهِ فَجَلَسْنَا
فِي أَقْرُبِهَا فَدَخَلْنَا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْنَا دَابَّةٌ
أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يُدْرَى مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ
كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقُلْنَا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا
الْجَسَّاسَةُ قُلْنَا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ اعْمِدُوا إِلَى هَذَا
الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ
فَأَقْبَلْنَا إِلَيْكَ سِرَاعًا وَفَزِعْنَا مِنْهَا وَلَمْ نَأْمَنْ أَنْ
تَكُونَ شَيْطَانَةً فَقَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَخْلِ بَيْسَانَ قُلْنَا
عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ أَسْأَلُكُمْ عَنْ نَخْلِهَا هَلْ
يُثْمِرُ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ لَا
تُثْمِرَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ بُحَيْرَةِ الطَّبَرِيَّةِ قُلْنَا عَنْ
أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِيهَا مَاءٌ قَالُوا هِيَ
كَثِيرَةُ الْمَاءِ قَالَ أَمَا إِنَّ مَاءَهَا يُوشِكُ أَنْ يَذْهَبَ
قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ عَيْنِ زُغَرَ قَالُوا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا
تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِي الْعَيْنِ مَاءٌ وَهَلْ يَزْرَعُ أَهْلُهَا
بِمَاءِ الْعَيْنِ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ
وَأَهْلُهَا يَزْرَعُونَ مِنْ مَائِهَا قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَبِيِّ
الْأُمِّيِّينَ مَا فَعَلَ قَالُوا قَدْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ وَنَزَلَ
يَثْرِبَ قَالَ أَقَاتَلَهُ الْعَرَبُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ كَيْفَ صَنَعَ
بِهِمْ فَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّهُ قَدْ ظَهَرَ عَلَى مَنْ يَلِيهِ مِنْ
الْعَرَبِ وَأَطَاعُوهُ قَالَ لَهُمْ قَدْ كَانَ ذَلِكَ قُلْنَا نَعَمْ
قَالَ أَمَا إِنَّ ذَاكَ خَيْرٌ لَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ وَإِنِّي
مُخْبِرُكُمْ عَنِّي إِنِّي أَنَا الْمَسِيحُ وَإِنِّي أُوشِكُ أَنْ
يُؤْذَنَ لِي فِي الْخُرُوجِ فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِي الْأَرْضِ فَلَا
أَدَعَ قَرْيَةً إِلَّا هَبَطْتُهَا فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ
مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَيَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا
أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِي
مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِي عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ
نَقْبٍ مِنْهَا مَلَائِكَةً يَحْرُسُونَهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَعَنَ بِمِخْصَرَتِهِ فِي
الْمِنْبَرِ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ يَعْنِي
الْمَدِينَةَ أَلَا هَلْ كُنْتُ حَدَّثْتُكُمْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّاسُ
نَعَمْ
“Aku pernah sholat bersama
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Aku berada di shaff wanita
yang berada dekat dengan punggung kaum lelaki. Tatkala Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- telah menyelesaikan sholatnya, maka
beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Kemudian beliau bersabda, “Hendaknya setiap orang melazimi tempatnya”, lalu bersabda lagi, “Tahukah kalian kenapa aku kumpulkan kalian?”
“Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”, kata mereka.
Beliau bersabda, “Demi Allah,
sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (dalam
membagi ghonimah, –pent.) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh,
–pent.). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamim Ad-Dariy dahulu
seorang yang beragama Nasrani. Kemudian ia datang berbai’at dan masuk
Islam. Dia telah menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai
dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masih
Ad-Dajjal. Dia telah menceritakan kepadaku bahwa telah berlayar
dalam sebuah perahu besar bersama 30 orang lelaki dari Suku Lakhm dan
Judzam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan.
Kemudian mereka berlabuh pada sebuah pulau di tengah lautan ketika
terbenamnya matahari. Mereka pun duduk di perahu kecil, lalu memasuki
pulau itu.
Mereka dijumpai oleh binatang
yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena
banyak bulunya. Mereka berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau,
siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang cari berita)”. Mereka bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang
itu berkata, “Wahai kaum, pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam
istana itu. Karena ia amat rindu dengan berita kalian”.
Dia (Tamim) berkata, “Tatkala
ia (si binatang) menyebutkan seorang lelaki kepada kami, maka kami
khawatir jangan sampai binatang itu adalah setan perempuan”. Tamim
berkata, “Kami pun pergi dengan cepat sampai kami memasuki istana
tersebut. Tiba-tiba di dalamnya terdapat orang yang paling besar kami
lihat dan paling kuat ikatannya dalam keadaan kedua tangannya
terbelenggu ke lehernya antara kedua lututnya sampai kedua mata kakinya
dengan besi”. Kami katakan, “Celaka anda, siapakah anda?” Dia
(Dajjal) menjawab, “Sungguh kalian telah tahu beritaku. Kabarkanlah
kepadaku siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang
Arab. Kami telah berlayar dalam sebuah perahu besar. Kami pun mengarungi
lautan saat berombak besar. Akhirnya, ombak mempermainkan kami selama
sebulan. Kemudian kami berlabuh di pulau anda ini. Kami pun duduk-duduk
di perahu kecil, lalu masuk pulau. Tiba-tiba kami dijumpai oleh binatang
yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena
banyak bulunya. kami berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau,
siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang
cari berita)”. Kami bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang itu berkata,
“Pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam istana. Karena ia amat
rindu dengan berita kalian”. Lalu kami menghadap kepadamu dengan cepat,
kami takut kepadanya dan tak merasa aman jika ia adalah setan
perempuan”. Dia (Dajjal) berkata, “Kabarilah aku tentang pohon-pohon korma Baisan (nama tempat di Yordania, –pent.)!!”. Kami
bertanya, “Engkau tanya tentang apanya?”. Dajjal berkata, “Aku tanyakan
kepada kalian tentang pohon-pohon kurmanya, apakah masih berbuah?”.
Kami jawab, “Ya”. Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hampir-hampir ia tak
akan berbuah lagi”. Dajjal berkata, “Kabarilah aku tentang Danau Thobariyyah!!”.
Kami katakan, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di
dalamnya masih ada air?” Mereka menjawab, “Danau itu masih banyak
airnya”. Dajjal berkata, “Ingatlah, sesungguhnya airnya hampir-hampir
akan habis”. Dajjal bertanya lagi, “Kabarilah aku tentang mata air Zughor!!” Mereka
bertanya, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di dalam
mata air itu masih ada air? Apakah penduduknya masih menanam dengan
memakai air dari mata air itu?” Kami jawab, “Ya, mata air itu masih
banyak airnya dan penduduknya masih bercocok tanam dari airnya”. Dajjal
berkata lagi, “Kabarilah aku tentang Nabinya orang-orang Ummi (ummi : buta huruf, yakni orang-orang Quraisy), apa yang ia lakukan? Mereka
berkata, “Dia telah keluar dari Kota Makah dan bertempat tinggal di
Yatsrib (Madinah)”. Dajjal bertanya, “Apakah ia diperangi oleh
orang-orang Arab?” Kami katakan, “Ya”. Dajjal bertanya, “Apa yang ia
lakukan pada mereka?” Lalu mereka kabari Dajjal bahwa sungguh ia (Nabi
itu, yakni Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah berkuasa
atas orang-orang yang ada di sekitarnya dari kalangan Arab dan mereka
menaatinya”. Dajjal berkata kepada mereka, “Apakah hal itu sudah
terjadi?” Kami jawab, “Ya”.
Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hal itu lebih baik bagi mereka untuk menaatinya. Sekarang aku kabari kalian bahwa aku adalah Al-Masih (yakni, Al-Masih Ad-Dajjal). Sungguh
aku hampir diberi izin untuk keluar. Aku akan keluar, lalu berjalan di
bumi. Aku tak akan membiarkan suatu negeri, kecuali aku injak dalam
waktu 40 malam, selain Makkah dan Thoibah (nama lain bagi kotaMadinah, –pent.). Kedua kota ini diharamkan bagiku.
Setiap kali aku hendak memasuki
salah satunya diantaranya, maka aku dihadang oleh seorang malaikat, di
tangannya terdapat pedang terhunus yang akan menghalangiku darinya.
Sesungguhnya pada setiap jalan-jalan masuk padanya ada malaikat-malaikat
yang menjaganya”
Dia (Fathimah bintu Qois)
berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda seraya
menusuk-nusukkan tongkatnya pada mimbar, “Inilah Thoibah, Inilah
Thoibah, Inilah Thoibah, yakni kota Madinah. Ingatlah, apakah aku telah
menceritakan hal itu kepada kalian?”
Orang-orang pun berkata, “Ya”.
[HR. Muslim dalam Kitab Asyroot As-Saa'ah, bab : Qishshoh Al-Jassasah (no. 2942), Abu Dawud dalam Kitab Al-Malaahim(4326), At-Tirmidziy dalam Kitab Al-Fitan (2253) dan Ibnu MajahKitab Al-Fitan (4074)]
- Diantara tanda-tanda dekatnya waktu keluarnya Dajjal, berikut dekatnya kiamat: buah pepohonan korma negeri Baisanakan
habis dan tak lagi berbuah, danau Thobariyyah akan meresap habis, dan
mata air Zughor akan meresap kering kerontang, serta munculnya Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai Rasul dari kalangan kaum ummi (buta huruf), yakni Quraisy untuk menyampaikan agama kepada manusia seluruhnya. Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy -rahimahullah-
berkata, “Diantara perkara yang menunjukkan bahwa terutusnya Nabi
Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- termasuk tanda kiamat bahwa beliau kabarkan tentang Dajjal dalam hadits Jassasah”. [Lihat Al-Hikam Al-Jadiroh bil Idza'ah (hal. 4)]
- Di akhir zaman, Dajjal akan muncul dengan keluarbiasaan yang Allah
berikan padanya sebagai fitnah (ujian) keimanan bagi manusia. Diantara
keluarbiasaannya, ia mampu mengelilingi semua negeri, kecuali Makkah dan
Madinah dalam waktu 40 hari. Tujuannya untuk memurtadkan manusia!! Maka
berlindunglah kepada Allah dari fitnah Dajjal. Allahumma na’udzu bika min fitnatid dajjal.
- Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Di
dalam hadits ini terdapat keutamaan kota Madinah, keutamaan mendiaminya
serta terjaganya kota Madinah dari thoo’uun (pes) dan Dajjal”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/155)]
Sumber :
======================================================================================
Ingin membuat foto menjadi artistik seperti cover di atas? Klik di sini
Filed under: Hari Kiamat | Ditandai: akhir jaman, Al-Imam Al-Mahdi, alam ghaib, dajjal, Dajjal tanda kiamat, ilmu ghaib, kisah dajjal, makhluk misteri, Menyingkap alam ghaib, rahasia alam ghaib, tempat dajjal | Leave a comment »
Segala puji hanya kepunyaan Allah,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.
Akhir-akhir ini banyak sekali
tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati
orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak
menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah
banyak menjadi korban pemerasan mereka.
Maka atas dasar nasihat (loyalitas)
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin
menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam
adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut
bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.
Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala
saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama.
Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang
ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk
diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan
obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam
ilmu kedokteran.
Dilihat dari segi sebab dan akibat yang
biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada
Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan
menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh
manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak
menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada
mereka.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi
orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya
mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya.
Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka
katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib
itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara
mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut
sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun
tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :
“Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab
‘Shahih Muslim’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : ‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya,
tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:‘Barangsiapa yang
mendatangi kahin (dukun)) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh
ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud).
“Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan
dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
lafazh: ‘Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan
apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang
diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu,
ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bukan
termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan
nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang
meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta
disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang
ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang
diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR.
Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).
Hadits-hadits yang mulia di atas
menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan
bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai
atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang
melakukannya.
Oleh karena itu, kepada para penguasa dan
mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib
mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan
melarang orang-orang mendatangi mereka.
Kepada yang berwenang supaya melarang
mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di
tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka
lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang
tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut
tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut,
bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti
hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.
Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun
dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka
katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga
berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah
orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.
Hadits-hadits Rasulullah tersebut di atas
membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka
mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada
maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat,
dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang membenarkan mereka atas
pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka
hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini
dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah ‘Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.
Seorang muslim tidak boleh tunduk dan
percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan
itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang
mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong
yang mereka lakukan.
Semua ini adalah praktek-praktek
perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela
menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya,
sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang
muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan
semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan
dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut
hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan,
perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab
semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui
hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta’ala.
Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur
yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat
102 tentang kisah dua Malaikat:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh
syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa
Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang
diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan
Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun
sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu
apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang
(suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi
mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah.
Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak
memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa
barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu,
tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka
mengetahui.”(Al-Baqarah:102)
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan
bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka
mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka
sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa
besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat
nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan
harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :
“Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui.”
Kita memohon kepada Allah kesejahteraan
dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan
serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar
kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa
berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala
sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari
kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.
Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.
Tata Cara Menangkal Dan Menanggulangi Sihir
Allah telah mensyari’atkan kepada
hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir
sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang
bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat
dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada
mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang
usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha
dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang
dibolehkan menurut hukum syara’:
Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha
menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling
penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang
disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan
Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya
seperti di bawah ini:
A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu,
sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca
ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar
nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :
“Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”
Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
“Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang
hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk
dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di
bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya?
Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.”
B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu,
dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari
sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib,
sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”
Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an
yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab
dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka
berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat
kembali.”
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari
kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan)
yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan
kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah
kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan
siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu
bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa singgah di suatu tempat dan
dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa
khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari
kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang
membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”
E. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :
“Dengan nama Allah, yang bersama namaNya,
tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit
dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan
At-Tirmidzi)
Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini
merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk
menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi
mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang
penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan
hati yang khusyu’.
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga
merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa
seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri,
seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang
dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah untuk
menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya
adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau
do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :
Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap
manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh,
tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang
tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).
2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari
segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari
pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu,
dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga
kali.
3. Pengobatan sihir cara lainnya,
terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena
terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih
hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya,
sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan
ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun,
Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf
ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
“Dan Kami wahyukan kepada Musa:
‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa
yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang
selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”
Surat Yunus ayat 79-82:
“Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya):
‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala
ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah
apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa
berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah
akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan
membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat
kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya,
walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).“
Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
“Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah),
apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula
melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka
tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa
seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa
takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya
kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di
tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat,
sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir
(belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia
datang.”
Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.
4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara
yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk
mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat
manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan
dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.
Inilah beberapa penjelasan tentang
perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan
atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang
dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada
jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan
diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan
syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara
bertanya kepada dukun,’arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk
sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam
Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka
adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan
kemudian menipu manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan
membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan
hukum-hukumnya di awal tulisan ini.
Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita
memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan
keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka,
agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya,
serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Baz, dikirim : oleh al Akh Hari Nasution. Diterbitkan
oleh Depar-temen Urusan KeIslaman, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Islam,
Saudi Arabia)
Dikutip dari Salafy.or.id offline
Penulis: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul: Hukum tentang
Sihir dan Perdukunan/Paranormal
Filed under: Konsultasi, Pengobatan | Ditandai: alam ghaib, dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib, fenomena alam ghaib, ilmu ghaib, kesurupan, melihat jin, Menyingkap alam ghaib, penampakan, penyakit dalam, rahasia alam ghaib, syirik, tabir ghaib, tukang ramal | Leave a comment »
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal
dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih –
lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf
beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka
dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang
telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk
buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara
dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan
dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh
ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah
topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia
merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan
mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari
hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan
bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang
lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali
setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan,
amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau
tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi,
seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan
masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis
mereka sendiri.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12
berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga
kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan
langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam
kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari
tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan
terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan
malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung
suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari
mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
Abu Yazid Al Busthami
berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami
mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang
seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”.
(Al Mizan: 1/28)
Ibnu Arabi berkata:
“Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari
kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali
mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam
dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga
berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya
sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa
melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya
ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah
kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan.
Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka
tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari
hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki
peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya
bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas – dan juga amalan-amalan
bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung
terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i
merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya
anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena
dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika
seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah
berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi
ketika melihat
muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak
kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan
umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi
umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat,
seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta.
Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh
baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan
ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu
laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi
Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup
sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus
(ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh
kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan
satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya
masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi
Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh
umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’:
28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih
hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka
bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya):
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu
(Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa
seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya
rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi
dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada
tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya
pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu
ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul
shalallallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang paling mulia dari
seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali
apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib,
maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali
dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi
dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau
berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling
dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata:
“Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”.
Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak
bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah
akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka
turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan
pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang
pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah
dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari
Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat
sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku
yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa
dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan
keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada).
Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan
ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham
(orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari
wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka
bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara
mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah
sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan
bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang
mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda
Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena
dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak
boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al
Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan
tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti
ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat.
Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka
seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas
kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya,
bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat
rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak
syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah
sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ
اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ
قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia
Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah
masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi
di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak
shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz
Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani
menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
SUMBER :
http://kaahil.wordpress.com/2010/06/20/mengenal-ilmu-kasyafilmu-laduni-rijalul-ghaib-ilmu-batin-wali-wali-atau-gus-gus-itu-beda-tingkatan-dengan-kita-mereka-sudah-sampai-tingkatan-ma%E2%80%99rifat-yang-tidak-boleh-ditimbang-dengan/
Filed under: Permasalahan ilmu ghaib | Ditandai: ajian, al ghazali, alam ghaib, aqidah sufi, bantahan ilmu laduni, cara melihat malaikat, cara melihat nabi, Definisi karomah, hakikat, ibnu arabi, ilmu batin, ilmu ghaib, ilmu kasyaf, ilmu setan, ilmu terawang, indra keenam, karomah, kebatilan ilmu laduni, kebodohan ahli ma'rifat, kesesatan kaum sufi, ma'rifat, melihat Allah, membuka tabir ghaib, Menyingkap alam ghaib, mukasyafah, musyahadah, nabi khidir, para wali, perbedaan karomah dengan perbuatan syaithon, rahasia alam ghaib, semedi, sidarta gautama, sufi, tabir ghaib, wali, wihdatul wujud | Leave a comment »
Perdukunan,
ramalan nasib, dan sejenisnya telah tegas diharamkan oleh Islam dengan
larangan yang keras. Sisi keharamannya terkait dengan banyak hal, di
antaranya:
1. Apa yang akan terjadi itu hanya
diketahui oleh Allah ‘azza wajalla. Maka seseorang yang meramal berarti
ia telah menyejajarkan dirinya dengan Allah ‘azza wajalla dalam hal ini.
Ini merupakan kesyirikan, membuat sekutu (tandingan) bagi Allah ‘azza
wajalla. Atau;
2. Meminta bantuan kepada jin atau setan. Ini banyak terkait dengan praktik perdukunan dan sihir semacam santet atau sejenisnya.
Praktik sihir, ramal, dan perdukunan
sendiri telah dikenal di masyarakat Arab dengan beberapa istilah. Para
dukun dan peramal itu terkadang disebut:
1. Kahin
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa Al-Kahin
adalah seseorang yang mengabarkan sesuatu yang akan terjadi di masa
yang akan datang. Ada pula yang mengatakan, al-kahin adalah yang
mengabarkan apa yang tersembunyi dalam qalbu.
2. ‘Arraf
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa
ia adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui urusan-urusan tertentu
melalui cara-cara tertentu, yang darinya ia mengaku mengetahui tempat
barang yang dicuri atau hilang.
3. Rammal
Raml dalam bahasa Arab berarti pasir yang
lembut. Rammal adalah seorang tukang ramal yang menggaris-garis di
pasir untuk meramal sesuatu. Ilmu ini telah dikenal di masyarakat Arab
dengan sebutan ilmu raml.
4. Munajjim, ahli ilmu nujum
Nujum artinya bintang-bintang.
Akhir-akhir ini populer dengan nama astrologi (ilmu perbintangan) yang
dipakai untuk meramal nasib.
5. Sahir, tukang sihir
Ini lebih jahat dari yang sebelumnya,
karena dia tidak hanya terkait dengan ramalan bahkan dengan ilmu sihir
yang identik dengan kejahatan.
Dan masih ada lagi tentunya istilah lain.
Namun hakikatnya semuanya bermuara pada satu titik kesamaan yaitu
meramal, mengaku mengetahui perkara ghaib (sesuatu yang belum diketahui)
yang akan datang, baik itu terkait dengan nasib seseorang, suatu
peristiwa, mujur dan celaka, atau sejenisnya. Perbedaannya hanyalah
dalam penggunaan alat yang dipakai untuk meramal. Ada yang memakai
kerikil, bintang, atau yang lain. Oleh karenanya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Al-‘Arraf, adalah sebutan bagi kahin,
munajjim, dan rammaal, serta yang sejenis dengan mereka, yang berbicara
dalam hal mengetahui perkara-perkara semacam itu dengan cara-cara
semacam ini.” (dinukil dari Kitabut Tauhid)
Dengan demikian, apapun nama dan
julukannya, baik disebut dukun, tukang sihir, paranormal, ‘orang
pintar’, ‘orang tua’, spiritualis, ahli metafisika, atau bahkan mencatut
nama kyai dan gurutta (sebutan untuk tokoh agama di Sulawesi Selatan),
atau nama-nama lain, jika dia bicara dalam hal ramal-meramal dengan
cara-cara semacam di atas maka itu hukumnya sama: haram dan syirik,
menyekutukan Allah ‘azza wajalla.
Demikian pula istilah-istilah ilmu yang
mereka gunakan, baik disebut horoskop, zodiak, astrologi, ilmu nujum,
ilmu spiritual, metafisika, supranatural, ilmu hitam, ilmu putih, sihir,
hipnotis dan ilmu sugesti, feng shui, geomanci, berkedok pengobatan
alternatif atau bahkan pengobatan Islami, serta apapun namanya, maka
hukumnya juga sama, haram.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan saat menjelaskan sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam :
إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي
السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ
كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ
قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ
الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ
السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ
فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ
فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ
تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ
فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا
أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ
فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟
فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di
langit, tertunduklah seluruh malaikat karena takutnya terhadap firman
Allah ‘azza wajalla seakan-akan suara rantai tergerus di atas batu.
Tatkala tersadar, mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb
kalian?” Mereka menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha
Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran
(setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain –Sufyan
menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu
menjarakkan antara jari jemarinya–. (Pencuri berita) itu mendengar
kalimat yang disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya.
Yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai
dia menyampaikannya ke lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka
dijumpai oleh bintang pelempar sebelum dia menyampaikannya, namun
terkadang dia bisa menyampaikan berita tersebut sebelum dijumpai oleh
bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan bersama satu berita
yang benar itu. Kemudian petuah dukun yang salah dikomentari: “Bukankah
dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?” Dia dibenarkan dengan
kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. Al-Bukhari no. 4522
dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu)
Pada (hadits ini) terdapat keterangan
tentang batilnya sihir dan perdukunan, bahwa keduanya sumbernya sama
yaitu mengambil dari setan. Oleh karena itu, sihir tidak boleh diterima,
demikian pula berita tukang sihir. Juga dukun dan berita dukun. Karena
sumbernya batil. Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi
wasallam :
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal maka tidak diterima shalatnya 40 hari.”
Dalam hadits yang lain:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau
peramal lalu memercayai apa yang dia katakan maka dia telah kafir dengan
apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.”
Dalam hadits ini terdapat keterangan
batilnya sihir atau dukun, larangan membenarkan tukang sihir atau
dukun, atau mendatangi mereka. Akan tetapi di masa ini, para tukang
sihir dan dukun muncul dengan julukan tabib atau ahli pengobatan. Mereka
membuka tempat-tempat praktik serta mengobati orang-orang dengan sihir
dan perdukunan. Namun mereka tidak mengatakan: “Ini sihir, ini
perdukunan.” Mereka tampakkan kepada manusia bahwa mereka mengobati
dengan cara yang mubah, serta menyebut nama Allah ‘azza wajalla di depan
orang-orang. Bahkan terkadang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk
mengelabui manusia, tapi dengan sembunyi mengatakan kepada orang yang
sakit, “Sembelihlah kambing dengan sifat demikian dan demikian, tapi
jangan kamu makan (dagingnya), ambillah darahnya”, “Lakukan demikian dan
demikian”, atau mengatakan “Sembelihlah ayam jantan atau ayam betina”
ia sebutkan sifat-sifatnya dan mewanti-wanti “Tapi jangan menyebut nama
Allah ‘azza wajalla”. Atau menanyakan nama ibu atau ayahnya (pasien),
mengambil baju atau topinya (si sakit) untuk dia tanyakan kepada setan
pembantunya, karena setan juga saling memberi informasi. Setelah itu ia
mengatakan: “Yang menyihir kamu itu adalah fulan”, padahal dia juga
dusta. Maka wajib bagi muslimin untuk berhati-hati. (I’anatul Mustafid)
Ciri-ciri Dukun atau Penyihir
Berikut ini beberapa ciri dukun, sehingga
dengan mengetahui ciri-ciri tersebut, hendaknya kita berhati-hati bila
kita dapati ciri-ciri tersebut ada pada seseorang walaupun dia mengaku
hanya sebagai tukang pijat bahkan kyai. Di antara ciri tersebut:
1. Bertanya kepada yang sakit tentang namanya, nama ibunya, atau semacamnya.
2. Meminta bekas-bekas si sakit baik
pakaian, sorban, sapu tangan, kaos, celana, atau sejenisnya dari sesuatu
yang biasa dipakai si sakit. Atau bisa juga meminta fotonya.
3. Terkadang meminta hewan dengan sifat
tertentu untuk disembelih tanpa menyebut nama Allah ‘azza wajalla, atau
dalam rangka diambil darahnya untuk kemudian dilumurkan pada tempat yang
sakit pada pasiennya, atau untuk dibuang di tempat kosong.
4. Menulis jampi-jampi dan mantra-mantra yang memuat kesyirikan.
5. Membaca mantra atau jampi-jampi yang tidak jelas.
6. Memberikan kepada si sakit kain,
kertas, atau sejenisnya, dan bergariskan kotak. Di dalamnya terdapat
pula huruf-huruf dan nomor-nomor.
7. Memerintahkan si sakit untuk menjauh
dari manusia beberapa saat tertentu di sebuah tempat yang gelap yang
tidak dimasuki sinar matahari.
8. Meminta si sakit untuk tidak menyentuh air sebatas waktu tertentu, biasanya selama 40 hari.
9. Memberikan kepada si sakit sesuatu untuk ditanam dalam tanah.
10. Memberikan kepada si sakit sesuatu untuk dibakar dan mengasapi dirinya dengannya.
11. Terkadang mengabarkan kepada si sakit
tentang namanya, asal daerahnya, dan problem yang menyebabkan dia
datang, padahal belum diberitahu oleh si sakit.
12. Menuliskan untuk si sakit huruf-huruf
yang terputus-putus baik di kertas atau mangkok putih, lalu menyuruh si
sakit untuk meleburnya dengan air lantas meminumnya.
13. Terkadang menampakkan suatu
penghinaan kepada agama misal menyobek tulisan-tulisan ayat Al-Qur’an
atau menggunakannya pada sesuatu yang hina.
14. Mayoritas waktunya untuk menyendiri
dan menjauh dari orang-orang, karena dia lebih sering bersepi bersama
setannya yang membantunya dalam praktik perdukunan. (Kaifa Tatakhallas
minas Sihr)
Ini sekadar beberapa ciri dan bukan
terbatas pada ini saja. Dengannya, seseorang dapat mengetahui bahwa
orang tersebut adalah dukun atau penyihir, apapun nama dan julukannya
walaupun terkadang berbalut label-label keagamaan semacam kyai atau
ustadz.
Dilarang Mendatangi Dukun
Bila kita telah mendengar tentang
seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di atas,
janganlah kita mendatanginya. Hal itu sangat dilarang dalam agama Islam.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan:
Dalam Shahih Muslim disebutkan:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً
“Barangsiapa mendatangi dukun maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.”
Hukum ini sebagai akibat dari hanya
mendatangi dukun saja. Karena (sekadar) mendatanginya sudah merupakan
kejahatan dan perbuatan haram, walaupun ia tidak memercayai dukun
tersebut. Oleh karenanya, ketika sahabat Mu’awiyah Ibnul Hakam
radhiallahu’anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
perihal dukun beliau menjawab: ‘Jangan kamu datangi dia.’ Nabi
shallallahu’alaihi wasallam melarangnya walaupun sekadar mendatanginya.
Jadi hadits ini menunjukkan tentang haramnya mendatangi dukun walaupun
tidak memercayainya, walaupun yang datang mengatakan: ‘Kedatangan saya
hanya sekadar ingin tahu’. Ini tidak boleh.
“Tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” dalam sebuah riwayat “40 hari 40 malam.”
Ini menunjukkan beratnya hukuman bagi
yang mendatangi dukun, di mana shalatnya tidak diterima di sisi Allah
‘azza wajalla, tidak ada pahalanya di sisi Allah ‘azza wajalla, walaupun
ia tidak diperintahkan untuk mengulangi shalatnya, karena secara
lahiriah ia telah melakukan shalat. Akan tetapi, antara dia dengan Allah
‘azza wajalla, dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya karena tidak
Allah ‘azza wajalla terima. Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan
haramnya mendatangi dukun, sekadar mendatangi walaupun tidak memercayai.
Adapun bila memercayainya maka hadits-hadits yang akan dijelaskan
berikut telah menunjukkan ancaman yang keras, kita berlindung kepada
Allah ‘azza wajalla.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau
peramal lalu memercayai apa yang dia katakan maka dia telah kafir dengan
apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Dalam hadits ini ada dua masalah:
Masalah pertama: mendatangi dukun.
Masalah kedua:
memercayainya pada apa yang ia beritakan dari perdukunannya. Hukumnya ia
telah dianggap kafir terhadap apa yang Allah ‘azza wajalla turunkan
kepada Nabi Muhammad. Karena tidak akan bersatu antara membenarkan apa
yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dengan
membenarkan berita dukun yang itu adalah pekerjaan setan. Dua hal yang
tidak mungkin bersatu, memercayai Al-Qur’an dan memercayai dukun.
Yang nampak dari hadits itu bahwa ia telah keluar dari Islam.
Dari riwayat dari Al-Imam Ahmad
rahimahullah ada dua pemahaman dalam hal kekafiran semacam ini. Satu
riwayat, bahwa maksudnya kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama.
Riwayat yang lain: kekafiran kecil, di bawah kekafiran tadi.
Ada pendapat ketiga: tawaqquf, yakni kita
baca hadits sebagaimana datangnya tanpa menafsirkan serta mengatakan
kafir besar atau kecil. Kita katakan seperti kata Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam dan cukup.
Tapi yang kuat –wallahu a’lam– adalah
pendapat yang pertama, bahwa itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari
agama. Karena tidak akan bersatu antara iman kepada Al-Qur’an dengan
iman kepada perdukunan. Karena Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan
perdukunan, dan memberitakan bahwa itu adalah perbuatan setan, maka
orang yang memercayai dan membenarkan berarti telah kafir dengan
kekafiran besar. Inilah yang nampak dari hadits. (I’anatul Mustafid)
Demikian penjelasan beliau tentang
mendatangi dukun. Adapun tentang bertanya-tanya atau konsultasi dengan
para dukun, telah dijelaskan dalam rubrik Manhaji secara lebih detail.
KETIK REG SEPASI RAMAL
Ada satu hal yang perlu lebih kita
sadari, yaitu kecanggihan teknologi yang ada ternyata digunakan para
dukun untuk mencari mangsa. Sehingga tidak mesti seseorang datang ke
tempat praktik dukun tersebut, tapi justru dukunnya yang mendatangi
seseorang melalui radio, televisi, internet, atau SMS. Dengan itu,
bertanya kepada dukun jalannya semakin dipermudah. Cukup dengan ketik:
”reg spasi ….” selanjutnya mengirimkannya ke nomor tertentu melalui
ponsel, seseorang sudah bisa mendapatkan layanan perdukunan. Bahkan,
sampai-sampai ada sebuah stasiun televisi yang membuat program khusus
untuk menayangkan kompetisi di antara dukun/ tukang sihir.
Subhanallah, cobaan nyata semakin berat.
Kaum muslimin mesti menyadari hal ini. Jangan sampai kecanggihan
teknologi ini membuat kita semakin jauh dari ajaran agama. Justru
seharusnya kita gunakan kemajuan teknologi ini untuk membantu kita agar
semakin taat kepada Allah ‘azza wajalla.
Semoga kaum muslimin menerima dan
memahaminya dengan baik sehingga menyadari akan bahaya perdukunan, untuk
kemudian kaum muslimin pun bersatu dalam memerangi perdukunan.
Penulis : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Posted on 8 Juni 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Allah Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami
tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang
dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 65)
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدتُّمْ عَلَيْنَا قَالُوا
أَنطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ
أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi
terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala
sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan
Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah
kamu dikembalikan.” (QS. Fushshilat: 21)
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا
فَمُلاقِيهِ. فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ. فَسَوْفَ
يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh
menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. Adapun orang yang
diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan
pemeriksaan yang mudah.” (QS. Al-Insyiqaq: 6-8)
Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَضَحِكَ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ قُلْنَا اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ. يَقُولُ:
يَا رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِي مِنْ الظُّلْمِ؟ يَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ:
فَإِنِّي لَا أُجِيزُ عَلَى نَفْسِي إِلَّا شَاهِدًا مِنِّي. فَيَقُولُ:
كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا وَبِالْكِرَامِ
الْكَاتِبِينَ شُهُودًا. فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ فَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ
انْطِقِي قَالَ فَتَنْطِقُ بِأَعْمَالِهِ. ثُمَّ يُخَلَّى بَيْنَهُ
وَبَيْنَ الْكَلَامِ فَيَقُولُ: بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ
كُنْتُ أُنَاضِلُ
“Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu beliau tertawa dan bertanya: “Tahukah kalian apa yang
membuatku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda, “Aku menertawakan percakapan seorang hamba
dengan Rabbnya. Ia berkata, “Wahai Rabb, bukankah Engkau telah
menghindarkanku dari kezhaliman?” Allah menjawab, “Ya.” Ia berkata,
“Sesungguhnya aku tidak mengizinkan diriku (untuk dihisab) kecuali jika
saksinya berasal dari diriku sendiri.” Allah berfirman, “Kalau begitu
pada hari ini cukuplah jiwamu yang menjadi saksi atas dirimu,” (Al
Israa`: 16) dan juga para malaikat yang mulia yang mencacat amalanmu
menjadi para saksi.” Maka dibungkamlah mulutnya dan dikatakan kepada
anggota badannya, “Bicaralah.” Maka anggota badannya pun mengungkap
semua amal perbuatan yang dilakukannya.” Beliau meneruskan, “Kemudian
diapun dibiarkan berbicara maka dia berkata, “Menjauh dan celakalah
kalian, untuk melindungi kalianlah aku berjuang?” (HR. Muslim no. 1054)
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya oleh seorang
lelaki, “Bagaimana anda mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda tentang an-najwaa (pembicaraan rahasia antara Allah
dengan hamba-Nya pada hari kiamat)?” Maka dia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ
وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا
فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى
فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا
وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ
وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ: هَؤُلَاءِ
الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya Allah mendekat kepada seorang mukmin lalu Dia
melindungi dan menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengenal
dosamu yang ini? Apakah kamu mengenal dosamu yang ini?” Maka mukmin
tersebut berkata: “Ya, wahai Rabbku”. Hingga ketika Dia telah membuat
dia mengakui semua dosanya dan dia memandang bahwa dirinya akan celaka,
Allah berfirman, “Aku telah menutupi semua dosamu itu di dunia dan Aku
mengampuninya untukmu pada hari ini.” Maka orang itu diberikan kitab
catatan kebaikannya. Adapun orang kafir dan orang-orang munafik, maka
para saksi berkata, “Mereka itulah orang-orang yang mendustakan Rabb
mereka. Maka laknat Allah atas orang-orang yang zhalim”.(QS. Hud: 18) (HR. Al-Bukhari no. 2441)
Penjelasan ringkas:
Selain qishash, pada hari kiamat Allah Ta’ala juga menetapkan adanya
hisab atas setiap hamba-hambaNya, yang mukmin maupun yang kafir. Adapun
bentuk hisabnya, maka sesuai dengan hikmah dan keadilan Allah. Di antara
mereka ada yang dihisab dengan hisab yang mudah, yang kaifiatnya
sebagaimana dijabarkan dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma
di atas. Di antara mereka ada yang dihisab dan diadili dengan saksi
dari anggota tubuh mereka sendiri. Dan di antara mereka ada yang dosanya
diperdengarkan dengan keras di hadapan seluruh makhluk untuk
mempermalukan mereka.
Allahumma hasibnaa hisaban yasira (Ya Allah, hisablah kami dengan hisab yang mudah)
Sumber :
Bagi-bagi ke yang lain...
Filed under: Hari Kiamat | Ditandai: akhir jaman, alam ghaib, hari akhirat, hari kebangkitan, hari kiamat, hari pembalasan, hari perhitungan, hisab, Menyingkap alam ghaib, padang mahsyar, rahasia alam ghaib, tabir ghaib, Yaumul hisab | Leave a comment »
Dari Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ
أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ
مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا
الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ
أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ
مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا
وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ
أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ
يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ
صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
“Jika hamba sudah diletakkan di dalam kuburnya dan
teman-temannya sudah pergi meninggalkannya, hingga dia (jenazah)
mendengar suara langkah sandal-sandal mereka, maka akan datang kepadanya
dua malaikat. Keduanya lalu mendudukkannya seraya berkata kepadanya,
“Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki ini, Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam?” Maka jenazah itu menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia
adalah hamba Allah dan utusan-Nya”. Maka dikatakan kepadanya, “Lihatlah
tempat dudukmu di neraka yang Allah telah menggantinya dengan tempat
duduk di surga”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya bersabda,
“Maka dia kemudian melihat keduanya”. Adapun (jenazah) orang kafir atau
munafik, maka dia akan menjawab, “Aku tidak tahu, aku hanya berkata
mengikuti apa yang dikatakan kebanyakan orang.” Maka dikatakan
kepadanya, “Kamu tidak mengetahuinya dan tidak mengikuti orang yang
mengerti”. Kemudian dia dipukul dengan palu godam besar yang terbuat
dari besi dengan sekali pukulan di antara kedua telinganya, maka dia
mengeluarkan suara teriakan yang dapat didengar oleh yang ada di
sekitarnya kecuali oleh dua makhluk (jin dan manusia).” (HR. Al-Bukhari no. 1338)
Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ
بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ
أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ
النَّارِ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
“Jika seorang dari kalian meninggal dunia maka akan
ditampakkan kepadanya tempat duduknya (di akhirat) setiap pagi dan
petang hari. Jika dia termasuk penduduk surga, maka dia akan (melihat
tempat duduknya) sebagai penduduk surga. Dan jika dia termasuk penduduk
neraka, maka akan (melihat tempat duduknya) sebagai penduduk neraka.
Lalu dikatakan kepadanya, “Inilah tempat dudukmu hingga nanti Allah
membangkitkanmu pada hari kiamat”.(HR. Al-Bukhari no. 1290 dan Muslim no. 2866)
Penjelasan ringkas:
Ketika jenazah telah dikuburkan dan para pengantarnya sudah pulang
meninggalkannya, maka rohnya akan dikembalikan ke tubuhnya sehingga dia
bisa hidup tapi dengan kehidupan barzakhiah. Setelah itu dia akan
didatangi oleh dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Kedua
malaikat ini lalu mendudukkan dia dan bertanya kepadanya tentang Allah,
Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan agama Islam. Jika dia
adalah orang yang beriman maka Allah akan memberikan hidayah dan
kekuatan kepadanya untuk menjawabnya sehingga dia akan mendapatkan
kenikmatan kubur, yang di antaranya berupa diperlihatkannya tempat
kembali dia kelak di dalam surga. Tapi jika dia adalah orang kafir atau
munafik, maka Allah Ta’ala akan menyesatkannya sehingga dia tidak bisa
menjawab pertanyaan kedua malaikat sehingga dia mendapatkan siksaan
kubur. Di antara bentuk siksaan-Nya adalah dia akan dipukul dengan palu
besar di antara kedua telinganya yang membuatnya berteriak dengan
teriakan yang sangat keras karena kesakitan, kemudian setelah itu dia
akan diperlihatkan tempat kembalinya kelak di dalam neraka.
Beberapa pelajaran aqidah dari kedua hadits di atas:
1. Adanya nikmat dan siksa kubur serta bantahan kepada siapa saja yang mengingkari adanya.
2. Jenazah yang sudah dikubur pada dasarnya tidak bisa mendengar
apa-apa dari orang yang masih hidup kecuali yang dikecualikan oleh
dalil, seperti suara langkah sandal para pengantarnya yang pulang.
3. Penetapan adanya dua malaikat kubur, Munkar dan Nakir.
4. Larangan ikut-ikutan dan taqlid buta dalam beragama, karena dia
adalah salah satu sebab seorang tidak bisa menjawab pertanyaan malaikat
di kubur.
5. Siksaan kubur dijatuhkan kepada roh dan jasad mengikutinya. Karena
dalam hadits di atas disebutkan ‘di antara kedua telinganya’.
6. Surga dan neraka sudah ada sekarang, serta sanggahan kepada siapa
saja yang mengatakan bahwa keduanya nanti tercipta setelah hari kiamat.
http://al-atsariyyah.com/rahasia-alam-kubur.html#more-2988
Bagi-bagi ke yang lain...
Posted on 27 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Tema
Jin, Setan, dan Iblis masih menyisakan kontroversi hingga kini. Namun
yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika masih
ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat
pantas jika diragukan keimanannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengutus nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja
namun juga untuk selain Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi
umat seluruhnya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada
segenap Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا
“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً
“Adalah para nabi itu diutus kepada
kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَإِذْ
صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ
فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى
قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا
أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي
إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوا
دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ
وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ
فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ
أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ
“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan
sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka
menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami,
sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah
diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya
lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami,
terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah
kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan
kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang
yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di
muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam
kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf: 29-32)
Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan
jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini keberadaannya. Ahli
kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya
sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari
mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula di antara kaum muslimin
yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian
Mu’tazilah.
Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal
yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah
sangat mutawatir dan diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin
adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan
kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja
mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia
atau selainnya. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat
Majmu’ul Fatawa, 19/9)
Anehnya orang-orang filsafat masih
mengingkari keberadaan jin. Dan dalam hal inipun Muhammad Rasyid Ridha
telah keliru. Dia mengatakan: “Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan/
gambaran tentang bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali
dengan perantara mikroskop.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)
Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُوْنٍ.
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari
api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 26-27)
Karena jin lebih dulu ada, maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika
menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya
manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam
Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi
mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta
ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin,
setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang
berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk
golongan para malaikat?
Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ
“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)
Juga firman-Nya:
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَتِ الْجَانُّ مِنْ مَّارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Para malaikat diciptakan dari cahaya,
jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang
disifatkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu
‘anha)
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka
kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:
“Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya
diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah
dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan di sini bahwa
Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api.
Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun.
Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula
manusia’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan:
“Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 406 dan 793)
Sedangkan setan, mereka adalah kalangan
jin yang durhaka. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah
ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab: “Jin itu
meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk
memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka
berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan
shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka
itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Siapakah Iblis?1
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.
Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis
berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu. Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan
malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin,
sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir
dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir
dalam Tafsir-nya)
Pendapat ini pula yang tampaknya
dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an
(3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120).
Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab
tersebut. Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
لاَ يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ
“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka
kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai
perintah Rabbnya.”
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa
iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat
ini menyatakan: “Ini adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang
diperselisihkan ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling
kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis
bukan dari malaikat.”
Adapun pendapat kedua yang menyatakan
bahwa iblis dari malaikat, menurut Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur
ulama termasuk Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Alasannya adalah firman
Allah:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka
kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.
Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat
Al-Baqarah ayat 34), sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa
iblis dari malaikat. Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan
istitsna` munqathi’ (yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis
yang disebutkan).
Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu
adalah cerita Israiliyat. Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah
ini (asal-usul iblis), banyak yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun
mayoritasnya adalah Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang
(sesungguhnya) dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu
tentang keadaan mayoritas cerita itu. Dan di antaranya ada yang
dipastikan dusta, karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita.
Dan apa yang ada di dalam Al-Qur`an sudah memadai dari yang selainnya
dari berita-berita itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)
Asy-Syinqithi menyatakan:
“Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf,
seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar
malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah
‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang tidak bisa dijadikan
landasan.” (Adhwa`ul Bayan, 4/120-121)
Siapakah Setan?2
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata
(شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata
(شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih
kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya
yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
(Al-Misbahul Munir, hal. 313).
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam
bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan,
atau dari segala sesuatu.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ
يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
(Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan
dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah
setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya
menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena
jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir, 1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan
adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir
Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).
Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ
يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang
lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).”
(Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berada
di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah
kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan
shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata:
“Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia
dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan
manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”
Ibnu Katsir menyatakan setelah
menyebutkan beberapa sanad hadits ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini.
Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan
keshahihannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)
Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:
الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ
“Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan:
“Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah. (ed)
Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ
أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ. قَالَ إِنَّكَ مِنَ
الْمُنْظَرِيْنَ. قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ
صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ
وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ
أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ
“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku
sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu
termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau
telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka
dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan
Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
(Al-A’raf: 14-17)
Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Patutkah kamu mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah
musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi
orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)
Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna
satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti
tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang
tersembunyi.
Jin memiliki roh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan:
“Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja
mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta
mereka bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau
mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’.
Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke
rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada
kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah,
maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap
malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Jin bisa berujud seperti manusia dan
binatang. Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta,
sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud
Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk
Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat
berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga
kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan
setan dan mempunyai kekuatan panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)
Kaum jin memiliki tempat tinggal yang
berbeda-beda. Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan
tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka
tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor. (Nashihatii li
Ahlis Sunnah Minal Jin)
Tulang dan kotoran hewan adalah makanan
jin. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
ابْغِنِي
أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ.
فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ أَحْمَلُهَا فِي طَرَفِ ثَوْبِي حَتَّى
وَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا فَرَغَ
مَشَيْتُ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثَةِ؟ قَالَ: هُمَا مِنْ
طَعَامِ الْجِنِّ وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ نَصِيْبِيْنَ وَنِعْمَ
الْجِنُّ فَسَأَلُوْنِي الزَّادَ فَدَعَوْتُ اللهَ لَهُمْ أَنْ لاَ
يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا
“Carikan beberapa buah batu untuk
kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran
hewan.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku pun membawakan
untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh
hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”
Beliau menjawab: “Keduanya termasuk
makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin,
dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka
aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati
tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan.” (HR.
Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat
Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”,
ed)
Gambaran Tentang Iblis dan Setan
Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang
bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka adalah musuh nomer wahid bagi
manusia, musuh bagi Adam dan keturunannya. Dengan kesombongan dan
analoginya yang rusak serta kedustaannya, mereka berani menentang
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala saat mereka enggan untuk sujud kepada
Adam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka
kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Malah dengan analoginya yang menyesatkan, Iblis menjawab:
قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ
“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12)
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas
yang paling rusak. Qiyas ini adalah qiyas batil karena bertentangan
dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyuruhnya untuk sujud.
Sedangkan qiyas jika berlawanan dengan nash, maka ia menjadi batil
karena maksud dari qiyas itu adalah menetapkan hukum yang tidak ada
padanya nash, mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya,
sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash.
Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan
tetap digunakan/ diakui, maka konsekuensinya akan menggugurkan nash.
Dan inilah qiyas yang paling jelek!
Sumpah mereka untuk menggoda Bani Adam
terus berlangsung sampai hari kiamat setelah mereka berhasil menggoda
Abul Basyar (bapak manusia) Adam dan vonis sesat dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan
firman-Nya:
يَابَنِي
آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ
الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا
جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu
bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk
memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu
pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya setan itu adalah musuh
bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu
hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً
“Patutkah kamu mengambil dia dan
turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah
musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi
orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Semoga kita semua terlindung dari godaan-godaannya. Wal ’ilmu ’indallah.
1 Tambahan dari redaksi
2 Tambahan dari redaksi
Penulis : Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber : http://www.asysyariah.com
Bagi-bagi ke yang lain...
Filed under: Jin | Ditandai: alam ghaib, dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib, fenomena alam ghaib, gambaran iblis dan setan, ilmu ghaib, Jin, Menyingkap alam ghaib, perbedaan jin dan iblis, rahasia alam ghaib, siapakah iblis, siapakah setan, tabir ghaib | Leave a comment »
Posted on 26 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dari unsur yang
berbeda dengan manusia. Manusia yang awal (Nabi Adam ‘alaihissalam)
diciptakan dari tanah liat yang dibentuk, adapun anak turunannya
diciptakan dari setetes air yang hina (mani). Adapun jin diciptakan dari
api. Setan adalah dari bangsa jin yang jahat/ kafir, karena di antara
jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir sebagaimana manusia. Setan
seperti halnya bangsa jin lainnya, merupakan makhluk Allah yang ghaib,
artinya tidak tampak oleh mata kasar manusia. Mereka dapat melihat
manusia namun tidak sebaliknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati
kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf:
27)
Mujahid rahimahullahu dan Qatadah rahimahullahu berkata:
“(Bala tentara Iblis) adalah jin dan para setan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 7/120, Ma’alimut Tanzil 2/129)
Setelah menyebutkan ayat: مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ, Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Sebagian ulama berkata: ‘Dalam ayat ini terdapat dalil/ bukti bahwa jin
itu tidak dapat dilihat’. Namun ada pula yang berpendapat mereka bisa
dilihat. Karena jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak
memperlihatkan mereka, Allah akan menyingkap (tabir yang menghalangi
untuk melihat mereka) jasad-jasad mereka sehingga terlihat oleh mata.
An-Nahas berpendapat dengan ayat ini bahwa jin tidak bisa terlihat mata
manusia kecuali di masa kenabian sebagai bukti atas kenabian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
menciptakan mereka dengan bentuk penciptaan yang tidak bisa terlihat.
Mereka hanya bisa dilihat bila mereka berubah ke bentuk lain (bukan
bentuk aslinya).” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 7/120)
Al-Imam Asy-Syafi`i rahimahullahu bahkan menyatakan dalam Manaqib-nya:
“Siapa yang mengaku melihat jin, maka kami batalkan persaksiannya (tidak
menerima persaksiannya, –pent.) terkecuali bila ia seorang nabi.”
Al-Hafizh rahimahullahu mengomentari:
“Ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i ini ditujukan kepada orang yang mengaku-aku
melihat jin dalam bentuknya yang asli. Adapun kalau ada yang mengaku
melihat jin setelah berubah ke berbagai bentuk hewan misalnya, maka
tidaklah dianggap cacat persaksiannya. Sungguh banyak dan tersebar
(mutawatir) berita-berita yang mengabarkan perubahan jin tersebut ke
berbagai bentuk.” (Fathul Bari, 6/414)
Mungkin terlintas pertanyaan di benak kita, bagaimana mereka bisa
berpindah ke bentuk lain atau berubah dari bentuk aslinya? Dalam hal ini
ada atsar dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ibnu Abi
Syaibah rahimahullahu dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh
rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/414): “Sesungguhnya Ghilan2 disebut
di sisi ‘Umar, maka ia berkata: “Sungguh seseorang tidak mampu untuk
berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka
(para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka
bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”
Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mustahil pernah
melihat mereka dalam bentuk aslinya, sebagaimana beliau pernah melihat
Jibril dalam wujud aslinya sebanyak dua kali. (Ruhul Ma’ani, 5/140)
Ulama ada yang mengatakan bahwa melihat setan dalam bentuk aslinya
sebagaimana diciptakan merupakan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Adapun kalangan manusia selain beliau tidak dapat melihat setan
dalam wujud aslinya, dengan dalil firman Allah: إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ
وَقَبِيْلُهُ. (Fathul Bari, 1/718)
Namun ada pula yang berpendapat, bisa saja selain Nabi melihat setan
bila Allah berkehendak untuk menampakkannya dalam wujud aslinya seperti
kepada hamba-hamba-Nya yang diberi karamah3, karena ayat مِنْ حَيْثُ لاَ
تَرَوْنَهُمْ bisa dipahami dengan dua makna:
Pertama: Dari sisi bahwa kalian tidak dapat melihat jasad-jasad
mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian
(selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak dapat melihat mereka.
Kedua: Dari sisi bahwa kalian tidak mengetahui makar dan fitnah
mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian
(selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak mengetahui/ menyadari
makar dan fitnah mereka. (Ruhul Ma’ani 5/141, An-Nukat wal ‘Uyun/Tafsir
Al-Mawardi 2/216).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Jin itu ada, dan terkadang sebagian manusia dapat melihat mereka.
Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ
وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ maka pemahamannya dibawa pada
keumuman (yakni umumnya manusia memang tidak dapat melihat jin/ setan,
–pent.), karena bila melihat mereka (jin/ setan) itu suatu hal yang
mustahil, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan
mengatakan apa yang beliau katakan bahwa beliau melihat setan tersebut
dan bahwa beliau berkeinginan untuk mengikat setan itu agar dapat
disaksikan para shahabat beliau seluruhnya dan bisa dipermainkan
anak-anak kecil di Madinah.
Sementara Al-Qadhi berkata:
‘Dikatakan bahwa melihat jin dalam bentuk aslinya itu tidaklah mungkin
berdasarkan zahir ayat, kecuali para Nabi –semoga Allah memberikan
shalawat dan salam kepada mereka semuanya– dan juga orang yang diberi
kemampuan di luar kebiasaan. Manusia hanya bisa melihat jin dalam bentuk
yang bukan aslinya (bentuk penyamaran) sebagaimana keterangan yang
disebutkan dalam atsar.’
Namun aku (Al-Imam An-Nawawi) katakan:
Ini hanyalah sekedar dakwaan semata, dikarenakan bila dalil yang menjadi sandarannya tidak shahih maka dakwaan ini tertolak.
Al-Imam Abu Abdillah Al-Mazari berkata:
‘Jin itu adalah jasad-jasad yang halus. Maka dimungkinkan ia berwujud
dengan satu bentuk yang bisa diikat4, kemudian ia tertahan untuk kembali
ke bentuk aslinya hingga ia bisa dipermainkan, dan sesungguhnya hal-hal
keluarbiasaan memungkinkan yang selain itu’.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih
Muslim, 5/32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:
“Yang ada dalam Al-Qur`an, para jin itu melihat manusia sementara
manusia tidak melihat mereka. Inilah yang benar, di mana mereka dapat
melihat manusia dalam keadaan manusia ketika itu tidak melihat mereka.
Namun ini tidaklah menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan
manusia yang dapat melihat mereka, bahkan sebaliknya terkadang mereka
terlihat oleh orang-orang shalih bahkan juga oleh orang yang tidak
shalih, akan tetapi manusia tidak dapat melihat mereka dalam seluruh
keadaan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 8/8)
Batilnya Pengakuan/ Perbuatan “Pemburu Hantu”
Menurut kabar yang kami terima, sekarang ini sedang marak acara yang
berbau mistik di televisi, baik dalam bentuk film/ sinetron maupun
semacam show/ pamer kemampuan ghaib. Tentunya para pemburu hantu –dukun
atau disebut paranormal untuk menutupi kedoknya–, mendapat peran penting
dalam acara-acara tersebut. Melalui acara mereka, setan atau hantu
–menurut istilah mereka– dipublikasikan. Digambarkan bahwa paranormal
adalah orang-orang sakti yang dapat memburu, menangkap dan membuat setan
bertekuk lutut. Bila ada tempat yang berhantu maka didatangkanlah
paranormal ke tempat tersebut.
Banyak hal yang nampak jelas kabatilannya dari praktek para pemburu
hantu. Di antaranya, ada seseorang yang melukis jin yang diburu, dalam
keadaan matanya tertutup. Terkadang mereka ditanya oleh penonton di
rumah tentang penyakit mereka, dan mereka bisa mengetahui si penanya
yang menanyakan sakitnya. Juga kemampuan mereka untuk memasukkan jin ke
dalam tubuh manusia, dan kemampuan mereka membuat orang bisa melihat
jin. Semua tidak lain terjadi dengan bantuan jin juga, walaupun mereka
tentunya menggunakan bacaan-bacaan nampaknya Islami tapi kenyataannya
bukan.
Namun untuk mencapai kemampuan yang seperti itu, tentu melalui proses
dan tahapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariat,
baik dalam syaratnya, atau tata caranya, atau bacaan-bacaan yang tidak
dimengerti maknanya yang sangat mungkin mengandung hal yang menyelisihi
hukum Islam. Oleh karena itu, para ulama melarang bacaan-bacaan yang
seperti itu. Dan cukuplah untuk mengetahui kebatilan semua itu, bahwa
para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, generasi terbaik umat ini setelah
shahabat, yang merupakan wali-wali Allah, tidak ada seorang pun di
antara mereka yang mengklaim hal-hal tersebut. Wallahu a’lam.
Ahlul haq (orang yang berjalan di atas kebenaran), mengambil faedah
dan beberapa pelajaran dari kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyebutkan
beberapa faedahnya, di antaranya:
1. Terkadang setan mengetahui perkara yang bermanfaat bagi seorang mukmin.
2. Orang kafir, sebagaimana setan (yang juga kafir), terkadang sebagian
ucapannya jujur kepada seorang mukmin. Namun kejujurannya itu tidak
menjadikannya beriman.
3. Setan memiliki sifat suka berdusta, dan dia adalah seorang pendusta yang sebagian besar ucapannya tidak dapat dipercaya.
4. Setan terkadang bisa menyerupai bentuk tertentu sehingga memungkinkan
untuk melihatnya. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian dari arah yang kalian
tidak dapat melihat mereka,” hal ini khusus bila setan itu berada dalam
rupa aslinya sebagaimana ia diciptakan. Dengan demikian mereka dapat
menampakkan diri kepada manusia dengan syarat yang telah disebutkan.
5. Jin memakan makanan manusia, dan mereka bisa mengambil makanan yang
tidak disebutkan nama Allah pada makanan tersebut. Mereka pun dapat
berbicara dengan bahasa manusia.
6. Setan mencuri dan menipu.
7. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan perkara ghaib oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga beliau mengetahui bahwa yang mencuri
makanan zakat yang dijaga oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu selama
tiga malam berturut-turut adalah setan. (Fathul Bari, 4/616-617)
Setan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ingin Mengikatnya di Tiang Masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan:
إنَّ عِفْرِيْتًا مِنَ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ – أَوْ
كَلِمَةً نَحْوَهَا – لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِيَ اللهُ
مِنْهُ5، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي
الْمَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوْا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ،
فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: {رَبِّ اغْفِرْلِي وَهَبْ لِي
مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِيْ} قال رَوْحٌ: فَرَدَّهُ
خَاسِئًا
“Sesungguhnya Ifrit6 dari bangsa jin semalam mendatangiku dengan
tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi mengucapkan kalimat
yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah menjadikan aku
dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang
masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku
teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku,
ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang
tidak pantas didapatkan oleh seorang pun setelahku7.” Rauh (perawi
hadits ini) berkata: “Nabi pun mengusirnya dengan hina.”8
Abu Ad-Darda` radhiallahu ‘anhu pernah pula mengabarkan:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk mengerjakan
shalat. Kami mendengar beliau berkata: “Aku berlindung kepada Allah
darimu.” Kemudian berkata tiga kali: “Aku melaknatmu dengan laknat
Allah.” Beliau membentangkan tangannya seakan-akan menangkap sesuatu.
Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami
tadi mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam shalat yang sebelumnya
kami belum pernah mendengar engkau mengucapkannya dan kami melihatmu
membentangkan tanganmu.” Beliau menjawab keheranan para sahabatnya
dengan menyatakan:
إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيْسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ
لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي. فَقُلْتُ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ. ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ
يَسْتَأْخِرْ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ!
لَوْلاَ دَعْوَةُ أَخِيْنَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوْثَقًا يَلْعَبُ بِهِ
وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
“Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang dengan bola api yang hendak
dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku berlindung kepada Allah
darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku melaknatmu dengan laknat
Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau dapatkan”, tiga kali. Lalu
aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudara
kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan terikat
hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.”9
Dari dua hadits di atas, dapat kita pahami bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengurungkan maksud beliau untuk menangkap setan yang
menganggu dan ingin mencelakakan beliau ketika shalat, dengan alasan
beliau teringat dengan doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Kita ketahui,
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menundukkan para jin dan setan kepada
Sulaiman sehingga mereka semua tunduk patuh kepada perintah Sulaiman,
sebagaimana dalam ayat:
فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ
أَصَابَ. وَالشَّيَاطِيْنَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ. وَآخَرِيْنَ
مُقَرَّنِيْنَ فِي اْلأَصْفَادِ
“Kemudian Kami tundukkan untuknya (Sulaiman) angin yang berhembus
dengan baik menurut ke mana saja dia kehendaki. Dan Kami tundukkan pula
untuknya setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam. Demikian pula
setan lain yang terikat dalam belenggu.” (Shaad: 36-38)
Menggabungkan dua hadits di atas dengan kisah Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu yang dapat menangkap setan ketika setan mencuri
makanan zakat yang dijaga Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau ingin
membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin
dianggap rumit. Maka jawaban atas kerumitan ini dipaparkan Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu sebagai berikut:
“Dimungkinkan setan yang ingin diikat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam itu adalah tokoh/ pimpinan para setan, sehingga bila berhasil
menguasainya berarti dapat menguasai setan yang lainnya. Bila seperti
ini, dapat menyamai apa yang diperoleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
berupa penundukan para setan untuk memenuhi keinginannya dan mengambil
perjanjian dari mereka. Sementara yang dimaksud dengan setan dalam kisah
Abu Hurairah bisa jadi setan yang merupakan qarin10 Abu Hurairah, atau
setan lainnya, yang bukan tokoh/ pimpinannya. Atau bisa jadi setan yang
ingin diikat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak di hadapan
beliau dengan sifat aslinya sesuai dengan penciptaannya, seperti halnya
setan-setan yang berkhidmat/ mengabdi pada Sulaiman ‘alaihissalam berada
dalam bentuk aslinya. Adapun setan yang dilihat Abu Hurairah berada
dalam wujud manusia, sehingga memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk
menangkapnya, dan tidak ada unsur penyerupaan dengan kerajaan Sulaiman.
(Fathul Bari, 9/ 71-72)
Sebagai penutup, kami himbau kaum muslimin secara umum agar tidak
tertipu dengan acara para dukun alias paranormal berikut ocehan mereka.
Dan jangan memberikan decak kagum pada mereka karena menganggap mereka
memiliki kesaktian dengan keluarbiasaan yang dipamerkan. Yakinlah,
mereka itu di atas kebatilan. Mereka berdusta, dan mereka adalah
kawan-kawan setan sang pendusta besar! Bacakan ayat Kursi di hadapan
mereka (diruqyah) agar kekuatan palsu mereka mental dan lumpuh dengan
izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Bisa jadi ucapan ini mudraj (selipan) dari ucapan sebagian
perawinya. Perkataan ini dibawakan untuk meminta uzur kenapa Abu
Hurairah melepaskan pencuri itu pada kali yang ketiga, yaitu karena ia
–sebagaimana shahabat yang lain- begitu bersemangat mendapatkan
pengajaran/ pengetahuan yang bermanfaat. (Fathul Bari, 4/615-616)
2 Ghilan atau Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang
sedang berjalan di gurun. Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk
yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut.
(Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/569)
3 Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan, yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala jalankan lewat tangan salah seorang wali-Nya dalam rangka
membantunya pada perkara agama atau dunia, namun tidak disertai dengan
nubuwwah (kenabian) bagi wali tersebut. Karena bila disertai dengan
nubuwwah berarti mu’jizat bukan karamah. Seperti kisah Ashabul Kahfi
yang tertidur di gua selama ratusan tahun sementara tubuh mereka tetap
terjaga, tidak rusak binasa. Seperti pula kisah Maryam, ibu Nabi ‘Isa
‘alaihissalam, yang mendapatkan rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala
berupa buah-buahan sementara ia beribadah dalam mihrabnya sehingga
membuat heran Nabi Zakaria ‘alaihissalam dengan pernyataannya: أَنَّى
لَكِ هذَا (Dari mana engkau mendapatkan buah-buahan ini (wahai Maryam).)
(Ali ‘Imran: 37) (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Muhammad Khalil
Harras, hal. 253)
4 Lihat hadits tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengikat setan di tiang masjid
5 Dalam riwayat lain ada tambahan: فَذَعَتُّهُ (aku pun mencekiknya).
6 Ifrit adalah kalangan jin yang sombong, membangkang, durhaka, lalim lagi jahat (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 5/32).
7 Al-Khaththabi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan pengikut
Nabi Sulaiman dapat melihat jin-jin dalam bentuk dan penampilan mereka
ketika jin-jin ini beraktivitas. Adapun tentang firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ,
maka, kata beliau, yang dimaukan adalah mayoritas atau dominannya keadaan anak Adam (manusia), mereka tidak dapat melihat jin.
8 HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga.
9 HR. Muslim no. 1211
10 Setan yang selalu menyertai dan mendampingi anak Adam dan setiap anak Adam ada qarin yang menyertainya.
Sumber : http://www.asysyariah.com. Kategori : Hadits, Judul asli : Batilnya “Pemburu Hantu” Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari,
(Dengan pengurangan pembukaan hadits kisah setan pencuri zakat yang juga telah dipblikasikan dirubrik ini sebelumnya)
Bagi-bagi ke yang lain...
Filed under: Jin | Ditandai: alam ghaib, batilnya pemburu hantu, dan Jin Tidak Dapat Mengetahui yang Ghaib, fenomena alam ghaib, Iblis, Makhluk Allah yang Ghaib, melihat jin, Menyingkap alam ghaib, pemburu hantu, rahasia alam ghaib, Setan, tabir ghaib, unsur jin, unsur setan | Leave a comment »
Posted on 26 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Jimat-jimat, penglaris,
susuk pemikat, dan sebagainya adalah komoditi keghaiban yang laris
diburu orang. Dari pejabat hingga rakyat jelata, dari yang bukan artis
hingga selebritis, semuanya rela mengeluarkan dana ‘tidak terbatas’
–bahkan terkadang tumbal kematian kerabatnya– demi tujuan duniawi yang
sejatinya tidak kekal. Padahal, jika mereka mau menyadari, apa yang
dilakukannya itu tak lain adalah bentuk penghambaan kepada jin.
Aneh Tapi Nyata
Menyimak kisah atau mitos-mitos berkaitan dengan alam jin dan
‘pernak-pernik’-nya, yang banyak beredar di tengah masyarakat, jelas
akan membuat kita miris. Pasalnya, kisah-kisah tadi sedikit banyak
membuat masyarakat tertipu dan menjadi rancu. Yang mestinya urusan dan
ilmunya hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, seolah menjadi ilmu
yang bisa dimiliki oleh banyak orang. Parahnya, yang paling berhak untuk
menyandang ‘ilmu’ pawang jin dan pawang alam ghaib menurut masyarakat
umum adalah paranormal. Tidak ketinggalan pula dalam hal ini para kyai
yang melelang ilmunya demi pangkat, pamor, dan harta benda duniawi.
Demikianlah bila ilmu agama telah jauh dari kaum muslimin.
Sesuatu yang mustahil diilmui dan dilakukan oleh manusia menjadi
sebuah ‘kenyataan’ pada hari ini. Mengetahui yang ghaib, menerka sesuatu
yang tidak ada di hadapannya dan melukiskan setiap yang terlintas di
dalam benak lalu menjadikannya sebagai ilmu yang diperjualbelikan banyak
pihak. Sungguh aneh tapi nyata, mereka yang berani dan berlagak pintar
dalam masalah ini menjadi orang yang mendapat sanjungan setinggi langit.
Bahkan jika surga ada di tangan, niscaya akan diberikan kepada mereka.
Bisa terbang, kebal, memukul dari jarak jauh, berjalan di atas
benang, tidak terbakar oleh api, bisa berjalan di atas air dan bisa
muncul di mana saja sesuai yang diinginkan, seolah merupakan
implementasi keghaiban kelas tinggi. Padahal para pelakunya tak lain
adalah khadamah (budak) para setan dan orang-orang zindiq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan:
“Banyak di antara mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah
membawanya (ke berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan
selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat dan
menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Setan bersedia membantunya karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat
yang dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya
setan akan meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan
hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain. Dan aku
mengenal banyak orang yang melakukan demikian di negeri Syam, Mesir,
Hijaz dan Yaman.
Adapun di Jazirah, Iraq, Khurasan, dan Rum, lebih banyak dari apa
yang terjadi di negeri Syam dan selainnya. Dan tentunya di negeri-negeri
kafir dari kalangan kaum musyrikin dan ahli kitab tentu lebih banyak
lagi.” (Majmu’ Fatawa, 11/250)
Tema alam jin kini juga kian laris dalam pentas sinetron atau film.
Bahkan perkara-perkara ghaib menjadi sebuah pertunjukan yang bisa
dipancaindrakan. Sungguh betapa liciknya Iblis dan bala tentaranya dalam
mempergunakan kemajuan teknologi untuk menyesatkan dan menjadikan
manusia kafir serta ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Media massa
menjadi pelicin langkah mereka untuk menggiring umat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Neraka Sa’ir. Propaganda demi
propaganda yang dilakukan serta manuver-manuver penyesatan yang
dilancarkan disambut dengan tangan terbuka dan dada yang lapang.
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya dia (Iblis) menyeru para pengikutnya menuju Neraka Sa’ir.” (Fathir: 6)
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Hikmah Penciptaan Manusia dan Jin
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dan jin untuk suatu hikmah
yang besar dan mulia, yang akan mengangkat martabat mereka di sisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di hadapan seluruh makhluk. Hikmah yang
karenanya diturunkan kitab-kitab dan diutus para nabi dan rasul, serta
karenanya pula ditegakkan amanat jihad. Dengannya, seseorang akan masuk
ke dalam Surga atau ke dalam Neraka, dan karenanya ditegakkan balasan
atas seluruh perbuatan yang dilakukan.
Tahukah anda apa hikmah tersebut?
Hikmah diciptakannya manusia dan jin adalah apa yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepadaku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Hikmah ini untuk menjelaskan apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia itu menyangka bahwa dia dibiarkan begitu saja?” (Al-Qiyamah: 36)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ
“Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia dan
kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu`minun: 115)
Al-Imam Mujahid, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan:
“Sia-sia artinya tidak diperintah dan tidak dilarang.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/474 dan lihat Tafsir Ibnul Qayyim, hal. 504 serta Miftah Dar
As-Sa’adah, 2/13)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan:
“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi serta segala apa yang
ada di dalamnya dengan benar dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menciptakan mereka sia-sia. Dan (mereka diciptakan sia-sia) merupakan
dugaan orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa, 16/174)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa menyimpang dari (jalan) Rabbnya dan menyombongkan diri dari
beribadah kepada-Nya, maka sungguh dia telah melemparkan (menolak)
hikmah dia diciptakan, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya
untuk beribadah. Dan perbuatannya dalam mempersaksikan bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya adalah sia-sia belaka dan tidak
berarti, meskipun dia tidak mengucapkannya secara langsung. Demikianlah
kandungan sikap penyimpangan dan kesombongannya dari taat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Fatawa ‘Aqidah wa Arkanul Islam, hal. 83 masalah
59)
Jin dan Manusia Memiliki Tugas yang Sama
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa jin dan manusia memiliki tugas
yang sama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu tugas yang bila
dilaksanakan akan menjadikannya sebagai orang yang mulia di sisi-Nya dan
menjadi orang yang paling adil, serta sebagai penegak keadilan di muka
bumi. Sebaliknya, bila diabaikan akan menjadi orang yang celaka dan
menjadi orang yang paling dzalim, serta sebagai penegak kedzaliman di
muka bumi.
Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bahwa tujuan penciptaan
dan perintah adalah agar Allah Subhanahu wa Ta’ala diketahui dengan nama
dan sifat-sifat-Nya serta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang
disembah, tidak disekutukan dengan sesuatupun. Dan agar manusia berbuat
adil, yaitu keadilan yang langit dan bumi tegak karenanya. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan
keterangan-keterangan dan Kami menurunkan kepada mereka al-kitab
(Al-Qur`an) dan timbangan agar manusia berbuat adil.” (Al-Hadid: 25)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Dia mengutus para rasul
dan menurunkan Al-Kitab agar manusia berbuat adil. Dan keadilan yang
paling besar adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketauhidan
juga merupakan puncak dan tonggak keadilan. Sesungguhnya kesyirikan itu
adalah sebuah kedzaliman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kesyirikan adalah kedzaliman terbesar, dan tauhid adalah keadilan
yang paling besar. Maka segala hal yang akan menafikan maksud ini, yaitu
tauhid, maka perkara itu merupakan dosa yang paling besar. (Al-Jawabul
Kafi, hal. 109)
Tugas yang untuk itu diciptakan jin dan manusia adalah untuk
menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan
sesuatupun.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa`: 36)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan
kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”
(Al-Baqarah: 21)
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.” (Al-Baqarah: 22)
Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mau melaksanakan tugas ini
divonis oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai orang yang sombong dan
angkuh, serta divonis sebagai anggota dan bala tentara Iblis.
إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari beribadah
kepada-Ku akan masuk ke dalam neraka Jahnnam dalam keadaan hina.”
(Ghafir: 60)
قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُوْمًا مَدْحُوْرًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Allah berfirman: ‘Keluarlah kamu dari surga sebagai orang terhina
lagi terusir. Sesungguhnya orang-orang di antara mereka yang mengikuti
kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu
semuanya’.” (Al-A’raf: 18)
قَالَ اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَاؤُكُمْ جَزَاءً مَوْفُوْرًا
“Allah berfirman: ‘Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang
mengikuti kamu maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua,
sebagai satu pembalasan yang cukup’.” (Al-Isra`: 63)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ
سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ مِنْهُ فِتْنَةً
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu dari
(tempat itu) dia mengutus bala tentaranya. Dan orang yang paling dekat
kedudukannya di sisi Iblis adalah orang yang paling besar fitnah yang
ditimbulkannya.”1
لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis
kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka
semuanya.” (Shad: 85)
Tolong Menolong adalah Ibadah
Manusia di dalam menjalani hidupnya sebagai manusia sangat membutuhkan
bantuan orang lain. Orang miskin butuh bantuan orang kaya, yang lemah
butuh bantuan orang yang kuat, yang sakit butuh bantuan para dokter, dan
begitu seterusnya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan
kebijaksanaan-Nya telah meletakkan anjuran untuk saling menolong dalam
perkara yang dicintainya dan mengharamkan untuk saling menolong dalam
perkara yang dibenci. Ketergantungan dan keterkaitan ini telah
dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan
jangan kalian tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan maksiat.”
(Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ
اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مَنْ يَسَّرَ
عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Barangsiapa mengeluarkan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka
Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan dunia dan akhirat. Dan
barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang mengalami kesulitan,
niscaya Allah akan memudahkan semua urusannya di dunia dan akhirat.”2
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”3
Dari ayat dan hadits di atas, sesungguhnya sangat jelas bahwa tolong
menolong di dalam kebaikan merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Dan karena sebuah ibadah, maka harus dibangun di atas dua dasar
yaitu ikhlas dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila salah satu dari kedua dasar ini gugur, walaupun perbuatan itu
bentuknya ibadah, niscaya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dariku maka amalan tersebut tertolak.”4
Hukum Meminta Tolong kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dalam edisi yang telah lalu telah kita bahas hukum meminta tolong kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita jelaskan bahwa meminta
tolong itu adalah sebuah ibadah, maka tidak boleh kita mengarahkan
permintaan tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong.” (Al-Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Dan apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” 5
Apakah larangan meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, memang mutlak atau perlu dirinci?
Jawabannya perlu dirinci:
q Bila meminta tolong kepada selain Allah dalam perkara di mana tidak
ada yang bisa melakukannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam masalah ini
adalah syirik.
q Bila dalam perkara yang manusia itu sanggup untuk melakukannya maka hukumnya perlu juga untuk dirinci:
- bila dalam perkara yang baik, hal itu diperbolehkan sebagaimana dalil di atas.
- bila dalam perkara yang jahat, hal itu diharamkan. (Syarah Tsalatsatil Ushul, Ibnu ‘Utsaimin hal. 58)
Bolehkah Meminta Tolong kepada Jin?
Sesungguhnya inilah yang menjadi inti pembahasan kali ini, yaitu
bagaimana hukum meminta tolong kepada jin? Apakah dalam pandangan agama
diperbolehkan atau diharamkan? Jika hal itu diperbolehkan, apakah kita
bisa meminta tolong dalam semua urusan atau dalam urusan tertentu saja?
Kita mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus
kepada tsaqalain –jin dan manusia– menyeru mereka kepada jalan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Sehingga
bila bangsa jin itu ingkar dan kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
menurut nash dan ijma’, mereka akan masuk ke dalam neraka. Dan bila
mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut jumhur ulama mereka
akan masuk ke dalam surga. Dan jumhur ulama menegaskan pula bahwa tidak
ada seorang rasul dari kalangan jin. Yang ada adalah pemberi peringatan
dari kalangan mereka. (Majmu’ Fatawa, 11/169, Tuhfatul Mujib, hal. 364)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa meminta bantuan kepada jin ada tiga bentuk:
Pertama: Meminta bantuan dalam perkara ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, seperti menjadi pengganti di dalam menyampaikan
ajaran agama. Contohnya, apabila seseorang memiliki teman jin yang
beriman dan jin tersebut menimba ilmu darinya. Maksudnya, jin tersebut
menimba ilmu dari kalangan manusia, kemudian setelah itu menjadikan jin
tersebut sebagai da’i untuk menyampaikan syariat kepada kaumnya atau
menjadikan dia pembantu di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, maka hal ini tidak mengapa.
Bahkan terkadang menjadi sesuatu yang terpuji dan termasuk dakwah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana telah terjadi bahwa
sekumpulan jin menghadiri majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan dibacakan kepada mereka Al-Qur`an. Selanjutnya, mereka
kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Di kalangan jin
sendiri terdapat orang-orang yang shalih, ahli ibadah, zuhud dan ada
pula ulama, karena orang yang akan memberikan peringatan semestinya
mengetahui tentang apa yang dibawanya, dan dia adalah seseorang yang
taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam memberikan peringatan
tersebut.
Kedua: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang
diperbolehkan. Hal ini diperbolehkan, dengan syarat wasilah (perantara)
untuk mendapatkan bantuan jin tersebut adalah sesuatu yang boleh dan
bukan perkara yang haram. (Perantara yang tidak diperbolehkan) seperti
bilamana jin itu tidak mau memberikan bantuan melainkan dengan
(mendekatkan diri kepadanya dengan) menyembelih, sujud, atau selainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar
radhiallahu ‘anhu terlambat datang dalam sebuah perjalanan hingga
mengganggu pikiran Abu Musa radhiallahu ‘anhu. Kemudian mereka berkata
kepada Abu Musa radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya di antara penduduk
negeri itu ada seorang wanita yang memiliki teman dari kalangan jin.
Bagaimana jika wanita itu diperintahkan agar mengutus temannya untuk
mencari kabar di mana posisi ‘Umar radhiallahu ‘anhu?” Lalu dia
melakukannya, kemudian jin itu kembali dan mengatakan: “Amirul Mukminin
tidak apa-apa dan dia sedang memberikan tanda bagi unta shadaqah di
tempat orang itu.” Inilah bentuk meminta pertolongan kepada mereka dalam
perkara yang diperbolehkan.
Ketiga: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diharamkan
seperti mengambil harta orang lain, menakut-nakuti mereka atau
semisalnya. Maka hal ini adalah sangat diharamkan di dalam agama.
Kemudian bila caranya itu adalah syirik maka meminta tolong kepada
mereka adalah syirik dan bila wasilah itu tidak syirik, maka akan
menjadi sesuatu yang bermaksiat. Seperti bila ada jin yang fasik
berteman dengan manusia yang fasik, lalu manusia yang fasik itu meminta
bantuan kepada jin tersebut dalam perkara dosa dan maksiat. Maka meminta
bantuan yang seperti ini hukumnya maksiat dan tidak sampai ke batas
syirik. (Al-Qaulul Mufid hal. 276-277, Fatawa ‘Aqidah Wa Arkanul Islam
hal. 212, dan Majmu’ Fatawa 11/169)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu mengatakan:
“Adapun masalah tolong menolong dengan jin, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan dan ketakwaan dan
jangan kalian saling tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan
maksiat.” (Al-Ma`idah: 2)
Boleh ber-ta’awun (kerja sama) dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang
harus kamu ketahui dulu tentang mereka, bahwa dia bukanlah setan yang
secara perlahan membantumu namun kemudian menjatuhkan dirimu dalam
perbuatan maksiat dan menyelisihi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan
telah didapati, bukan hanya satu orang dari kalangan ulama yang dibantu
oleh jin.” (Tuhfatul Mujib, hal. 371)
Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menjelaskan:
“Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung
dalam menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada
seseorang atau memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan
terkabulkannya permintaan dan tertunaikannya segala hajat, termasuk dari
katagori istimta’ (bersenang-senang) dengan mereka. Perbuatan ini
terjadi dengan cara mengagungkan mereka, berlindung kepada mereka, dan
kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan segala yang
dibutuhkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ
اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ
رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي
أَجَّلْتَ لَنَا
“Dan ingatlah hari di mana Allah menghimpun mereka semuanya dan Allah
berfirman: ‘Wahai segolongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah
banyak menyesatkan manusia.’ Kemudian berkatalah kawan-kawan mereka dari
kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari kami
telah mendapatkan kesenangan dari sebahagian yang lain dan kami telah
sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami’.” (Al-An’am:
128)
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang dari laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada laki-laki di antara jin kemudian jin-jin itu
menambah kepada mereka rasa takut.” (Al-Jin: 6)
Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau agar
melindunginya dari kejahatan orang-orang yang jahat, hal ini termasuk
dari kesyirikan. Barangsiapa demikian keadaannya, niscaya tidak akan
diterima shalat dan puasanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu melakukan kesyirikan, niscaya amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar: 65)
Barangsiapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan
jenazahnya, tidak diringi jenazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan
orang-orang Islam.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/162-163)
Kesimpulan
Meminta bantuan kepada jin adalah boleh dalam perkara yang bukan maksiat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun demikian, kami memandang agar
hal itu dihindari pada zaman ini, mengingat kebodohan yang sangat
menyelimuti umat. Sehingga banyak yang tidak mengerti perkara yang mubah
dan yang tidak mengandung maksiat, atau mana tata cara yang boleh dan
tidak mengandung pelanggaran agama serta mana pula yang mengandung hal
itu. Wallahu a’lam (ed). Sedangkan bila perkara itu bermaksiat, hukumnya
bisa jatuh kepada tingkatan haram yaitu bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, bahkan bisa juga menjadi kufur keluar dari agama.
Wallahu a’lam.
1 HR. Al-Imam Muslim no. 2813 dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma
2 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
3 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
4 HR. Al-Imam Muslim no. 1718 dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2518 dan Al-Imam Ahmad no. 2804 dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma
Sumber : http://www.asysyariah.com, Judul Asli : Bolehkah meminta bantuan kepada Jin?, Kategori : Akidah, Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah,
Bagi-bagi ke yang lain...
Posted on 26 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkisah dalam sebuah hadits yang panjang:
وَكَّلَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ
زَكاَةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ الطَّعَامِ،
فَأَخَذْتُهُ وَقُلْتُ: وَاللهِ، لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ
عِيَالٌ، وَلِي حَاجَةٌ شَدِيْدَةٌ. قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ.
فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا
أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيْرُكَ الْبَارِحَةَ؟. قَالَ: قُلْتُ:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيْدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ
فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ،
وَسَيَعُوْدُ. فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُوْدُ لِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ سَيَعُوْدُ. فَرَصَدْتُهُ،
فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ
إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: دَعْنِي
فَإِنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ، لاَ أَعُوْدُ. فَرَحِمْتُهُ
فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ماَ فَعَلَ أَسِيْرُكَ؟
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيْدَةً وَعِيَالاً،
فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ،
وَسَيَعُوْدُ. فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ، فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ
الطَّعاَمِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ، إِنَّكَ
تَزْعُمُ لاَ تَعُوْدُ ثُمَّ تَعُوْدُ. قَالَ: دَعْنِي أُعَلِّمُكَ
كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا. قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا
أََوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِي {اللهُ لاَ إِلهَ
إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ} (البقرة: 255) حَتَّى تَخْتِمَ
الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلاَ
يَقْرِبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ.
فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: مَا فَعَلَ أَسِيْرُكَ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللهِ، زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِيَ اللهُ بِهَا
فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: قَالَ لِي: إِذَا
أَوَيْتُ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِي {اللهُ لاَ إلَهَ
إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ} وَقَالَ لِي: لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ
مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ.
وَكَانُوْا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ. فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ،
تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُذْ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟
قَالَ: لاَ. قَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga
zakat Ramadhan (berupa makanan, pent.). Tiba-tiba seseorang datang.
Mulailah ia mengutil makanan zakat tersebut. Aku pun menangkapnya seraya
mengancamnya: “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada
beliau.” Orang yang mencuri itu berkata: “Aku butuh makanan, sementara
aku memiliki banyak tanggungan keluarga. Aku ditimpa kebutuhan yang
sangat.” Karena alasannya tersebut, aku melepaskannya. Di pagi harinya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Hurairah, apa
yang diperbuat tawananmu semalam?” “Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya
kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga. Aku pun menaruh iba
kepadanya hingga aku melepaskannya,” jawabku. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia
akan kembali lagi.” (Di malam berikutnya) aku yakin pencuri itu akan
kembali lagi karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:
“Dia akan kembali.” Aku pun mengintainya, ternyata benar ia datang lagi
dan mulai menciduk makanan zakat. Kembali aku menangkapnya seraya
mengancam: “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.”
“Biarkan aku karena aku sangat butuh makanan sementara aku memiliki
tanggungan keluarga. Aku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi.” Aku
kasihan kepadanya hingga aku melepaskannya. Di pagi harinya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Hurairah, apa yang
diperbuat oleh tawananmu?” “Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya
kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga, aku pun iba
kepadanya hingga aku pun melepaskannya,” jawabku. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan
dia akan kembali lagi.” Di malam yang ketiga, aku mengintai orang itu
yang memang ternyata datang lagi. Mulailah ia menciduk makanan. Segera
aku menangkapnya dengan mengancam: “Sungguh aku akan membawamu ke
hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan
perbuatanmu ini kepada beliau. Ini untuk ketiga kalinya engkau mencuri,
sebelumnya engkau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu tetapi
ternyata engkau mengulangi kembali.” “Lepaskan aku, sebagai imbalannya
aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat
kepadamu dengan kalimat-kalimat tersebut,” janji orang tersebut. Aku
berkata: “Kalimat apa itu?” Orang itu mengajarkan: “Apabila engkau
berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi: اللهُ لاَ إلَهَ إِلاَّ
هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ (Al-Baqarah: 255) hingga engkau baca sampai
akhir ayat. Bila engkau membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan
penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu
sampai pagi hari.” Aku pun melepaskan orang itu, hingga di pagi hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya kepadaku: “Apa
yang diperbuat tawananmu semalam?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, ia
berjanji akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan
manfaat kepadaku dengan kalimat-kalimat tersebut, akhirnya aku
membiarkannya pergi.” “Kalimat apa itu?”, tanya Rasulullah. Aku berkata:
“Orang itu berkata kepadaku: `Apabila engkau berbaring di tempat
tidurmu, bacalah ayat Kursi dari awal hingga akhir ayat: اللهُ لاَ إلَهَ
إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ’. Ia katakan kepadaku: `Bila engkau
membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah
dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari’.”
Sementara mereka (para shahabat) merupakan orang-orang yang sangat
bersemangat terhadap kebaikan1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Sungguh kali ini ia jujur kepadamu padahal ia banyak berdusta.
Engkau tahu siapa orang yang engkau ajak bicara sejak tiga malam yang
lalu, ya Abu Hurairah?.” “Tidak,” jawabku. “Dia adalah setan,” kata
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya,
kitab Al-Wakalah bab Idza Wakkala Rajulan Fatarakal Wakil Syai`an
Fa’ajazahul Muwakkil fa Huwa Ja`iz no. 2311. Selain itu Al-Bukhari juga
menyebutkan hadits di atas secara ringkas dalam kitab Bad`ul Khalqi, bab
Shifatu Iblis wa Junudihi dan dalam kitab Fadha`ilul Qur`an, bab Fadhlu
Shuratil Baqarah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan adanya
tambahan dalam riwayat Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu ditugaskan menjaga kurma sedekah. Maka ia menemukan adanya bekas
telapak tangan yang sepertinya telapak tangan itu telah mengambil kurma
sedekah. Pada awalnya, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengadukan hal itu
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi berkata kepadanya:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَأْخُذَهُ فَقُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَ لِمُحَمَّدٍ
“Bila engkau ingin menangkapnya, katakanlah: Maha Suci Dzat yang menundukkanmu kepada Muhammad.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pun mengucapkan demikian, maka tiba-tiba pencuri itu telah berdiri
di hadapanku, maka aku dapat menangkapnya.” (Fathul Bari, 4/614)
Bagi-bagi ke yang lain...
Posted on 20 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Kemunculan sebuah bangsa yang akan menciptakan kekacauan serta
kerusakan di muka bumi telah ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
sebagai salah satu penanda kiamat besar. Siapakah dan bagaimanakah
mereka?
Di dalam beberapa hadits tentang tanda-tanda hari kiamat kubra,
disebutkan ada sepuluh tanda hari kiamat. Di antaranya adalah keluarnya
Ya`juj dan Ma`juj.
Berita tentang keluarnya Ya`juj dan Ma`juj bukan hanya mutawatir, bahkan disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 96-97:
حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ
يَنْسِلُونَ. وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ
أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَاوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِنْ
هَذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ.
Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka
turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah
datangnya janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba
terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): “Aduhai,
celakalah kami, sesungguhnya kami dalam kelalaian tentang ini, bahkan
kami adalah orang-orang yang dzalim.”
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: mereka adalah dari keturunan
Adam ‘alaihissalam dari keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam, dari anak
keturunan Yafits yakni nenek moyang bangsa Turki yang terisolir oleh
benteng tinggi yang dibangun oleh Dzulqarnain.
Sedangkan makna “min kulli hadabin yansilun” diterangkan oleh Ibnu
Katsir rahimahullahu: yakni turun dari tempat-tempat yang tinggi dengan
cepat dengan membuat kerusakan.
Demikian pula disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 94:
قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ
فِي اْلأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj wa Ma`juj merusak di muka
bumi, kami akan siapkan imbalan yang besar agar kiranya engkau
membuatkan benteng antara kami dengan mereka.”
Adapun kalimat yang menunjukkan bahwa runtuhnya benteng Dzulqarnain
dan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj sebagai tanda dekatnya hari kiamat adalah
ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat ke-98:
هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ
“Ini adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh…..”
Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan:
“Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak akan bisa melubanginya sedikitpun…”
Sedangkan makna “Jika datang janji Rabbku” adalah:
Jika telah dekat hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan runtuhkan
benteng tersebut. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.
Ya`juj wa Ma`juj dari keturunan Adam ‘alaihissalam
Ya’juj dan Ma’juj adalah dari jenis manusia keturunan Adam
‘alaihissalam. Tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa
mereka bukanlah dari keturunan manusia. Hanya saja mereka adalah
orang-orang yang merusak serta memiliki sifat dan perangai yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala takdirkan kepada mereka tidak seperti manusia pada
umumnya.
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka dari jenis manusia keturunan Adam
‘alaihissalam adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam
Kitabul Anbiya’ bab Qishah Ya’juj dan Ma’juj, dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: يَا
آدَمُ. فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ.
فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ. قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟
قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ
فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا
وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ
اللَّهِ شَدِيدٌ ﭼ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيُّنَا ذَلِكَ
الْوَاحِدُ؟ قَالَ: أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلًا وَمِنْ يَأْجُوجَ
وَمَأْجُوجَ أَلْفًا …
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Adam: “Wahai Adam.” Maka
Adam menjawab: “Labbaika wa sa’daika wal khairu fi yadaika (Aku sambut
panggilan-Mu dengan senang hati dan kebaikan semuanya di tangan-Mu).”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keluarkan utusan
(penghuni) neraka.” Maka Adam bertanya: “Apa itu utusan (penghuni)
neraka?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka dari setiap seribu
orang, sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang!” Maka ketika itu
anak kecil menjadi beruban, setiap yang hamil melahirkan apa yang
dikandungnya, dan kamu lihat orang-orang seakan-akan mabuk padahal
mereka tidak mabuk, tetapi karena adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
sangat keras. Kemudian para shahabat bertanya: “Siapa satu yang selamat
dari kita itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bergembiralah,
sesungguhnya penghuni neraka itu dari kalian satu dan dari Ya’juj dan
Ma’juj seribu….” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, juz 6 hal. 382)
Dari hadits di atas kita dapatkan beberapa faedah:
Pertama: Ya’juj dan Ma’juj adalah calon penghuni neraka.
Kedua: jumlah Ya’juj dan Ma’juj sangat besar.
Ketiga: bahwa Ya’juj dan Ma’juj dari jenis manusia keturunan Adam.
Sifat-sifat Ya`juj dan Ma`juj
Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Adam, namun mereka memiliki
sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah
perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun
dari gunung seakan-akan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara
dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya,
merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan
sifat-sifat lain.
Disebutkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَاصِبٌ
إِصْبَعَهُ مِنْ لَدْغَةِ عَقْرَبٍ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تَقُولُونَ لاَ
عَدُوَّ وَإِنَّكُمْ لاَ تَزَالُونَ تُقَاتِلُونَ عَدُوًّا حَتَّى يَأْتِيَ
يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْعُيُونِ شُهْبُ
الشِّعَافِ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ
الْمُطْرَقَةُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dalam keadaan
jarinya terbalut karena tersengat kalajengking. Beliau bersabda: “Kalian
mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus
memerangi musuh sampai datangnya Ya’juj dan Ma’juj, lebar mukanya, kecil
(sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir
dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti
perisai.” (HR. Ahmad)
Ya`juj dan Ma`juj Sudah Ada Sekarang
Ya`juj dan Ma`juj sudah ada dan terus dalam keadaan turun-temurun
(beranak pinak), tidak meninggal satu orang dari mereka, kecuali lahir
seribu orang lebih. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin
‘Amr radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Hakim rahimahullahu dalam
Mustadrak-nya.
Namun alhamdulillah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bentengi mereka
dari kita, yaitu dengan sebab menakdirkan munculnya Dzulqarnain yang
dengan kemampuannya membuat benteng yang terbuat dari besi dan tembaga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا. حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ
وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلاً.
قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي
اْلأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمْ سَدًّا. قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ
فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا.
آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ
انْفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ ءَاتُونِي أُفْرِغْ
عَلَيْهِ قِطْرًا. فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا
لَهُ نَقْبًا. قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ
رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا
“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati
di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu
orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami
memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara
kami dan mereka?’
Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku
terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan
(manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan
mereka,
berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama
rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah
(api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api,
diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke
atas besi panas itu.’
Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.
Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka
apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh;
dan janji Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi: 92-98)
Kesombongan Ya`juj dan Ma`juj
Ya`juj dan Ma`juj ketika keluar tidaklah melewati sesuatu kecuali
dirusaknya. Tidaklah melewati danau kecuali meminumnya hingga habis.
Tidaklah mendapati manusia kecuali dibunuhnya sampai ketika mereka
merasa menang membantai seluruh penduduk bumi, mereka menantang penduduk
langit. Inilah kesombongan yang luar biasa dari Ya`juj wa Ma`juj.
ثُمَّ يَسِيرُونَ حَتَّى يَنْتَهُوا إِلَى جَبَلِ الْـخُمَرِ وَهُوَ
جَبَلُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَيَقُولُونَ: لَقَدْ قَتَلْنَا مَنْ فِي
اْلأَرْضِ هَلُمَّ فَلْنَقْتُلْ مَنْ فِي السَّمَاءِ. فَيَرْمُونَ
بِنُشَّابِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ فَيَرُدُّ اللهُ عَلَيْهِمْ نُشَّابَهُمْ
مَخْضُوبَةً دَمًا
“Kemudian mereka berjalan dan berakhir di gunung Khumar, yaitu salah
satu gunung di Baitul Maqdis. Kemudian mereka berkata: “Kita telah
membantai penduduk bumi, mari kita membantai penduduk langit.” Maka
mereka melemparkan panah-panah dan tombak-tombak mereka ke langit. Maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala kembalikan panah dan tombak-tombak mereka
dalam keadaan berlumuran darah.” (HR. Muslim dalam kitab Al-Fitan wa
Asyrathus Sa’ah)
Yakni mereka mengira bahwa darah tersebut bukti kemenangan mereka
melawan penduduk langit. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala binasakan
seluruhnya pada saat puncak kesombongan mereka dalam waktu yang hampir
bersamaan.
Binasanya Ya’juj dan Ma’juj dengan doa Nabi Isa ‘alaihissalam
Diriwayatkan dari An-Nawwas Ibni Sam’an radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang. Di antaranya sebagai berikut:
إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيسَى إِنِّي قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَادًا لِي
لاَ يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ فَحَرِّزْ عِبَادِي إِلَى الطُّورِ
وَيَبْعَثُ اللهُ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ
يَنْسِلُونَ فَيَمُرُّ أَوَائِلُهُمْ عَلَى بُحَيْرَةِ طَبَرِيَّةَ
فَيَشْرَبُونَ مَا فِيهَا وَيَمُرُّ آخِرُهُمْ فَيَقُولُونَ لَقَدْ كَانَ
بِهَذِهِ مَرَّةً مَاءٌ وَيُحْصَرُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ
حَتَّى يَكُونَ رَأْسُ الثَّوْرِ لِأَحَدِهِمْ خَيْرًا مِنْ مِائَةِ
دِينَارٍ لِأَحَدِكُمُ الْيَوْمَ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى
وَأَصْحَابُهُ فَيُرْسِلُ اللهُ عَلَيْهِمُ النَّغَفَ فِي رِقَابِهِمْ
فَيُصْبِحُونَ فَرْسَى كَمَوْتِ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَهْبِطُ نَبِيُّ
اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اْلأَرْضِ فَلاَ يَجِدُونَ فِي اْلأَرْضِ
مَوْضِعَ شِبْرٍ إِلاَّ مَلَأَهُ زَهَمُهُمْ وَنَتْنُهُمْ فَيَرْغَبُ
نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اللهِ فَيُرْسِلُ اللهُ طَيْرًا
كَأَعْنَاقِ الْبُخْتِ فَتَحْمِلُهُمْ فَتَطْرَحُهُمْ حَيْثُ شَاءَ اللهُ
ثُمَّ يُرْسِلُ اللهُ مَطَرًا لاَ يَكُنُّ مِنْهُ بَيْتُ مَدَرٍ وَلاَ
وَبَرٍ فَيَغْسِلُ اْلأَرْضَ حَتَّى يَتْرُكَهَا كَالزَّلَفَةِ ثُمَّ
يُقَالُ لِلْأَرْضِ أَنْبِتِي ثَمَرَتَكِ وَرُدِّي بَرَكَتَكِ…
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam:
Sesungguhnya aku mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak ada kemampuan
bagi seorang pun untuk memeranginya. Maka biarkanlah mereka
hamba-hamba-Ku menuju Thuur. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala keluarkan
Ya’juj dan Ma’juj dan mereka mengalir dari tiap-tiap tempat yang tinggi.
Kemudian mereka melewati danau Thabariyah1, dan meminum seluruh air
yang ada padanya. Hingga ketika barisan paling belakang mereka sampai di
danau tersebut mereka berkata: “Sungguh dahulu di sini masih ada
airnya.” Ketika itu terkepunglah Nabiyullah Isa ‘alaihissalam dan para
sahabatnya. Hingga kepala sapi ketika itu lebih berharga untuk mereka
daripada seratus dinar kalian sekarang ini. Maka Isa dan para sahabatnya
berharap (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala pun mengirim sejenis ulat yang menyerang leher
mereka. Maka pagi harinya mereka seluruhnya binasa menjadi
bangkai-bangkai dalam waktu yang hampir bersamaan. Kemudian turunlah
(dari gunung Thuur) Nabiyullah Isa dan para sahabatnya, maka tidak
didapati satu jengkal pun tempat kecuali dipenuhi oleh bangkai dan bau
busuk mereka. Maka Nabi Isa ‘alaihissalam pun berharap (berdoa) kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan
burung-burung yang lehernya seperti unta, membawa bangkai-bangkai mereka
dan kemudian dilemparkan di tempat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki2. Kemudian Allah kirimkan hujan yang tidak menyisakan satu pun
rumah maupun kemah, lalu membasahi bumi hingga menjadi licin. Kemudian
dikatakan kepada bumi itu: ‘Tumbuhkanlah buah-buahanmu dan kembalilah
berkahmu…” (HR. Muslim)
Wajib Beriman dengan berita Ya`juj wa Ma`juj
Berita tentang Ya`juj wa Ma`juj adalah berita dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, sehingga seorang muslim yang beriman wajib
menerimanya. Bukankah ciri-ciri orang yang bertakwa adalah beriman
kepada hal ghaib yang dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya? Dan termasuk hal yang ghaib adalah apa yang akan terjadi pada
akhir zaman, termasuk berita akan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj?
Namun sebagian kaum muslimin, khususnya kaum Mu’tazilah dan para
rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, menolak
berita-berita hadits yang -menurut anggapan mereka- tidak masuk akal.
Mereka menganggap hadits-hadits tersebut hanya akan membuat orang lari
dari Islam.
Ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa
‘alaihissalam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir
zaman, berita tentang Dajjal -yang sudah ada wujudnya dalam keadaan
terbelenggu- atau tentang Ya`juj wa Ma`juj yang masih beranak-pinak dan
terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh
Dzulqarnain, dan lain-lainnya. Mereka benar-benar gelisah, panas dadanya
seraya berkata: “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan.
Hadits-hadits ini akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam.”
Mereka melontarkan olok-olok, celaan, dan berbagai macam ucapan
penolakan terhadap hadits-hadits tersebut. Keadaan mereka ini persis
seperti yang dikatakan oleh para ulama tentang ahlul bid’ah:
Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullahu berkata: ”Tidak ada di
dunia ini seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) pun kecuali akan membenci ahlil
hadits. Jika seseorang mengada-adakan kebid’ahan niscaya akan dicabut
kelezatan hadits dari hatinya.” (Aqidatussalaf wa Ashhabul Hadits hal.
300)
Abu Nashr bin Sallam Al-Faqih rahimahullahu berkata: “Tidak ada
sesuatu yang lebih berat dan lebih dibenci bagi orang-orang mulhid
(sesat) daripada mendengarkan hadits dengan riwayat dan sanadnya.”
(Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal. 302)
Penutup
Sebagai nasihat dan peringatan untuk kita dan seluruh kaum muslimin, kami nukilkan beberapa ucapan para ulama dalam masalah ini:
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu menyatakan:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi sa wallam,
maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Hanabilah,
2/11 dan Al-Ibanah, 1/269; lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 29)
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu menegaskan:
“Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat
hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka
curigailah keislamannya dan jangan ragu kalau dia adalah pengekor hawa
nafsu, ahlul bid’ah.” (Syarhus Sunnah hal. 51)
Abul Qashim Al-Ashbahani rahimahullahu menerangkan: Ahlus Sunnah dari
kalangan salaf berkata: “Barangsiapa mencerca riwayat-riwayat hadits,
maka sepantasnya untuk dituduh keislamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil
Mahajjah 2/248. Lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 29)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu –imamnya para imam pada zamannya- berkata:
“Dari Allah Subhanahu wa Ta’ala keterangannya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah
menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 249)
Beliau rahimahullahu berkata juga: “Diriwayatkan dari salaf bahwa
kaki Islam tidak akan kokoh, kecuali di atas fondasi at-taslim (yakni
menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya, pent.).” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal. 200). Wallahu
a’lam.
1 Danau Tiberias/Galilea, terletak di wilayah pendudukan Yahudi,
tepatnya di barat daya Dataran Tinggi Golan. Merupakan sumber air tawar
bagi warga Yahudi-Israel.
2 Dalam riwayat lain, dilemparkan ke laut. (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya)
Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Sumber : http://www.asysyariah.com
Bagi-bagi ke yang lain...
Posted on 19 Mei 2011 by Abdillah Muhammad as Saryr
Penglihatan manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang
berada di balik tembok. Contoh kecil di atas menunjukkan betapa indera
manusia mempunyai keterbatasan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada
orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca
inderanya.
Merunut sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu
kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang
bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian
di masa datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan
(baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari
kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan
cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan
kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan
ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh
orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti
akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan
meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural.
Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka.
Wallahul musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang
identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun kalangan
‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan itu
semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang
konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan
banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya
kerap kali harus bekerja sama dengan jin (baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling
banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada
kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di
muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka
bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu
dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal,
orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya
adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ
اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ
رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي
أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ
مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman):
‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan
manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya
Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan
dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah
Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah
tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila
Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu
Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid,
hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang
Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada
seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ
مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ
يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ
يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ
“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada
di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun
dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:
وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai
gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui
yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ
اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan
tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak
lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi
orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan
untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ
غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang
(kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan
mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa
mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan
tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari
kiamat:
…فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ}
الآية
“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali
oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman
tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini,
tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan
pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah
menafsirkan firman Allah Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara
ghaib (yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang
terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya
Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ
“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara
ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara
ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian
perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang
dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti
dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan
Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui
perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa
bersandar kepada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul
Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah:
Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah
nyatakan:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ
إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ
تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا
لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang
menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang
memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu
bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka
tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.”
(Saba`: 14)
Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan
manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib,
maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ
“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk.
Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari
malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr:
17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan
menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya.
Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat
manusia. Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia,
apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang
Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam
barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh
panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada
lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya
beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang
mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal.
109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia
antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan
dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap
orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat
kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika
seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita,
baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain
sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si
sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati
karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak
ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang selalu
merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti,
maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya
dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib,
bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa
mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya
ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika
masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati
selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang
memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing
orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia
selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan
bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir
rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan
kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita
untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan
berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam
ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis
yang cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan
mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan
khurafat. Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media
cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara
ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata
tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan
akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya
terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran
mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga
kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya
Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum
atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam
semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula
orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam
Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang
mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah
semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang
hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian
lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih
utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan
bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran
yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan
kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah
Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di
hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab,
padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi)
lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih
mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara
tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan
bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali
sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya
dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah
pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah,
Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas
dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan
sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya
syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-.
Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan mengekor hawa
nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta
kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api)
atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah liat).”
(Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila
didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya
(ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya
perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat
perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang
dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya
(lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia
mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa
yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk
ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah
dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang
dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode
Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati
kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan
tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang
dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Para pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan
penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan
yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan
keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
Adapun keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka
kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi
dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya
amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah
kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya.
Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama
wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap
berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara
para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan
berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan (menyebutkan
hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang
dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau
memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang
merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul
Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi
yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang
hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4)
Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan
Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat dua
cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai
peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang.
Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya
kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Bila demikian, berarti semua perkara ghaib haruslah ditimbang dengan
timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan pemahaman para
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perkara ghaib (baca:
yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an
dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan
jika perkara ghaib tersebut diterangkan di dalam Al-Qur`an dan
Al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau
maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka
keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan
akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata:
“Iman kepada perkara ghaib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam
beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan di masa yang
akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat
sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal.
24)
Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang diberitakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang
bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut
merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ.
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُو;ْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada
perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki
yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang
diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh
kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan
perkara yang bisa dijangkau panca indra, karena dalam perkara yang
seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi
permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita
lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita
yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan
kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani
semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan
oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang
dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat
dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekafiran, -pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang
telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta
jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang
tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan
bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang
dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman
hal. 23)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap
muslim, -pen.) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat
dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca;
meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun
yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh
Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
hal. 101)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam
berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat
dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang
dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul
I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib
dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka
dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا
النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang
terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ
تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا
نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ
وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan
perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab
(Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami
menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja
yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu
benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan
Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
(Asy-Syura: 52-53)
Penutup
Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua
peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan
pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia
merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam,
filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Kondisinya, setiap satu berita yang benar diiringi dengan seratus
berita dusta. Sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3210, 3288, 5762, 6213, 7561 dan Al-Imam
Muslim dalam Shahih-nya no. 2228.
2 Sebagaimana diterangkan dalam catatan kaki no. 1, hal. 5
3 Diringkas dari Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 5/3-4, 6/3-4, dan 1/8-13.
4 Yakni tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.
Bagi-bagi ke yang lain...