Hari Kiamat itu Mempunyai Tanda-tanda

Hari kiamat itu mempunyai tanda, bermulanya dengan tidak laris jualan di pasar, sedikit saja hujan dan begitu juga dengan tumbuh-tumbuhan. Ghibah menjadi-jadi dan merata-rata, memakan riba, banyaknya anak-anak zina, orang kaya diagung-agungkan, orang-orang fasik akan bersuara lantang di masjid, para ahli mungkar lebih banyak menonjol dari ahli haq.Wallahu'alam Bish-shawab

Rabu, 12 Maret 2014

Jassasah si Pengawal Dajjal

Jassasah si Pengawal Dajjal

Jasasah 

Pernahkah anda mendengar Jassasah? Itulah pengawal Dajjal yang bertugas mencari-cari berita dari manusia, bila ia menemui manusia yang lewat di pulau kediaman Dajjal. Pulau apakah itu dan dimana? Pulau itu adalah pulau misteri sampai saat ini masih disembunyikan keberadaannya oleh Allah -Azza wa Jalla-.
Kali ini kami akan mengajak anda menikmati kisah di bawah ini yangmenyingkap sedikit perihal kehidupan makhluk misteri iniagar anda semakin yakin tentang kebenaran risalah Nabi kita Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-..
Dari Fathimah bintu Qois -radhiyallahu anha-, ia berkata,
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُنْتُ فِي صَفِّ النِّسَاءِ الَّتِي تَلِي ظُهُورَ الْقَوْمِ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ لِيَلْزَمْ كُلُّ إِنْسَانٍ مُصَلَّاهُ ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ لِمَ جَمَعْتُكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ إِنِّي وَاللَّهِ مَا جَمَعْتُكُمْ لِرَغْبَةٍ وَلَا لِرَهْبَةٍ وَلَكِنْ جَمَعْتُكُمْ لِأَنَّ تَمِيمًا الدَّارِيَّ كَانَ رَجُلًا نَصْرَانِيًّا فَجَاءَ فَبَايَعَ وَأَسْلَمَ وَحَدَّثَنِي حَدِيثًا وَافَقَ الَّذِي كُنْتُ أُحَدِّثُكُمْ عَنْ مَسِيحِ الدَّجَّالِ حَدَّثَنِي أَنَّهُ رَكِبَ فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ مَعَ ثَلَاثِينَ رَجُلًا مِنْ لَخْمٍ وَجُذَامَ فَلَعِبَ بِهِمْ الْمَوْجُ شَهْرًا فِي الْبَحْرِ ثُمَّ أَرْفَئُوا إِلَى جَزِيرَةٍ فِي الْبَحْرِ حَتَّى مَغْرِبِ الشَّمْسِ فَجَلَسُوا فِي أَقْرُبْ السَّفِينَةِ فَدَخَلُوا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْهُمْ دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يَدْرُونَ مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقَالُوا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قَالُوا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ أَيُّهَا الْقَوْمُ انْطَلِقُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ قَالَ لَمَّا سَمَّتْ لَنَا رَجُلًا فَرِقْنَا مِنْهَا أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً قَالَ فَانْطَلَقْنَا سِرَاعًا حَتَّى دَخَلْنَا الدَّيْرَ فَإِذَا فِيهِ أَعْظَمُ إِنْسَانٍ رَأَيْنَاهُ قَطُّ خَلْقًا وَأَشَدُّهُ وِثَاقًا مَجْمُوعَةٌ يَدَاهُ إِلَى عُنُقِهِ مَا بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى كَعْبَيْهِ بِالْحَدِيدِ قُلْنَا وَيْلَكَ مَا أَنْتَ قَالَ قَدْ قَدَرْتُمْ عَلَى خَبَرِي فَأَخْبِرُونِي مَا أَنْتُمْ قَالُوا نَحْنُ أُنَاسٌ مِنْ الْعَرَبِ رَكِبْنَا فِي سَفِينَةٍ بَحْرِيَّةٍ فَصَادَفْنَا الْبَحْرَ حِينَ اغْتَلَمَ فَلَعِبَ بِنَا الْمَوْجُ شَهْرًا ثُمَّ أَرْفَأْنَا إِلَى جَزِيرَتِكَ هَذِهِ فَجَلَسْنَا فِي أَقْرُبِهَا فَدَخَلْنَا الْجَزِيرَةَ فَلَقِيَتْنَا دَابَّةٌ أَهْلَبُ كَثِيرُ الشَّعَرِ لَا يُدْرَى مَا قُبُلُهُ مِنْ دُبُرِهِ مِنْ كَثْرَةِ الشَّعَرِ فَقُلْنَا وَيْلَكِ مَا أَنْتِ فَقَالَتْ أَنَا الْجَسَّاسَةُ قُلْنَا وَمَا الْجَسَّاسَةُ قَالَتْ اعْمِدُوا إِلَى هَذَا الرَّجُلِ فِي الدَّيْرِ فَإِنَّهُ إِلَى خَبَرِكُمْ بِالْأَشْوَاقِ فَأَقْبَلْنَا إِلَيْكَ سِرَاعًا وَفَزِعْنَا مِنْهَا وَلَمْ نَأْمَنْ أَنْ تَكُونَ شَيْطَانَةً فَقَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَخْلِ بَيْسَانَ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ أَسْأَلُكُمْ عَنْ نَخْلِهَا هَلْ يُثْمِرُ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّهُ يُوشِكُ أَنْ لَا تُثْمِرَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ بُحَيْرَةِ الطَّبَرِيَّةِ قُلْنَا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِيهَا مَاءٌ قَالُوا هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ قَالَ أَمَا إِنَّ مَاءَهَا يُوشِكُ أَنْ يَذْهَبَ قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ عَيْنِ زُغَرَ قَالُوا عَنْ أَيِّ شَأْنِهَا تَسْتَخْبِرُ قَالَ هَلْ فِي الْعَيْنِ مَاءٌ وَهَلْ يَزْرَعُ أَهْلُهَا بِمَاءِ الْعَيْنِ قُلْنَا لَهُ نَعَمْ هِيَ كَثِيرَةُ الْمَاءِ وَأَهْلُهَا يَزْرَعُونَ مِنْ مَائِهَا قَالَ أَخْبِرُونِي عَنْ نَبِيِّ الْأُمِّيِّينَ مَا فَعَلَ قَالُوا قَدْ خَرَجَ مِنْ مَكَّةَ وَنَزَلَ يَثْرِبَ قَالَ أَقَاتَلَهُ الْعَرَبُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ كَيْفَ صَنَعَ بِهِمْ فَأَخْبَرْنَاهُ أَنَّهُ قَدْ ظَهَرَ عَلَى مَنْ يَلِيهِ مِنْ الْعَرَبِ وَأَطَاعُوهُ قَالَ لَهُمْ قَدْ كَانَ ذَلِكَ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّ ذَاكَ خَيْرٌ لَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ وَإِنِّي مُخْبِرُكُمْ عَنِّي إِنِّي أَنَا الْمَسِيحُ وَإِنِّي أُوشِكُ أَنْ يُؤْذَنَ لِي فِي الْخُرُوجِ فَأَخْرُجَ فَأَسِيرَ فِي الْأَرْضِ فَلَا أَدَعَ قَرْيَةً إِلَّا هَبَطْتُهَا فِي أَرْبَعِينَ لَيْلَةً غَيْرَ مَكَّةَ وَطَيْبَةَ فَهُمَا مُحَرَّمَتَانِ عَلَيَّ كِلْتَاهُمَا كُلَّمَا أَرَدْتُ أَنْ أَدْخُلَ وَاحِدَةً أَوْ وَاحِدًا مِنْهُمَا اسْتَقْبَلَنِي مَلَكٌ بِيَدِهِ السَّيْفُ صَلْتًا يَصُدُّنِي عَنْهَا وَإِنَّ عَلَى كُلِّ نَقْبٍ مِنْهَا مَلَائِكَةً يَحْرُسُونَهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَعَنَ بِمِخْصَرَتِهِ فِي الْمِنْبَرِ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ هَذِهِ طَيْبَةُ يَعْنِي الْمَدِينَةَ أَلَا هَلْ كُنْتُ حَدَّثْتُكُمْ ذَلِكَ فَقَالَ النَّاسُ نَعَمْ
“Aku pernah sholat bersama Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Aku berada di shaff wanita yang berada dekat dengan punggung kaum lelaki. Tatkala Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah menyelesaikan sholatnya, maka beliau duduk di atas mimbar sambil tertawa. Kemudian beliau bersabda, “Hendaknya setiap orang melazimi tempatnya”, lalu bersabda lagi, “Tahukah kalian kenapa aku kumpulkan kalian?”
“Hanya Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”, kata mereka.
Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidaklah mengumpulkan kalian karena keinginan (dalam membagi ghonimah, –pent.) dan tidak pula karena takut (terhadap musuh, –pent.). Akan tetapi aku kumpulkan kalian, karena Tamim Ad-Dariy dahulu seorang yang beragama Nasrani. Kemudian ia datang berbai’at dan masuk Islam. Dia telah menceritakan kepadaku sebuah kisah yang sesuai dengan kisah yang pernah aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masih Ad-Dajjal. Dia telah menceritakan kepadaku bahwa telah berlayar dalam sebuah perahu besar bersama 30 orang lelaki dari Suku Lakhm dan Judzam. Mereka dipermainkan oleh ombak selama sebulan di lautan. Kemudian mereka berlabuh pada sebuah pulau di tengah lautan ketika terbenamnya matahari. Mereka pun duduk di perahu kecil, lalu memasuki pulau itu.
Mereka dijumpai oleh binatang yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena banyak bulunya. Mereka berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau, siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang cari berita)”. Mereka bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang itu berkata, “Wahai kaum, pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam istana itu. Karena ia amat rindu dengan berita kalian”.
Dia (Tamim) berkata, “Tatkala ia (si binatang) menyebutkan seorang lelaki kepada kami, maka kami khawatir jangan sampai binatang itu adalah setan perempuan”. Tamim berkata, “Kami pun pergi dengan  cepat sampai kami memasuki istana tersebut. Tiba-tiba di dalamnya terdapat orang yang paling besar  kami  lihat dan paling kuat ikatannya dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu ke lehernya antara kedua lututnya sampai kedua mata kakinya dengan besi”. Kami katakan, “Celaka anda, siapakah anda?” Dia (Dajjal) menjawab, “Sungguh kalian telah tahu beritaku. Kabarkanlah kepadaku siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Arab. Kami telah berlayar dalam sebuah perahu besar. Kami pun mengarungi lautan saat berombak besar. Akhirnya, ombak mempermainkan kami selama sebulan. Kemudian kami berlabuh di pulau anda ini. Kami pun duduk-duduk di perahu kecil, lalu masuk pulau. Tiba-tiba kami dijumpai oleh binatang yang lebat bulunya; mereka tak tahu mana depan dan belakangnya karena banyak bulunya. kami berkata (kepada binatang itu), “Celaka engkau, siapakah engkau?” Binatang itu menjawab, “Aku adalah Jassasah (tukang cari berita)”. Kami bilang, “Apa itu Jassasah?” Binatang itu berkata, “Pergilah engkau kepada laki-laki ini di dalam istana. Karena ia amat rindu dengan berita kalian”. Lalu kami menghadap kepadamu dengan cepat, kami takut kepadanya dan tak merasa aman jika ia adalah setan perempuan”. Dia (Dajjal) berkata, “Kabarilah aku tentang pohon-pohon korma Baisan (nama tempat di Yordania, –pent.)!!”. Kami bertanya, “Engkau tanya tentang apanya?”. Dajjal berkata, “Aku tanyakan kepada kalian tentang pohon-pohon kurmanya, apakah masih berbuah?”. Kami jawab, “Ya”. Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hampir-hampir ia tak akan berbuah lagi”. Dajjal berkata, “Kabarilah aku tentang Danau Thobariyyah!!”. Kami katakan, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di dalamnya masih ada air?” Mereka menjawab, “Danau itu masih banyak airnya”. Dajjal berkata, “Ingatlah, sesungguhnya airnya hampir-hampir akan habis”. Dajjal bertanya lagi, “Kabarilah aku tentang mata air Zughor!!” Mereka bertanya, “Apanya yang kau tanyakan?” Dajjal berkata, “Apakah di dalam mata air itu masih ada air? Apakah penduduknya masih menanam dengan memakai air dari mata air itu?” Kami jawab, “Ya, mata air itu masih banyak airnya dan penduduknya masih bercocok tanam dari airnya”. Dajjal berkata lagi, “Kabarilah aku tentang Nabinya orang-orang Ummi (ummi : buta huruf, yakni orang-orang Quraisy), apa yang ia lakukan? Mereka berkata, “Dia telah keluar dari Kota Makah dan bertempat tinggal di Yatsrib (Madinah)”. Dajjal bertanya, “Apakah ia diperangi oleh orang-orang Arab?” Kami katakan, “Ya”. Dajjal bertanya, “Apa yang ia lakukan pada mereka?” Lalu mereka kabari Dajjal bahwa sungguh ia (Nabi itu, yakni Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) telah berkuasa atas orang-orang yang ada di sekitarnya dari kalangan Arab dan mereka menaatinya”. Dajjal berkata kepada mereka, “Apakah hal itu sudah terjadi?” Kami jawab, “Ya”.
Dajjal berkata, “Ingatlah bahwa hal itu lebih baik bagi mereka untuk menaatinya. Sekarang aku kabari kalian bahwa aku adalah Al-Masih (yakni, Al-Masih Ad-Dajjal). Sungguh aku hampir diberi izin untuk keluar. Aku akan keluar, lalu berjalan di bumi. Aku tak akan membiarkan suatu negeri, kecuali aku injak dalam waktu 40 malam, selain Makkah dan Thoibah (nama lain bagi kotaMadinah, –pent.). Kedua kota ini diharamkan bagiku.
Setiap kali aku hendak memasuki salah satunya diantaranya, maka aku dihadang oleh seorang malaikat, di tangannya terdapat pedang terhunus yang akan menghalangiku darinya. Sesungguhnya pada setiap jalan-jalan masuk padanya ada malaikat-malaikat yang menjaganya”
Dia (Fathimah bintu Qois) berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda seraya menusuk-nusukkan tongkatnya pada mimbar, “Inilah Thoibah, Inilah Thoibah, Inilah Thoibah, yakni kota Madinah. Ingatlah, apakah aku telah menceritakan hal itu kepada kalian?”
Orang-orang pun berkata, “Ya”.
[HR. Muslim dalam Kitab Asyroot As-Saa'ah, bab : Qishshoh Al-Jassasah (no. 2942), Abu Dawud dalam Kitab Al-Malaahim(4326), At-Tirmidziy dalam Kitab Al-Fitan (2253) dan Ibnu MajahKitab Al-Fitan (4074)]
  • Ibrah dan Renungan
  1. Diantara tanda-tanda dekatnya waktu keluarnya Dajjal, berikut dekatnya kiamat: buah pepohonan korma negeri Baisanakan habis dan tak lagi berbuah, danau Thobariyyah akan meresap habis, dan mata air Zughor akan meresap kering kerontang, serta munculnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagai Rasul dari kalangan kaum ummi (buta huruf), yakni Quraisy untuk menyampaikan agama kepada manusia seluruhnya.  Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy -rahimahullah- berkata, “Diantara perkara yang menunjukkan bahwa terutusnya Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- termasuk tanda kiamat bahwa beliau kabarkan tentang Dajjal dalam hadits Jassasah”. [Lihat Al-Hikam Al-Jadiroh bil Idza'ah (hal. 4)]
  2. Di akhir zaman, Dajjal akan muncul dengan keluarbiasaan yang Allah berikan padanya sebagai fitnah (ujian) keimanan bagi manusia. Diantara keluarbiasaannya, ia mampu mengelilingi semua negeri, kecuali Makkah dan Madinah dalam waktu 40 hari. Tujuannya untuk memurtadkan manusia!! Maka berlindunglah kepada Allah dari fitnah Dajjal. Allahumma na’udzu bika min fitnatid dajjal.
  3. Al-Imam Abu Zakariyya An-Nawawiy -rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan kota Madinah, keutamaan mendiaminya serta terjaganya kota Madinah dari thoo’uun (pes) dan Dajjal”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (9/155)]
Sumber :
======================================================================================
Ingin membuat foto menjadi artistik seperti cover di atas? Klik di sini

Tata Cara Menangkal dan Menanggulangi Sihir


Segala puji hanya kepunyaan Allah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada junjungan umat, Nabi besar Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tiada lagi Nabi sesudahnya.
Akhir-akhir ini banyak sekali tukang-tukang ramal yang mengaku dirinya sebagai tabib, dan mengobati orang sakit dengan jalan sihir atau perdukunan. Mereka kini banyak menyebar di berbagai negeri; orang-orang awam yang tidak mengerti sudah banyak menjadi korban pemerasan mereka.
Maka atas dasar nasihat (loyalitas) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada hamba-hambaNya, saya ingin menjelaskan tentang betapa besar bahayanya terhadap Islam dan umat Islam adanya ketergantungan kepada selain Allah dan bahwa hal tersebut bertolak belakang dengan perintah Allah dan RasulNya.
Dengan memohon pertolongan Allah Ta’ala saya katakan bahwa berobat dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Seorang muslim jika sakit hendaklah berusaha mendatangi dokter yang ahli, baik penyakit dalam, pembedahan, saraf, maupun penyakit luar untuk diperiksa apa penyakit yang dideritanya. Kemudian diobati sesuai dengan obat-obat yang dibolehkan oleh syara’, sebagaimana yang dikenal dalam ilmu kedokteran.
Dilihat dari segi sebab dan akibat yang biasa berlaku, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran tawakkal kepada Allah dalam Islam. Karena Allah Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan pula obatnya. Ada di antaranya yang sudah diketahui oleh manusia dan ada yang belum diketahui. Akan tetapi Allah Ta’ala tidak menjadikan penyembuhannya dari sesuatu yang telah diharamkan kepada mereka.
Oleh karena itu tidak dibenarkan bagi orang yang sakit, mendatangi dukun-dukun yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal ghaib, untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Tidak diperbolehkan pula mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, karena sesuatu yang mereka katakan mengenai hal-hal yang ghaib itu hanya didasarkan atas perkiraan belaka, atau dengan cara mendatangkan jin-jin untuk meminta pertolongan kepada jin-jin tersebut sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Dengan cara demikian dukun-dukun tersebut telah melakukan perbuatan-perbuatan kufur dan sesat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam berbagai haditsnya sebagai berikut :
“Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab ‘Shahih Muslim’, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mendatangi ‘arraaf’ (tukang ramal)) kepadanya, tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.”
“Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:‘Barangsiapa yang mendatangi kahin (dukun)) dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud).
“Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafazh: ‘Barangsiapa mendatangi tukang ramal atau dukun dan membenarkan apa yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
“Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu, ia berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bukan termasuk golongan kami yang melakukan atau meminta tathayyur (menentukan nasib sial berdasarkan tanda-tanda benda,burung dan lain-lain),yang meramal atau yang meminta diramalkan, yang menyihir atau meminta disihirkan dan barangsiapa mendatangi peramal dan membenarkan apa yang ia katakan, maka sesungguhnya ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”(HR. Al-Bazzaar,dengan sanad jayyid).
Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan larangan mendatangi peramal, dukun dan sebangsanya, larangan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang ghaib, larangan mempercayai atau membenarkan apa yang mereka katakan, dan ancaman bagi mereka yang melakukannya.
Oleh karena itu, kepada para penguasa dan mereka yang mempunyai pengaruh di negerinya masing-masing, wajib mencegah segala bentuk praktek tukang ramal, dukun dan sebangsanya, dan melarang orang-orang mendatangi mereka.
Kepada yang berwenang supaya melarang mereka melakukan praktek-praktek di pasar-pasar, mall-mall atau di tempat-tempat lainnya, dan secara tegas menolak segala yang mereka lakukan. Dan hendaknya tidak tertipu oleh pengakuan segelintir orang tentang kebenaran apa yang mereka lakukan. Karena orang-orang tersebut tidak mengetahui perkara yang dilakukan oleh dukun-dukun tersebut, bahkan kebanyakan mereka adalah orang-orang awam yang tidak mengerti hukum, dan larangan terhadap perbuatan yang mereka lakukan.
Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang umatnya mendatangi para peramal, dukun dan tukang tenung. Melarang bertanya serta membenarkan apa yang mereka katakan. Karena hal itu mengandung kemungkaran dan bahaya besar, juga berakibat negatif yang sangat besar pula. Sebab mereka itu adalah orang-orang yang melakukan dusta dan dosa.
Hadits-hadits Rasulullah tersebut di atas membuktikan tentang kekufuran para dukun dan peramal. Karena mereka mengaku mengetahui hal-hal yang ghaib, dan mereka tidak akan sampai pada maksud yang diinginkan melainkan dengan cara berbakti, tunduk, taat, dan menyembah jin-jin. Padahal ini merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang membenarkan mereka atas pengakuannya mengetahui hal-hal yang ghaib dan mereka meyakininya, maka hukumnya sama seperti mereka. Dan setiap orang yang menerima perkara ini dari orang yang melakukannya, sesungguhnya Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari mereka.
Seorang muslim tidak boleh tunduk dan percaya terhadap dugaan dan sangkaan bahwa cara seperti yang dilakukan itu sebagai suatu cara pengobatan, semisal tulisan-tulisan azimat yang mereka buat, atau menuangkan cairan timah, dan lain-lain cerita bohong yang mereka lakukan.
Semua ini adalah praktek-praktek perdukunan dan penipuan terhadap manusia, maka barangsiapa yang rela menerima praktek-praktek tersebut tanpa menunjukkan sikap penolakannya, sesungguhnya ia telah menolong dalam perbuatan bathil dan kufur.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seorang muslim pergi kepada para dukun, tukang tenung, tukang sihir dan semisalnya, lalu menanyakan kepada mereka hal-hal yang berhubungan dengan jodoh, pernikahan anak atau saudaranya, atau yang menyangkut hubungan suami istri dan keluarga, tentang cinta, kesetiaan, perselisihan atau perpecahan yang terjadi dan lain sebagainya. Sebab semua itu berhubungan dengan hal-hal ghaib yang tidak diketahui hakikatnya oleh siapa pun kecuali oleh Allah Subhanahhu wa Ta’ala.
Sihir sebagai salah satu perbuatan kufur yang diharamkan oleh Allah, dijelaskan di dalam surat Al-Baqarah ayat 102 tentang kisah dua Malaikat:
Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syetan-syetan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir’. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarkan ayat (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di Akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”(Al-Baqarah:102)
Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu sihir, sesungguhnya mereka mempelajari hal-hal yang hanya mendatangkan mudharat bagi diri mereka sendiri, dan tidak pula mendatangkan sesuatu kebaikan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan ancaman berat yang menunjukkan betapa besar kerugian yang diderita oleh mereka di dunia ini dan di Akhirat nanti. Mereka sesungguhnya telah memperjualbelikan diri mereka dengan harga yang sangat murah, itulah sebabnya Allah berfirman :
“Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir itu, seandainya mereka mengetahui.”
Kita memohon kepada Allah kesejahteraan dan keselamatan dari kejahatan sihir dan semua jenis praktek perdukunan serta tukang sihir dan tukang ramal. Kita memohon pula kepadaNya agar kaum muslimin terpelihara dari kejahatan mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan pertolongan kepada kaum muslimin agar senantiasa berhati-hati terhadap mereka, dan melaksanakan hukum Allah dengan segala sangsi-sangsinya kepada mereka, sehingga manusia menjadi aman dari kejahatan dan segala praktek keji yang mereka lakukan.
Sungguh Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia!.

Tata Cara Menangkal Dan Menanggulangi Sihir

Allah telah mensyari’atkan kepada hamba-hambaNya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terjadi pada diri mereka. Allah juga menjelaskan tentang bagaimana cara pengobatan sihir bila telah terjadi. Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmatNya kepada mereka.
Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan cara pengobatannya bila terkena sihir, yakni cara-cara yang dibolehkan menurut hukum syara’:
Pertama: Tindakan preventif, yakni usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat ialah penjagaan dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan ta’awwudz sesuai dengan tuntunan Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya seperti di bawah ini:
A. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat lima waktu, sesudah membaca wirid yang disyari’atkan setelah salam, atau dibaca ketika akan tidur. Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an. Rasulullah ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya :
“Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak mendekatinya sampai Shubuh.”
Ayat Kursi terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 255 yang bunyinya :
“Allah tidak ada Tuhan selain Dia, Yang hidup kekal lagi terus-menerus mengurus (makhlukNya), tidak mengantuk dan tidak tidur, kepunyaanNya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
B. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, dan surat An-Naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat Shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat Maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.
C. Membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah yaitu ayat 285-286 pada permulaan malam, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari surat Al-Baqarah pada malam hari, maka cukuplah baginya.”
Adapun bacaan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya’. (Mereka berdo’a): ‘Ampunilah kami, ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali.”
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kewajiban) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya, beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.”
D. Banyak berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna.
Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah padang pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan: ‘A’uudzu bi kalimaatillahi attaammaati min syarri maa khalaq’ (aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaanNya), maka tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu.”
E. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam :
“Dengan nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatu pun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Bacaan-bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir atau kejahatan lainnya. Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepadaNya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’.
Kedua: Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Do’a-do’a berdasarkan riwayat yang kuat dari Rasulullah untuk menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam me-ruqyah (mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :
Artinya: “Ya Allah, Tuhan segenap manusia….! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dariMu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (HR. Al-Bukhari).
2. Do’a yang dibaca Jibril , ketika meruqyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari segala yang menyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan nama Allah aku meruqyahmu.” Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.
3. Pengobatan sihir cara lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjimak dengan istrinya karena terkena sihir. Yaitu, ambillah tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula surat Al-Kafirun, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, dan ayat-ayat sihir dalam surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82 dan surat Thaha ayat 65-69.
Surat Al-A’raf ayat 117-119 yang bunyinya:
“Dan Kami wahyukan kepada Musa: ‘Lemparkanlah tongkatmu!’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu, nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka orang-orang yang hina.”
Surat Yunus ayat 79-82:
“Fir’aun berkata (kepada pemuka kaumnya): ‘Datangkanlah kepadaku semua ahli sihir yang pandai’. Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: ‘Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan’. Maka setelah mereka lemparkan, Musa berkata: ‘Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenaran mereka. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsung pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapanNya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).“
Surat Thaha ayat 65-69 yang bunyinya :
“Mereka bertanya,’Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah yang mula-mula melemparkan?’ Musa menjawab,’Silahkan kamu sekalian melemparkan’. Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran sihir mereka. Maka Musa merasa takut dalam hatinya. Kami berfirman: ‘Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat, sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari mana saja ia datang.”
Setelah selesai membaca ayat-ayat tersebut di atas hendaklah diminum sedikit airnya dan sisanya dipakai untuk mandi.)
Dengan cara ini mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menghilangkan penyakit yang sedang dideritanya.
4. Cara pengobatan lainnya, sebagai cara yang paling bermanfaat ialah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat sihir terjadi, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut.
Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan usaha pengobatan atau cara penyembuhannya, dan hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan oleh tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada jin disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, maka semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.
Demikian pula pengobatan dengan cara bertanya kepada dukun,’arraaf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada Allah; mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan orang-orang yang mendatangi mereka, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan, sebagaimana telah dijelaskan hukum-hukumnya di awal tulisan ini.
Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, dan semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman dan agamaNya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’atNya.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, dikirim : oleh al Akh Hari Nasution. Diterbitkan oleh Depar-temen Urusan KeIslaman, Wakaf, Dakwah Dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia)
Dikutip dari Salafy.or.id offline Penulis: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Judul: Hukum tentang Sihir dan Perdukunan/Paranormal

Mempelajari Ilmu Laduni dengan Mukasyafah dan Musyahadah


Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya. Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)

Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)

Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.

Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat

Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur -seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)

Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat 
muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)

Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)

Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:

وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا

“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)

Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman (artinya):
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya): “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ

“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul shalallallahu’alaihi wasallam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun e tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)

Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya: “Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)

2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:

إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر

“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada di umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah e: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.

HADITS-HADITS DHO’IF DAN PALSU YANG TERSEBAR DI KALANGAN UMAT

Hadits Ali bin Abi Thalib:

عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ

“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
SUMBER :

http://kaahil.wordpress.com/2010/06/20/mengenal-ilmu-kasyafilmu-laduni-rijalul-ghaib-ilmu-batin-wali-wali-atau-gus-gus-itu-beda-tingkatan-dengan-kita-mereka-sudah-sampai-tingkatan-ma%E2%80%99rifat-yang-tidak-boleh-ditimbang-dengan/

Mengenal Dukun dari Sifat dan Ciri-cirinya

 

Perdukunan, ramalan nasib, dan sejenisnya telah tegas diharamkan oleh Islam dengan larangan yang keras. Sisi keharamannya terkait dengan banyak hal, di antaranya:
1. Apa yang akan terjadi itu hanya diketahui oleh Allah ‘azza wajalla. Maka seseorang yang meramal berarti ia telah menyejajarkan dirinya dengan Allah ‘azza wajalla dalam hal ini. Ini merupakan kesyirikan, membuat sekutu (tandingan) bagi Allah ‘azza wajalla. Atau;
2. Meminta bantuan kepada jin atau setan. Ini banyak terkait dengan praktik perdukunan dan sihir semacam santet atau sejenisnya.
Praktik sihir, ramal, dan perdukunan sendiri telah dikenal di masyarakat Arab dengan beberapa istilah. Para dukun dan peramal itu terkadang disebut:
1. Kahin
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa Al-Kahin adalah seseorang yang mengabarkan sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang. Ada pula yang mengatakan, al-kahin adalah yang mengabarkan apa yang tersembunyi dalam qalbu.
2. ‘Arraf
Al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa ia adalah orang yang mengaku-ngaku mengetahui urusan-urusan tertentu melalui cara-cara tertentu, yang darinya ia mengaku mengetahui tempat barang yang dicuri atau hilang.
3. Rammal
Raml dalam bahasa Arab berarti pasir yang lembut. Rammal adalah seorang tukang ramal yang menggaris-garis di pasir untuk meramal sesuatu. Ilmu ini telah dikenal di masyarakat Arab dengan sebutan ilmu raml.
4. Munajjim, ahli ilmu nujum
Nujum artinya bintang-bintang. Akhir-akhir ini populer dengan nama astrologi (ilmu perbintangan) yang dipakai untuk meramal nasib.
5. Sahir, tukang sihir
Ini lebih jahat dari yang sebelumnya, karena dia tidak hanya terkait dengan ramalan bahkan dengan ilmu sihir yang identik dengan kejahatan.
Dan masih ada lagi tentunya istilah lain. Namun hakikatnya semuanya bermuara pada satu titik kesamaan yaitu meramal, mengaku mengetahui perkara ghaib (sesuatu yang belum diketahui) yang akan datang, baik itu terkait dengan nasib seseorang, suatu peristiwa, mujur dan celaka, atau sejenisnya. Perbedaannya hanyalah dalam penggunaan alat yang dipakai untuk meramal. Ada yang memakai kerikil, bintang, atau yang lain. Oleh karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:
“Al-‘Arraf, adalah sebutan bagi kahin, munajjim, dan rammaal, serta yang sejenis dengan mereka, yang berbicara dalam hal mengetahui perkara-perkara semacam itu dengan cara-cara semacam ini.” (dinukil dari Kitabut Tauhid)
Dengan demikian, apapun nama dan julukannya, baik disebut dukun, tukang sihir, paranormal, ‘orang pintar’, ‘orang tua’, spiritualis, ahli metafisika, atau bahkan mencatut nama kyai dan gurutta (sebutan untuk tokoh agama di Sulawesi Selatan), atau nama-nama lain, jika dia bicara dalam hal ramal-meramal dengan cara-cara semacam di atas maka itu hukumnya sama: haram dan syirik, menyekutukan Allah ‘azza wajalla.
Demikian pula istilah-istilah ilmu yang mereka gunakan, baik disebut horoskop, zodiak, astrologi, ilmu nujum, ilmu spiritual, metafisika, supranatural, ilmu hitam, ilmu putih, sihir, hipnotis dan ilmu sugesti, feng shui, geomanci, berkedok pengobatan alternatif atau bahkan pengobatan Islami, serta apapun namanya, maka hukumnya juga sama, haram.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah mengatakan saat menjelaskan sebuah hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam :

إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ

Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di langit, tertunduklah seluruh malaikat karena takutnya terhadap firman Allah ‘azza wajalla seakan-akan suara rantai tergerus di atas batu. Tatkala tersadar, mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran (setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain –Sufyan menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya–. (Pencuri berita) itu mendengar kalimat yang disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya. Yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai dia menyampaikannya ke lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka dijumpai oleh bintang pelempar sebelum dia menyampaikannya, namun terkadang dia bisa menyampaikan berita tersebut sebelum dijumpai oleh bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan bersama satu berita yang benar itu. Kemudian petuah dukun yang salah dikomentari: “Bukankah dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?” Dia dibenarkan dengan kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. Al-Bukhari no. 4522 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu)
Pada (hadits ini) terdapat keterangan tentang batilnya sihir dan perdukunan, bahwa keduanya sumbernya sama yaitu mengambil dari setan. Oleh karena itu, sihir tidak boleh diterima, demikian pula berita tukang sihir. Juga dukun dan berita dukun. Karena sumbernya batil. Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam :

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal maka tidak diterima shalatnya 40 hari.”
Dalam hadits yang lain:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal lalu memercayai apa yang dia katakan maka dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wasallam.”
Dalam hadits ini terdapat keterangan batilnya sihir atau dukun, larangan  membenarkan tukang sihir atau dukun, atau mendatangi mereka. Akan tetapi di masa ini, para tukang sihir dan dukun muncul dengan julukan tabib atau ahli pengobatan. Mereka membuka tempat-tempat praktik serta mengobati orang-orang dengan sihir dan perdukunan. Namun mereka tidak mengatakan: “Ini sihir, ini perdukunan.” Mereka tampakkan kepada manusia bahwa mereka mengobati dengan cara yang mubah, serta menyebut nama Allah ‘azza wajalla di depan orang-orang. Bahkan terkadang membaca sebagian ayat Al-Qur’an untuk mengelabui manusia, tapi dengan sembunyi mengatakan kepada orang  yang sakit, “Sembelihlah kambing dengan sifat demikian dan demikian, tapi jangan kamu makan (dagingnya), ambillah darahnya”, “Lakukan demikian dan demikian”, atau mengatakan “Sembelihlah ayam jantan atau ayam betina” ia sebutkan sifat-sifatnya dan mewanti-wanti “Tapi jangan menyebut nama Allah ‘azza wajalla”. Atau menanyakan nama ibu atau ayahnya (pasien), mengambil baju atau topinya (si sakit) untuk dia tanyakan kepada setan pembantunya, karena setan juga saling memberi informasi. Setelah itu ia mengatakan: “Yang menyihir kamu itu adalah fulan”, padahal dia juga dusta. Maka wajib bagi muslimin untuk berhati-hati. (I’anatul Mustafid)
Ciri-ciri Dukun atau Penyihir
Berikut ini beberapa ciri dukun, sehingga dengan mengetahui ciri-ciri tersebut, hendaknya kita berhati-hati bila kita dapati ciri-ciri tersebut ada pada seseorang walaupun dia mengaku hanya sebagai tukang pijat bahkan kyai. Di antara ciri tersebut:
1. Bertanya kepada yang sakit tentang namanya, nama ibunya, atau semacamnya.
2. Meminta bekas-bekas si sakit baik pakaian, sorban, sapu tangan, kaos, celana, atau sejenisnya dari sesuatu yang biasa dipakai si sakit. Atau bisa juga meminta fotonya.
3. Terkadang meminta hewan dengan sifat tertentu untuk disembelih tanpa menyebut nama Allah ‘azza wajalla, atau dalam rangka diambil darahnya untuk kemudian dilumurkan pada tempat yang sakit pada pasiennya, atau untuk dibuang di tempat kosong.
4. Menulis jampi-jampi dan mantra-mantra yang memuat kesyirikan.
5. Membaca mantra atau jampi-jampi yang tidak jelas.
6. Memberikan kepada si sakit kain, kertas, atau sejenisnya, dan bergariskan kotak. Di dalamnya terdapat pula huruf-huruf dan nomor-nomor.
7. Memerintahkan si sakit untuk menjauh dari manusia beberapa saat tertentu di sebuah tempat yang gelap yang tidak dimasuki sinar matahari.
8. Meminta si sakit untuk tidak menyentuh air sebatas waktu tertentu, biasanya selama 40 hari.
9. Memberikan kepada si sakit sesuatu untuk ditanam dalam tanah.
10. Memberikan kepada si sakit sesuatu untuk dibakar dan mengasapi dirinya dengannya.
11. Terkadang mengabarkan kepada si sakit tentang namanya, asal daerahnya, dan problem yang menyebabkan dia datang, padahal belum diberitahu oleh si sakit.
12. Menuliskan untuk si sakit huruf-huruf yang terputus-putus baik di kertas atau mangkok putih, lalu menyuruh si sakit untuk meleburnya dengan air lantas meminumnya.
13. Terkadang menampakkan suatu penghinaan kepada agama misal menyobek tulisan-tulisan ayat Al-Qur’an atau menggunakannya pada sesuatu yang hina.
14. Mayoritas waktunya untuk menyendiri dan menjauh dari orang-orang, karena dia lebih sering bersepi bersama setannya yang membantunya dalam praktik perdukunan. (Kaifa Tatakhallas minas Sihr)
Ini sekadar beberapa ciri dan bukan terbatas pada ini saja. Dengannya, seseorang dapat mengetahui bahwa orang tersebut adalah dukun atau penyihir, apapun nama dan julukannya walaupun terkadang berbalut label-label keagamaan semacam kyai atau ustadz.

Dilarang Mendatangi Dukun
Bila kita telah mendengar tentang seseorang yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dijelaskan di atas, janganlah kita mendatanginya. Hal itu sangat dilarang dalam agama Islam. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan:
Dalam Shahih Muslim disebutkan:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافًا لمَ ْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً

“Barangsiapa mendatangi dukun maka tidak akan diterima shalatnya selama 40 hari.”
Hukum ini sebagai akibat dari hanya mendatangi dukun saja. Karena (sekadar) mendatanginya sudah merupakan kejahatan dan perbuatan haram, walaupun ia tidak memercayai dukun tersebut. Oleh karenanya, ketika sahabat Mu’awiyah Ibnul Hakam radhiallahu’anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam perihal dukun beliau menjawab: ‘Jangan kamu datangi dia.’ Nabi shallallahu’alaihi wasallam melarangnya walaupun sekadar mendatanginya. Jadi hadits ini menunjukkan tentang haramnya mendatangi dukun walaupun tidak memercayainya, walaupun yang datang mengatakan: ‘Kedatangan saya hanya sekadar ingin tahu’. Ini tidak boleh.
“Tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari” dalam sebuah riwayat “40 hari 40 malam.”
Ini menunjukkan beratnya hukuman bagi yang mendatangi dukun, di mana shalatnya tidak diterima di sisi Allah ‘azza wajalla, tidak ada pahalanya di sisi Allah ‘azza wajalla, walaupun ia tidak diperintahkan untuk mengulangi shalatnya, karena secara lahiriah ia telah melakukan shalat. Akan tetapi, antara dia dengan Allah ‘azza wajalla, dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya karena tidak Allah ‘azza wajalla terima. Ini adalah ancaman keras yang menunjukkan haramnya mendatangi dukun, sekadar mendatangi walaupun tidak memercayai. Adapun bila memercayainya maka hadits-hadits yang akan dijelaskan berikut telah menunjukkan ancaman yang keras, kita berlindung kepada Allah ‘azza wajalla.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu dari Nabi shallallahu‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa mendatangi dukun atau peramal lalu memercayai apa yang dia katakan maka dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.”
Dalam hadits ini ada dua masalah:
Masalah pertama: mendatangi dukun.
Masalah kedua: memercayainya pada apa yang ia beritakan dari perdukunannya. Hukumnya ia telah dianggap kafir terhadap apa yang Allah ‘azza wajalla turunkan kepada Nabi Muhammad. Karena tidak akan bersatu antara membenarkan apa yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dengan membenarkan berita dukun yang itu adalah pekerjaan setan. Dua hal yang tidak mungkin bersatu, memercayai Al-Qur’an dan memercayai dukun.
Yang nampak dari hadits itu bahwa ia telah keluar dari Islam.
Dari riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullah ada dua pemahaman dalam hal kekafiran semacam ini. Satu riwayat, bahwa maksudnya kekafiran besar yang mengeluarkan dari agama. Riwayat yang lain: kekafiran kecil, di bawah kekafiran tadi.
Ada pendapat ketiga: tawaqquf, yakni kita baca hadits sebagaimana datangnya tanpa menafsirkan serta mengatakan kafir besar atau kecil. Kita katakan seperti kata Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan cukup.
Tapi yang kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang pertama, bahwa itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari agama. Karena tidak akan bersatu antara iman kepada Al-Qur’an dengan iman kepada perdukunan. Karena Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan perdukunan, dan memberitakan bahwa itu adalah perbuatan setan, maka orang yang memercayai dan membenarkan berarti telah kafir dengan kekafiran besar. Inilah yang nampak dari hadits. (I’anatul Mustafid)
Demikian penjelasan beliau tentang mendatangi dukun. Adapun tentang bertanya-tanya atau konsultasi dengan para dukun, telah dijelaskan dalam rubrik Manhaji secara lebih detail.

KETIK REG SEPASI RAMAL

Ada satu hal yang perlu lebih kita sadari, yaitu kecanggihan teknologi yang ada ternyata digunakan para dukun untuk mencari mangsa. Sehingga tidak mesti seseorang datang ke tempat praktik dukun tersebut, tapi justru dukunnya yang mendatangi seseorang melalui radio, televisi, internet, atau SMS. Dengan itu, bertanya kepada dukun jalannya semakin dipermudah. Cukup dengan ketik: ”reg spasi ….” selanjutnya mengirimkannya ke nomor tertentu melalui ponsel, seseorang sudah bisa mendapatkan layanan perdukunan. Bahkan, sampai-sampai ada sebuah stasiun televisi yang membuat program khusus untuk menayangkan kompetisi di antara dukun/ tukang sihir.
Subhanallah, cobaan nyata semakin berat. Kaum muslimin mesti menyadari hal ini. Jangan sampai kecanggihan teknologi ini membuat kita semakin jauh dari ajaran agama. Justru seharusnya kita gunakan kemajuan teknologi ini untuk membantu kita agar semakin taat kepada Allah ‘azza wajalla.
Semoga kaum muslimin menerima dan memahaminya dengan baik sehingga menyadari akan bahaya perdukunan, untuk kemudian kaum muslimin pun bersatu dalam memerangi perdukunan.
Penulis : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.

Bentuk-Bentuk Hisab di Akhirat

Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
 
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. Yasin: 65)
Allah Ta’ala berfirman:


وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدتُّمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ  
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Fushshilat: 21)
Allah Ta’ala berfirman:


يَا أَيُّهَا الإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلَى رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاقِيهِ. فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ. فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا  
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.” (QS. Al-Insyiqaq: 6-8)

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dia berkata:


كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ؟ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ. يَقُولُ: يَا رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِي مِنْ الظُّلْمِ؟ يَقُولُ: بَلَى. فَيَقُولُ: فَإِنِّي لَا أُجِيزُ عَلَى نَفْسِي إِلَّا شَاهِدًا مِنِّي. فَيَقُولُ: كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ شُهُودًا. فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ فَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ انْطِقِي قَالَ فَتَنْطِقُ بِأَعْمَالِهِ. ثُمَّ يُخَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ فَيَقُولُ: بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ كُنْتُ أُنَاضِلُ  
“Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tertawa dan bertanya: “Tahukah kalian apa yang membuatku tertawa?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Aku menertawakan percakapan seorang hamba dengan Rabbnya. Ia berkata, “Wahai Rabb, bukankah Engkau telah menghindarkanku dari kezhaliman?” Allah menjawab, “Ya.” Ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak mengizinkan diriku (untuk dihisab) kecuali jika saksinya berasal dari diriku sendiri.” Allah berfirman, “Kalau begitu pada hari ini cukuplah jiwamu yang menjadi saksi atas dirimu,” (Al Israa`: 16) dan juga para malaikat yang mulia yang mencacat amalanmu menjadi para saksi.” Maka dibungkamlah mulutnya dan dikatakan kepada anggota badannya, “Bicaralah.” Maka anggota badannya pun mengungkap semua amal perbuatan yang dilakukannya.” Beliau meneruskan, “Kemudian diapun dibiarkan berbicara maka dia berkata, “Menjauh dan celakalah kalian, untuk melindungi kalianlah aku berjuang?” (HR. Muslim no. 1054)

Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya oleh seorang lelaki, “Bagaimana anda mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang an-najwaa (pembicaraan rahasia antara Allah dengan hamba-Nya pada hari kiamat)?” Maka dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا فَيَقُولُ نَعَمْ أَيْ رَبِّ حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ وَأَمَّا الْكَافِرُ وَالْمُنَافِقُونَ فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ  
“Sesungguhnya Allah mendekat kepada seorang mukmin lalu Dia melindungi dan menutupinya. Lalu Allah berfirman, “Apakah kamu mengenal dosamu yang ini? Apakah kamu mengenal dosamu yang ini?” Maka mukmin tersebut berkata: “Ya, wahai Rabbku”. Hingga ketika Dia telah membuat dia mengakui semua dosanya dan dia memandang bahwa dirinya akan celaka, Allah berfirman, “Aku telah menutupi semua dosamu itu di dunia dan Aku mengampuninya untukmu pada hari ini.” Maka orang itu diberikan kitab catatan kebaikannya. Adapun orang kafir dan orang-orang munafik, maka para saksi berkata, “Mereka itulah orang-orang yang mendustakan Rabb mereka. Maka laknat Allah atas orang-orang yang zhalim”.(QS. Hud: 18) (HR. Al-Bukhari no. 2441)
Penjelasan ringkas:
Selain qishash, pada hari kiamat Allah Ta’ala juga menetapkan adanya hisab atas setiap hamba-hambaNya, yang mukmin maupun yang kafir. Adapun bentuk hisabnya, maka sesuai dengan hikmah dan keadilan Allah. Di antara mereka ada yang dihisab dengan hisab yang mudah, yang kaifiatnya sebagaimana dijabarkan dalam hadits Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma di atas. Di antara mereka ada yang dihisab dan diadili dengan saksi dari anggota tubuh mereka sendiri. Dan di antara mereka ada yang dosanya diperdengarkan dengan keras di hadapan seluruh makhluk untuk mempermalukan mereka.
Allahumma hasibnaa hisaban yasira (Ya Allah, hisablah kami dengan hisab yang mudah)

Sumber :

Rahasia Alam Kubur

 

Dari Anas radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ
 

“Jika hamba sudah diletakkan di dalam kuburnya dan teman-temannya sudah pergi meninggalkannya, hingga dia (jenazah) mendengar suara langkah sandal-sandal mereka, maka akan datang kepadanya dua malaikat. Keduanya lalu mendudukkannya seraya berkata kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang laki-laki ini, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam?” Maka jenazah itu menjawab, “Aku bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya”. Maka dikatakan kepadanya, “Lihatlah tempat dudukmu di neraka yang Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selanjutnya bersabda, “Maka dia kemudian melihat keduanya”. Adapun (jenazah) orang kafir atau munafik, maka dia akan menjawab, “Aku tidak tahu, aku hanya berkata mengikuti apa yang dikatakan kebanyakan orang.” Maka dikatakan kepadanya, “Kamu tidak mengetahuinya dan tidak mengikuti orang yang mengerti”. Kemudian dia dipukul dengan palu godam besar yang terbuat dari besi dengan sekali pukulan di antara kedua telinganya, maka dia mengeluarkan suara teriakan yang dapat didengar oleh yang ada di sekitarnya kecuali oleh dua makhluk (jin dan manusia).” (HR. Al-Bukhari no. 1338)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 
“Jika seorang dari kalian meninggal dunia maka akan ditampakkan kepadanya tempat duduknya (di akhirat) setiap pagi dan petang hari. Jika dia termasuk penduduk surga, maka dia akan (melihat tempat duduknya) sebagai penduduk surga. Dan jika dia termasuk penduduk neraka, maka akan (melihat tempat duduknya) sebagai penduduk neraka. Lalu dikatakan kepadanya, “Inilah tempat dudukmu hingga nanti Allah membangkitkanmu pada hari kiamat”.(HR. Al-Bukhari no. 1290 dan Muslim no. 2866)
Penjelasan ringkas:
Ketika jenazah telah dikuburkan dan para pengantarnya sudah pulang meninggalkannya, maka rohnya akan dikembalikan ke tubuhnya sehingga dia bisa hidup tapi dengan kehidupan barzakhiah. Setelah itu dia akan didatangi oleh dua malaikat yang bernama Munkar dan Nakir. Kedua malaikat ini lalu mendudukkan dia dan bertanya kepadanya tentang Allah, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan agama Islam. Jika dia adalah orang yang beriman maka Allah akan memberikan hidayah dan kekuatan kepadanya untuk menjawabnya sehingga dia akan mendapatkan kenikmatan kubur, yang di antaranya berupa diperlihatkannya tempat kembali dia kelak di dalam surga. Tapi jika dia adalah orang kafir atau munafik, maka Allah Ta’ala akan menyesatkannya sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan kedua malaikat sehingga dia mendapatkan siksaan kubur. Di antara bentuk siksaan-Nya adalah dia akan dipukul dengan palu besar di antara kedua telinganya yang membuatnya berteriak dengan teriakan yang sangat keras karena kesakitan, kemudian setelah itu dia akan diperlihatkan tempat kembalinya kelak di dalam neraka.

Beberapa pelajaran aqidah dari kedua hadits di atas:
1.    Adanya nikmat dan siksa kubur serta bantahan kepada siapa saja yang mengingkari adanya.
2.    Jenazah yang sudah dikubur pada dasarnya tidak bisa mendengar apa-apa dari orang yang masih hidup kecuali yang dikecualikan oleh dalil, seperti suara langkah sandal para pengantarnya yang pulang.
3.    Penetapan adanya dua malaikat kubur, Munkar dan Nakir.
4.    Larangan ikut-ikutan dan taqlid buta dalam beragama, karena dia adalah salah satu sebab seorang tidak bisa menjawab pertanyaan malaikat di kubur.
5.    Siksaan kubur dijatuhkan kepada roh dan jasad mengikutinya. Karena dalam hadits di atas disebutkan ‘di antara kedua telinganya’.
6.    Surga dan neraka sudah ada sekarang, serta sanggahan kepada siapa saja yang mengatakan bahwa keduanya nanti tercipta setelah hari kiamat.

http://al-atsariyyah.com/rahasia-alam-kubur.html#more-2988

Perbedaan antara Jin, Setan, dan Iblis

 

Tema Jin, Setan, dan Iblis masih menyisakan kontroversi hingga kini. Namun yang jelas, eksistensi mereka diakui dalam syariat. Sehingga, jika masih ada dari kalangan muslim yang meragukan keberadaan mereka, teramat pantas jika diragukan keimanannya.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada segenap Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيْعًا

“Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (Al-A’raf: 158)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ كَافَّةً

“Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُوْنَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوْهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِيْنَ. قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوْسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ. يَا قَوْمَنَا أَجِيْبُوا دَاعِيَ اللهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوْبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ. وَمَنْ لاَ يُجِبْ دَاعِيَ اللهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي اْلأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِيْنٍ

“Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf: 29-32)
Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula di antara kaum muslimin yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian Mu’tazilah.

Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia atau selainnya. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)
Anehnya orang-orang filsafat masih mengingkari keberadaan jin. Dan dalam hal inipun Muhammad Rasyid Ridha telah keliru. Dia mengatakan: “Sesungguhnya jin itu hanyalah ungkapan/ gambaran tentang bakteri-bakteri. Karena ia tidak dapat dilihat kecuali dengan perantara mikroskop.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah minal Jin oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu)
Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُوْنٍ. وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 26-27)
Karena jin lebih dulu ada, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin, setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk golongan para malaikat?

Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:

وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُوْمِ

“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)
Juga firman-Nya:

وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ

“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَتِ الْجَانُّ مِنْ مَّارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ

“Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha)
Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata:
“Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api. Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’.” (Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan 793)

Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka. Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab: “Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Siapakah Iblis?1
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.

Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu. Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)
Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut. Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:
لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

لاَ يَسْبِقُوْنَهُ بِالْقَوْلِ وَهُمْ بِأَمْرِهِ يَعْمَلُوْنَ

“Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)
2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.”
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari malaikat.”
Adapun pendapat kedua yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma. Alasannya adalah firman Allah:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, insya Allah, karena kuatnya dalil mereka dari ayat-ayat yang jelas.
Adapun alasan pendapat kedua (yakni surat Al-Baqarah ayat 34), sebenarnya ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa iblis dari malaikat. Karena susunan kalimat tersebut adalah susunan istitsna` munqathi’ (yaitu yang dikecualikan tidaklah termasuk jenis yang disebutkan).
Adapun cerita-cerita asal-usul iblis, itu adalah cerita Israiliyat. Ibnu Katsir menyatakan: “Dan dalam masalah ini (asal-usul iblis), banyak yang diriwayatkan dari ulama salaf. Namun mayoritasnya adalah Israiliyat (cerita-cerita dari Bani Israil) yang (sesungguhnya) dinukilkan untuk dikaji –wallahu a’lam–, Allah lebih tahu tentang keadaan mayoritas cerita itu. Dan di antaranya ada yang dipastikan dusta, karena menyelisihi kebenaran yang ada di tangan kita. Dan apa yang ada di dalam Al-Qur`an sudah memadai dari yang selainnya dari berita-berita itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/94)
Asy-Syinqithi menyatakan:
“Apa yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah ‘Azazil, ini semua adalah cerita Israiliyat yang tidak bisa dijadikan landasan.” (Adhwa`ul Bayan, 4/120-121)

Siapakah Setan?2
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata (شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata (شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Misbahul Munir, hal. 313).

Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir, 1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).
Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”

Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)
Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:

الْكَلْبُ اْلأَسْوَدُ شَيْطَانٌ

“Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan:
“Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.
Dalam masalah ini ada tafsir lain terhadap ayat itu, tapi itu adalah pendapat yang lemah. (ed)
Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ. قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَ. قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيْمَ. ثُمَّ لآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيْهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِيْنَ

“Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 14-17)
Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً

“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)
Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang tersembunyi.

Jin memiliki roh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan:
“Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’. Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah, maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang. Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)
Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda. Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor. (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)
Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ. فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ أَحْمَلُهَا فِي طَرَفِ ثَوْبِي حَتَّى وَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ ثُمَّ انْصَرَفْتُ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مَشَيْتُ فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْعَظْمِ وَالرَّوْثَةِ؟ قَالَ: هُمَا مِنْ طَعَامِ الْجِنِّ وَإِنَّهُ أَتَانِي وَفْدُ جِنِّ نَصِيْبِيْنَ وَنِعْمَ الْجِنُّ فَسَأَلُوْنِي الزَّادَ فَدَعَوْتُ اللهَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَمُرُّوا بِعَظْمٍ وَلاَ بِرَوْثَةٍ إِلاَّ وَجَدُوا عَلَيْهَا طَعَامًا

“Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”
Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”, ed)
Gambaran Tentang Iblis dan Setan
Iblis adalah wazan dari fi’il, diambil dari asal kata al-iblaas yang bermakna at-tai`as (putus asa) dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mereka adalah musuh nomer wahid bagi manusia, musuh bagi Adam dan keturunannya. Dengan kesombongan dan analoginya yang rusak serta kedustaannya, mereka berani menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala saat mereka enggan untuk sujud kepada Adam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Ia enggan dan takabur, dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Malah dengan analoginya yang menyesatkan, Iblis menjawab:

قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِيْنٍ

“Aku lebih baik darinya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf: 12)
Analogi atau qiyas Iblis ini adalah qiyas yang paling rusak. Qiyas ini adalah qiyas batil karena bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyuruhnya untuk sujud. Sedangkan qiyas jika berlawanan dengan nash, maka ia menjadi batil karena maksud dari qiyas itu adalah menetapkan hukum yang tidak ada padanya nash, mendekatkan sejumlah perkara kepada yang ada nashnya, sehingga keberadaannya menjadi pengikut bagi nash.
Bila qiyas itu berlawanan dengan nash dan tetap digunakan/ diakui, maka konsekuensinya akan menggugurkan nash. Dan inilah qiyas yang paling jelek!
Sumpah mereka untuk menggoda Bani Adam terus berlangsung sampai hari kiamat setelah mereka berhasil menggoda Abul Basyar (bapak manusia) Adam dan vonis sesat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan kita dengan firman-Nya:

يَابَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِيْنَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al-A’raf: 27)
Karena setan sebagai musuh kita, maka kita diperintahkan untuk menjadi musuh setan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuhmu, karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَفَتَتَّخِذُوْنَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُوْنِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ بِئْسَ لِلظَّالِمِيْنَ بَدَلاً

“Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Semoga kita semua terlindung dari godaan-godaannya. Wal ’ilmu ’indallah.
1 Tambahan dari redaksi
2 Tambahan dari redaksi

Penulis : Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber : http://www.asysyariah.com

Setan, Makhluk Allah yang Ghaib

Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan jin dari unsur yang berbeda dengan manusia. Manusia yang awal (Nabi Adam ‘alaihissalam) diciptakan dari tanah liat yang dibentuk, adapun anak turunannya diciptakan dari setetes air yang hina (mani). Adapun jin diciptakan dari api. Setan adalah dari bangsa jin yang jahat/ kafir, karena di antara jin ada yang beriman dan ada pula yang kafir sebagaimana manusia. Setan seperti halnya bangsa jin lainnya, merupakan makhluk Allah yang ghaib, artinya tidak tampak oleh mata kasar manusia. Mereka dapat melihat manusia namun tidak sebaliknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka.” (Al-A’raf: 27)
Mujahid rahimahullahu dan Qatadah rahimahullahu berkata:
“(Bala tentara Iblis) adalah jin dan para setan.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an 7/120, Ma’alimut Tanzil 2/129)

Setelah menyebutkan ayat: مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ, Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Sebagian ulama berkata: ‘Dalam ayat ini terdapat dalil/ bukti bahwa jin itu tidak dapat dilihat’. Namun ada pula yang berpendapat mereka bisa dilihat. Karena jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak memperlihatkan mereka, Allah akan menyingkap (tabir yang menghalangi untuk melihat mereka) jasad-jasad mereka sehingga terlihat oleh mata. An-Nahas berpendapat dengan ayat ini bahwa jin tidak bisa terlihat mata manusia kecuali di masa kenabian sebagai bukti atas kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan mereka dengan bentuk penciptaan yang tidak bisa terlihat. Mereka hanya bisa dilihat bila mereka berubah ke bentuk lain (bukan bentuk aslinya).” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 7/120)

Al-Imam Asy-Syafi`i rahimahullahu bahkan menyatakan dalam Manaqib-nya:
“Siapa yang mengaku melihat jin, maka kami batalkan persaksiannya (tidak menerima persaksiannya, –pent.) terkecuali bila ia seorang nabi.”

Al-Hafizh rahimahullahu mengomentari:
“Ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i ini ditujukan kepada orang yang mengaku-aku melihat jin dalam bentuknya yang asli. Adapun kalau ada yang mengaku melihat jin setelah berubah ke berbagai bentuk hewan misalnya, maka tidaklah dianggap cacat persaksiannya. Sungguh banyak dan tersebar (mutawatir) berita-berita yang mengabarkan perubahan jin tersebut ke berbagai bentuk.” (Fathul Bari, 6/414)

Mungkin terlintas pertanyaan di benak kita, bagaimana mereka bisa berpindah ke bentuk lain atau berubah dari bentuk aslinya? Dalam hal ini ada atsar dari ‘Umar radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah rahimahullahu dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Hafizh rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/414): “Sesungguhnya Ghilan2 disebut di sisi ‘Umar, maka ia berkata: “Sungguh seseorang tidak mampu untuk berubah dari bentuknya yang telah Allah ciptakan. Akan tetapi mereka (para setan) memiliki tukang sihir seperti tukang sihir kalian. Maka bila kalian melihat setan itu, kumandangkanlah adzan.”
Adapun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mustahil pernah melihat mereka dalam bentuk aslinya, sebagaimana beliau pernah melihat Jibril dalam wujud aslinya sebanyak dua kali. (Ruhul Ma’ani, 5/140)
Ulama ada yang mengatakan bahwa melihat setan dalam bentuk aslinya sebagaimana diciptakan merupakan kekhususan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun kalangan manusia selain beliau tidak dapat melihat setan dalam wujud aslinya, dengan dalil firman Allah: إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ. (Fathul Bari, 1/718)
Namun ada pula yang berpendapat, bisa saja selain Nabi melihat setan bila Allah berkehendak untuk menampakkannya dalam wujud aslinya seperti kepada hamba-hamba-Nya yang diberi karamah3, karena ayat مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ bisa dipahami dengan dua makna:
Pertama: Dari sisi bahwa kalian tidak dapat melihat jasad-jasad mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak dapat melihat mereka.
Kedua: Dari sisi bahwa kalian tidak mengetahui makar dan fitnah mereka. Sehingga maknanya, iblis dan bala tentaranya melihat kalian (selalu mengamati kalian) sementara kalian tidak mengetahui/ menyadari makar dan fitnah mereka. (Ruhul Ma’ani 5/141, An-Nukat wal ‘Uyun/Tafsir Al-Mawardi 2/216).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Jin itu ada, dan terkadang sebagian manusia dapat melihat mereka. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ maka pemahamannya dibawa pada keumuman (yakni umumnya manusia memang tidak dapat melihat jin/ setan, –pent.), karena bila melihat mereka (jin/ setan) itu suatu hal yang mustahil, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengatakan apa yang beliau katakan bahwa beliau melihat setan tersebut dan bahwa beliau berkeinginan untuk mengikat setan itu agar dapat disaksikan para shahabat beliau seluruhnya dan bisa dipermainkan anak-anak kecil di Madinah.

Sementara Al-Qadhi berkata:
‘Dikatakan bahwa melihat jin dalam bentuk aslinya itu tidaklah mungkin berdasarkan zahir ayat, kecuali para Nabi –semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada mereka semuanya– dan juga orang yang diberi kemampuan di luar kebiasaan. Manusia hanya bisa melihat jin dalam bentuk yang bukan aslinya (bentuk penyamaran) sebagaimana keterangan yang disebutkan dalam atsar.’

Namun aku (Al-Imam An-Nawawi) katakan:
Ini hanyalah sekedar dakwaan semata, dikarenakan bila dalil yang menjadi sandarannya tidak shahih maka dakwaan ini tertolak.

Al-Imam Abu Abdillah Al-Mazari berkata:
‘Jin itu adalah jasad-jasad yang halus. Maka dimungkinkan ia berwujud dengan satu bentuk yang bisa diikat4, kemudian ia tertahan untuk kembali ke bentuk aslinya hingga ia bisa dipermainkan, dan sesungguhnya hal-hal keluarbiasaan memungkinkan yang selain itu’.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 5/32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata:
“Yang ada dalam Al-Qur`an, para jin itu melihat manusia sementara manusia tidak melihat mereka. Inilah yang benar, di mana mereka dapat melihat manusia dalam keadaan manusia ketika itu tidak melihat mereka. Namun ini tidaklah menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun dari kalangan manusia yang dapat melihat mereka, bahkan sebaliknya terkadang mereka terlihat oleh orang-orang shalih bahkan juga oleh orang yang tidak shalih, akan tetapi manusia tidak dapat melihat mereka dalam seluruh keadaan.” (Majmu’ Fatawa Ibni Taimiyyah, 8/8)

Batilnya Pengakuan/ Perbuatan “Pemburu Hantu”
Menurut kabar yang kami terima, sekarang ini sedang marak acara yang berbau mistik di televisi, baik dalam bentuk film/ sinetron maupun semacam show/ pamer kemampuan ghaib. Tentunya para pemburu hantu –dukun atau disebut paranormal untuk menutupi kedoknya–, mendapat peran penting dalam acara-acara tersebut. Melalui acara mereka, setan atau hantu –menurut istilah mereka– dipublikasikan. Digambarkan bahwa paranormal adalah orang-orang sakti yang dapat memburu, menangkap dan membuat setan bertekuk lutut. Bila ada tempat yang berhantu maka didatangkanlah paranormal ke tempat tersebut.

Banyak hal yang nampak jelas kabatilannya dari praktek para pemburu hantu. Di antaranya, ada seseorang yang melukis jin yang diburu, dalam keadaan matanya tertutup. Terkadang mereka ditanya oleh penonton di rumah tentang penyakit mereka, dan mereka bisa mengetahui si penanya yang menanyakan sakitnya. Juga kemampuan mereka untuk memasukkan jin ke dalam tubuh manusia, dan kemampuan mereka membuat orang bisa melihat jin. Semua tidak lain terjadi dengan bantuan jin juga, walaupun mereka tentunya menggunakan bacaan-bacaan nampaknya Islami tapi kenyataannya bukan.
Namun untuk mencapai kemampuan yang seperti itu, tentu melalui proses dan tahapan yang mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syariat, baik dalam syaratnya, atau tata caranya, atau bacaan-bacaan yang tidak dimengerti maknanya yang sangat mungkin mengandung hal yang menyelisihi hukum Islam. Oleh karena itu, para ulama melarang bacaan-bacaan yang seperti itu. Dan cukuplah untuk mengetahui kebatilan semua itu, bahwa para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, generasi terbaik umat ini setelah shahabat, yang merupakan wali-wali Allah, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengklaim hal-hal tersebut. Wallahu a’lam.
Ahlul haq (orang yang berjalan di atas kebenaran), mengambil faedah dan beberapa pelajaran dari kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu menyebutkan beberapa faedahnya, di antaranya:
1. Terkadang setan mengetahui perkara yang bermanfaat bagi seorang mukmin.
2. Orang kafir, sebagaimana setan (yang juga kafir), terkadang sebagian ucapannya jujur kepada seorang mukmin. Namun kejujurannya itu tidak menjadikannya beriman.
3. Setan memiliki sifat suka berdusta, dan dia adalah seorang pendusta yang sebagian besar ucapannya tidak dapat dipercaya.
4. Setan terkadang bisa menyerupai bentuk tertentu sehingga memungkinkan untuk melihatnya. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ
“Dia (iblis) dan bala tentaranya melihat kalian dari arah yang kalian tidak dapat melihat mereka,” hal ini khusus bila setan itu berada dalam rupa aslinya sebagaimana ia diciptakan. Dengan demikian mereka dapat menampakkan diri kepada manusia dengan syarat yang telah disebutkan.
5. Jin memakan makanan manusia, dan mereka bisa mengambil makanan yang tidak disebutkan nama Allah pada makanan tersebut. Mereka pun dapat berbicara dengan bahasa manusia.
6. Setan mencuri dan menipu.
7. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan perkara ghaib oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga beliau mengetahui bahwa yang mencuri makanan zakat yang dijaga oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu selama tiga malam berturut-turut adalah setan. (Fathul Bari, 4/616-617)

Setan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Ingin Mengikatnya di Tiang Masjid
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengabarkan:

إنَّ عِفْرِيْتًا مِنَ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – لِيَقْطَعَ عَلَيَّ الصَّلاَةَ، فَأَمْكَنَنِيَ اللهُ مِنْهُ5، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ حَتَّى تُصْبِحُوْا وَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ: {رَبِّ اغْفِرْلِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَحَدٍ مِنْ بَعْدِيْ} قال رَوْحٌ: فَرَدَّهُ خَاسِئًا
“Sesungguhnya Ifrit6 dari bangsa jin semalam mendatangiku dengan tiba-tiba (atau melompat di hadapanku) –atau Nabi mengucapkan kalimat yang semisal ini– untuk memutus shalatku. Maka Allah menjadikan aku dapat menguasainya. Semula aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang masjid, sehingga di pagi hari kalian semua bisa melihatnya. Namun aku teringat ucapan saudaraku Sulaiman, ia pernah berdoa: “Wahai Rabbku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan (kekuasaan) yang tidak pantas didapatkan oleh seorang pun setelahku7.” Rauh (perawi hadits ini) berkata: “Nabi pun mengusirnya dengan hina.”8
Abu Ad-Darda` radhiallahu ‘anhu pernah pula mengabarkan:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk mengerjakan shalat. Kami mendengar beliau berkata: “Aku berlindung kepada Allah darimu.” Kemudian berkata tiga kali: “Aku melaknatmu dengan laknat Allah.” Beliau membentangkan tangannya seakan-akan menangkap sesuatu. Ketika beliau selesai shalat, kami bertanya: “Wahai Rasulullah, kami tadi mendengarmu mengucapkan sesuatu di dalam shalat yang sebelumnya kami belum pernah mendengar engkau mengucapkannya dan kami melihatmu membentangkan tanganmu.” Beliau menjawab keheranan para sahabatnya dengan menyatakan:

إِنَّ عَدُوَّ اللهِ إِبْلِيْسَ، جَاءَ بِشِهَابٍ مِنْ نَارٍ لِيَجْعَلَهُ فِي وَجْهِي. فَقُلْتُ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْكَ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ قُلْتُ: أَلْعَنُكَ بِلَعْنَةِ اللهِ التَّامَّةِ، فَلَمْ يَسْتَأْخِرْ، ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. ثُمَّ أَرَدْتُ أَخْذَهُ، وَاللهِ! لَوْلاَ دَعْوَةُ أَخِيْنَا سُلَيْمَانَ لأَصْبَحَ مُوْثَقًا يَلْعَبُ بِهِ وِلْدَانُ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ
“Sesungguhnya musuh Allah, Iblis, datang dengan bola api yang hendak dia letakkan pada wajahku. Aku katakan: “Aku berlindung kepada Allah darimu”, tiga kali. Kemudian aku berkata: “Aku melaknatmu dengan laknat Allah yang sempurna yang pantas untuk engkau dapatkan”, tiga kali. Lalu aku ingin menangkapnya. Demi Allah, seandainya bukan karena doa saudara kami Sulaiman niscaya ia menjumpai pagi hari dalam keadaan terikat hingga dapat dipermainkan oleh anak-anak Madinah.”9
Dari dua hadits di atas, dapat kita pahami bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan maksud beliau untuk menangkap setan yang menganggu dan ingin mencelakakan beliau ketika shalat, dengan alasan beliau teringat dengan doa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Kita ketahui, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menundukkan para jin dan setan kepada Sulaiman sehingga mereka semua tunduk patuh kepada perintah Sulaiman, sebagaimana dalam ayat:
فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ. وَالشَّيَاطِيْنَ كُلَّ بَنَّاءٍ وَغَوَّاصٍ. وَآخَرِيْنَ مُقَرَّنِيْنَ فِي اْلأَصْفَادِ
“Kemudian Kami tundukkan untuknya (Sulaiman) angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja dia kehendaki. Dan Kami tundukkan pula untuknya setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam. Demikian pula setan lain yang terikat dalam belenggu.” (Shaad: 36-38)
Menggabungkan dua hadits di atas dengan kisah Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang dapat menangkap setan ketika setan mencuri makanan zakat yang dijaga Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau ingin membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mungkin dianggap rumit. Maka jawaban atas kerumitan ini dipaparkan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu sebagai berikut:
“Dimungkinkan setan yang ingin diikat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah tokoh/ pimpinan para setan, sehingga bila berhasil menguasainya berarti dapat menguasai setan yang lainnya. Bila seperti ini, dapat menyamai apa yang diperoleh Nabi Sulaiman ‘alaihissalam berupa penundukan para setan untuk memenuhi keinginannya dan mengambil perjanjian dari mereka. Sementara yang dimaksud dengan setan dalam kisah Abu Hurairah bisa jadi setan yang merupakan qarin10 Abu Hurairah, atau setan lainnya, yang bukan tokoh/ pimpinannya. Atau bisa jadi setan yang ingin diikat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tampak di hadapan beliau dengan sifat aslinya sesuai dengan penciptaannya, seperti halnya setan-setan yang berkhidmat/ mengabdi pada Sulaiman ‘alaihissalam berada dalam bentuk aslinya. Adapun setan yang dilihat Abu Hurairah berada dalam wujud manusia, sehingga memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk menangkapnya, dan tidak ada unsur penyerupaan dengan kerajaan Sulaiman. (Fathul Bari, 9/ 71-72)
Sebagai penutup, kami himbau kaum muslimin secara umum agar tidak tertipu dengan acara para dukun alias paranormal berikut ocehan mereka. Dan jangan memberikan decak kagum pada mereka karena menganggap mereka memiliki kesaktian dengan keluarbiasaan yang dipamerkan. Yakinlah, mereka itu di atas kebatilan. Mereka berdusta, dan mereka adalah kawan-kawan setan sang pendusta besar! Bacakan ayat Kursi di hadapan mereka (diruqyah) agar kekuatan palsu mereka mental dan lumpuh dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Bisa jadi ucapan ini mudraj (selipan) dari ucapan sebagian perawinya. Perkataan ini dibawakan untuk meminta uzur kenapa Abu Hurairah melepaskan pencuri itu pada kali yang ketiga, yaitu karena ia –sebagaimana shahabat yang lain- begitu bersemangat mendapatkan pengajaran/ pengetahuan yang bermanfaat. (Fathul Bari, 4/615-616)
2 Ghilan atau Ghul adalah setan yang biasa menyesatkan musafir yang sedang berjalan di gurun. Mereka menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang mengejutkan dan menakutkan sehingga membuat takut musafir tersebut. (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1/569)
3 Karamah adalah kejadian di luar kebiasaan, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jalankan lewat tangan salah seorang wali-Nya dalam rangka membantunya pada perkara agama atau dunia, namun tidak disertai dengan nubuwwah (kenabian) bagi wali tersebut. Karena bila disertai dengan nubuwwah berarti mu’jizat bukan karamah. Seperti kisah Ashabul Kahfi yang tertidur di gua selama ratusan tahun sementara tubuh mereka tetap terjaga, tidak rusak binasa. Seperti pula kisah Maryam, ibu Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, yang mendapatkan rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa buah-buahan sementara ia beribadah dalam mihrabnya sehingga membuat heran Nabi Zakaria ‘alaihissalam dengan pernyataannya: أَنَّى لَكِ هذَا (Dari mana engkau mendapatkan buah-buahan ini (wahai Maryam).) (Ali ‘Imran: 37) (Syarhul ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Muhammad Khalil Harras, hal. 253)
4 Lihat hadits tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengikat setan di tiang masjid
5 Dalam riwayat lain ada tambahan: فَذَعَتُّهُ (aku pun mencekiknya).
6 Ifrit adalah kalangan jin yang sombong, membangkang, durhaka, lalim lagi jahat (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim 5/32).
7 Al-Khaththabi berdalil dengan hadits ini untuk menyatakan pengikut Nabi Sulaiman dapat melihat jin-jin dalam bentuk dan penampilan mereka ketika jin-jin ini beraktivitas. Adapun tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ,
maka, kata beliau, yang dimaukan adalah mayoritas atau dominannya keadaan anak Adam (manusia), mereka tidak dapat melihat jin.
8 HR. Al-Bukhari no. 461, 1210, 3284, 3423, 4808 dan Muslim no. 1209 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga.
9 HR. Muslim no. 1211
10 Setan yang selalu menyertai dan mendampingi anak Adam dan setiap anak Adam ada qarin yang menyertainya.

Sumber : http://www.asysyariah.com. Kategori : Hadits, Judul asli : Batilnya “Pemburu Hantu” Penulis :  Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari,
(Dengan pengurangan pembukaan hadits kisah setan pencuri zakat yang juga telah dipblikasikan dirubrik ini sebelumnya)

Meminta bantuan Jin

Jimat-jimat, penglaris, susuk pemikat, dan sebagainya adalah komoditi keghaiban yang laris diburu orang. Dari pejabat hingga rakyat jelata, dari yang bukan artis hingga selebritis, semuanya rela mengeluarkan dana ‘tidak terbatas’ –bahkan terkadang tumbal kematian kerabatnya– demi tujuan duniawi yang sejatinya tidak kekal. Padahal, jika mereka mau menyadari, apa yang dilakukannya itu tak lain adalah bentuk penghambaan kepada jin.
Aneh Tapi Nyata
Menyimak kisah atau mitos-mitos berkaitan dengan alam jin dan ‘pernak-pernik’-nya, yang banyak beredar di tengah masyarakat, jelas akan membuat kita miris. Pasalnya, kisah-kisah tadi sedikit banyak membuat masyarakat tertipu dan menjadi rancu. Yang mestinya urusan dan ilmunya hanya dimiliki Allah Subhanahu wa Ta’ala, seolah menjadi ilmu yang bisa dimiliki oleh banyak orang. Parahnya, yang paling berhak untuk menyandang ‘ilmu’ pawang jin dan pawang alam ghaib menurut masyarakat umum adalah paranormal. Tidak ketinggalan pula dalam hal ini para kyai yang melelang ilmunya demi pangkat, pamor, dan harta benda duniawi. Demikianlah bila ilmu agama telah jauh dari kaum muslimin.

Sesuatu yang mustahil diilmui dan dilakukan oleh manusia menjadi sebuah ‘kenyataan’ pada hari ini. Mengetahui yang ghaib, menerka sesuatu yang tidak ada di hadapannya dan melukiskan setiap yang terlintas di dalam benak lalu menjadikannya sebagai ilmu yang diperjualbelikan banyak pihak. Sungguh aneh tapi nyata, mereka yang berani dan berlagak pintar dalam masalah ini menjadi orang yang mendapat sanjungan setinggi langit. Bahkan jika surga ada di tangan, niscaya akan diberikan kepada mereka.
Bisa terbang, kebal, memukul dari jarak jauh, berjalan di atas benang, tidak terbakar oleh api, bisa berjalan di atas air dan bisa muncul di mana saja sesuai yang diinginkan, seolah merupakan implementasi keghaiban kelas tinggi. Padahal para pelakunya tak lain adalah khadamah (budak) para setan dan orang-orang zindiq.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan:
“Banyak di antara mereka yang bisa terbang di udara, dan setan telah membawanya (ke berbagai tempat, -pent.), terkadang ke Makkah dan selainnya. Padahal dia adalah seorang zindiq, menolak shalat dan menentang perkara-perkara lain yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta menghalalkan segala yang telah diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

Setan bersedia membantunya karena kekafiran, kefasikan, dan maksiat yang dilakukannya. Kecuali bila dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, bertaubat dan konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. (Jika dia demikian,) niscaya setan akan meninggalkannya dan segala ‘pengaruh’ pada dirinya akan hilang baik berupa penyampaian berita atau amalan-amalan lain. Dan aku mengenal banyak orang yang melakukan demikian di negeri Syam, Mesir, Hijaz dan Yaman.
Adapun di Jazirah, Iraq, Khurasan, dan Rum, lebih banyak dari apa yang terjadi di negeri Syam dan selainnya. Dan tentunya di negeri-negeri kafir dari kalangan kaum musyrikin dan ahli kitab tentu lebih banyak lagi.” (Majmu’ Fatawa, 11/250)
Tema alam jin kini juga kian laris dalam pentas sinetron atau film. Bahkan perkara-perkara ghaib menjadi sebuah pertunjukan yang bisa dipancaindrakan. Sungguh betapa liciknya Iblis dan bala tentaranya dalam mempergunakan kemajuan teknologi untuk menyesatkan dan menjadikan manusia kafir serta ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Media massa menjadi pelicin langkah mereka untuk menggiring umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Neraka Sa’ir. Propaganda demi propaganda yang dilakukan serta manuver-manuver penyesatan yang dilancarkan disambut dengan tangan terbuka dan dada yang lapang.
إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Sesungguhnya dia (Iblis) menyeru para pengikutnya menuju Neraka Sa’ir.” (Fathir: 6)
Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Hikmah Penciptaan Manusia dan Jin
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dan jin untuk suatu hikmah yang besar dan mulia, yang akan mengangkat martabat mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan di hadapan seluruh makhluk. Hikmah yang karenanya diturunkan kitab-kitab dan diutus para nabi dan rasul, serta karenanya pula ditegakkan amanat jihad. Dengannya, seseorang akan masuk ke dalam Surga atau ke dalam Neraka, dan karenanya ditegakkan balasan atas seluruh perbuatan yang dilakukan.

Tahukah anda apa hikmah tersebut?
Hikmah diciptakannya manusia dan jin adalah apa yang telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepadaku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Hikmah ini untuk menjelaskan apa yang telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia itu menyangka bahwa dia dibiarkan begitu saja?” (Al-Qiyamah: 36)
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ تُرْجَعُوْنَ
“Apakah kalian menyangka bahwa Kami menciptakan kalian sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al-Mu`minun: 115)
Al-Imam Mujahid, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan:
“Sia-sia artinya tidak diperintah dan tidak dilarang.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/474 dan lihat Tafsir Ibnul Qayyim, hal. 504 serta Miftah Dar As-Sa’adah, 2/13)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menjelaskan:
“Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan langit dan bumi serta segala apa yang ada di dalamnya dengan benar dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menciptakan mereka sia-sia. Dan (mereka diciptakan sia-sia) merupakan dugaan orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa, 16/174)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa menyimpang dari (jalan) Rabbnya dan menyombongkan diri dari beribadah kepada-Nya, maka sungguh dia telah melemparkan (menolak) hikmah dia diciptakan, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya untuk beribadah. Dan perbuatannya dalam mempersaksikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakannya adalah sia-sia belaka dan tidak berarti, meskipun dia tidak mengucapkannya secara langsung. Demikianlah kandungan sikap penyimpangan dan kesombongannya dari taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Fatawa ‘Aqidah wa Arkanul Islam, hal. 83 masalah 59)

Jin dan Manusia Memiliki Tugas yang Sama
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa jin dan manusia memiliki tugas yang sama di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu tugas yang bila dilaksanakan akan menjadikannya sebagai orang yang mulia di sisi-Nya dan menjadi orang yang paling adil, serta sebagai penegak keadilan di muka bumi. Sebaliknya, bila diabaikan akan menjadi orang yang celaka dan menjadi orang yang paling dzalim, serta sebagai penegak kedzaliman di muka bumi.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bahwa tujuan penciptaan dan perintah adalah agar Allah Subhanahu wa Ta’ala diketahui dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta agar Allah Subhanahu wa Ta’ala semata yang disembah, tidak disekutukan dengan sesuatupun. Dan agar manusia berbuat adil, yaitu keadilan yang langit dan bumi tegak karenanya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Dan sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan keterangan-keterangan dan Kami menurunkan kepada mereka al-kitab (Al-Qur`an) dan timbangan agar manusia berbuat adil.” (Al-Hadid: 25)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa Dia mengutus para rasul dan menurunkan Al-Kitab agar manusia berbuat adil. Dan keadilan yang paling besar adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketauhidan juga merupakan puncak dan tonggak keadilan. Sesungguhnya kesyirikan itu adalah sebuah kedzaliman, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kesyirikan adalah kedzaliman terbesar, dan tauhid adalah keadilan yang paling besar. Maka segala hal yang akan menafikan maksud ini, yaitu tauhid, maka perkara itu merupakan dosa yang paling besar. (Al-Jawabul Kafi, hal. 109)
Tugas yang untuk itu diciptakan jin dan manusia adalah untuk menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa`: 36)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 21)
فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا
“Janganlah kalian menjadikan tandingan-tandingan bagi Allah.” (Al-Baqarah: 22)
Oleh karena itu, orang-orang yang tidak mau melaksanakan tugas ini divonis oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai orang yang sombong dan angkuh, serta divonis sebagai anggota dan bala tentara Iblis.
إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan dirinya dari beribadah kepada-Ku akan masuk ke dalam neraka Jahnnam dalam keadaan hina.” (Ghafir: 60)
قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْءُوْمًا مَدْحُوْرًا لَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Allah berfirman: ‘Keluarlah kamu dari surga sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya orang-orang di antara mereka yang mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu semuanya’.” (Al-A’raf: 18)
قَالَ اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَاؤُكُمْ جَزَاءً مَوْفُوْرًا
“Allah berfirman: ‘Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai satu pembalasan yang cukup’.” (Al-Isra`: 63)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ إِبْلِيْسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ مِنْهُ فِتْنَةً
“Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air, lalu dari (tempat itu) dia mengutus bala tentaranya. Dan orang yang paling dekat kedudukannya di sisi Iblis adalah orang yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya.”1
لأَمْلأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكَ وَمِمَّنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ
“Sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu dan dengan orang-orang yang mengikuti kamu di antara mereka semuanya.” (Shad: 85)
Tolong Menolong adalah Ibadah
Manusia di dalam menjalani hidupnya sebagai manusia sangat membutuhkan bantuan orang lain. Orang miskin butuh bantuan orang kaya, yang lemah butuh bantuan orang yang kuat, yang sakit butuh bantuan para dokter, dan begitu seterusnya. Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kebijaksanaan-Nya telah meletakkan anjuran untuk saling menolong dalam perkara yang dicintainya dan mengharamkan untuk saling menolong dalam perkara yang dibenci. Ketergantungan dan keterkaitan ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan kalian tolong-menolong di dalam perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Ma`idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، مَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Barangsiapa mengeluarkan seorang mukmin dari kesulitan dunia, maka Allah akan mengeluarkannya dari kesulitan dunia dan akhirat. Dan barangsiapa memberikan kemudahan kepada orang yang mengalami kesulitan, niscaya Allah akan memudahkan semua urusannya di dunia dan akhirat.”2
وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ
“Pertolongan Allah selalu menyertai seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.”3
Dari ayat dan hadits di atas, sesungguhnya sangat jelas bahwa tolong menolong di dalam kebaikan merupakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan karena sebuah ibadah, maka harus dibangun di atas dua dasar yaitu ikhlas dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila salah satu dari kedua dasar ini gugur, walaupun perbuatan itu bentuknya ibadah, niscaya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintah dariku maka amalan tersebut tertolak.”4
Hukum Meminta Tolong kepada Selain Allah Subhanahu wa Ta’ala
Dalam edisi yang telah lalu telah kita bahas hukum meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita jelaskan bahwa meminta tolong itu adalah sebuah ibadah, maka tidak boleh kita mengarahkan permintaan tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta tolong.” (Al-Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ
“Dan apabila kamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan bila kamu meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” 5
Apakah larangan meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, memang mutlak atau perlu dirinci?
Jawabannya perlu dirinci:
q Bila meminta tolong kepada selain Allah dalam perkara di mana tidak ada yang bisa melakukannya melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka meminta tolong kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam masalah ini adalah syirik.
q Bila dalam perkara yang manusia itu sanggup untuk melakukannya maka hukumnya perlu juga untuk dirinci:
- bila dalam perkara yang baik, hal itu diperbolehkan sebagaimana dalil di atas.
- bila dalam perkara yang jahat, hal itu diharamkan. (Syarah Tsalatsatil Ushul, Ibnu ‘Utsaimin hal. 58)

Bolehkah Meminta Tolong kepada Jin?
Sesungguhnya inilah yang menjadi inti pembahasan kali ini, yaitu bagaimana hukum meminta tolong kepada jin? Apakah dalam pandangan agama diperbolehkan atau diharamkan? Jika hal itu diperbolehkan, apakah kita bisa meminta tolong dalam semua urusan atau dalam urusan tertentu saja?

Kita mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada tsaqalain –jin dan manusia– menyeru mereka kepada jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Sehingga bila bangsa jin itu ingkar dan kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menurut nash dan ijma’, mereka akan masuk ke dalam neraka. Dan bila mereka beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menurut jumhur ulama mereka akan masuk ke dalam surga. Dan jumhur ulama menegaskan pula bahwa tidak ada seorang rasul dari kalangan jin. Yang ada adalah pemberi peringatan dari kalangan mereka. (Majmu’ Fatawa, 11/169, Tuhfatul Mujib, hal. 364)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa meminta bantuan kepada jin ada tiga bentuk:

Pertama: Meminta bantuan dalam perkara ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti menjadi pengganti di dalam menyampaikan ajaran agama. Contohnya, apabila seseorang memiliki teman jin yang beriman dan jin tersebut menimba ilmu darinya. Maksudnya, jin tersebut menimba ilmu dari kalangan manusia, kemudian setelah itu menjadikan jin tersebut sebagai da’i untuk menyampaikan syariat kepada kaumnya atau menjadikan dia pembantu di dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hal ini tidak mengapa.
Bahkan terkadang menjadi sesuatu yang terpuji dan termasuk dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana telah terjadi bahwa sekumpulan jin menghadiri majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibacakan kepada mereka Al-Qur`an. Selanjutnya, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan. Di kalangan jin sendiri terdapat orang-orang yang shalih, ahli ibadah, zuhud dan ada pula ulama, karena orang yang akan memberikan peringatan semestinya mengetahui tentang apa yang dibawanya, dan dia adalah seseorang yang taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam memberikan peringatan tersebut.
Kedua: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diperbolehkan. Hal ini diperbolehkan, dengan syarat wasilah (perantara) untuk mendapatkan bantuan jin tersebut adalah sesuatu yang boleh dan bukan perkara yang haram. (Perantara yang tidak diperbolehkan) seperti bilamana jin itu tidak mau memberikan bantuan melainkan dengan (mendekatkan diri kepadanya dengan) menyembelih, sujud, atau selainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan sebuah riwayat bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu terlambat datang dalam sebuah perjalanan hingga mengganggu pikiran Abu Musa radhiallahu ‘anhu. Kemudian mereka berkata kepada Abu Musa radhiallahu ‘anhu: “Sesungguhnya di antara penduduk negeri itu ada seorang wanita yang memiliki teman dari kalangan jin. Bagaimana jika wanita itu diperintahkan agar mengutus temannya untuk mencari kabar di mana posisi ‘Umar radhiallahu ‘anhu?” Lalu dia melakukannya, kemudian jin itu kembali dan mengatakan: “Amirul Mukminin tidak apa-apa dan dia sedang memberikan tanda bagi unta shadaqah di tempat orang itu.” Inilah bentuk meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara yang diperbolehkan.
Ketiga: Meminta bantuan kepada mereka dalam perkara yang diharamkan seperti mengambil harta orang lain, menakut-nakuti mereka atau semisalnya. Maka hal ini adalah sangat diharamkan di dalam agama. Kemudian bila caranya itu adalah syirik maka meminta tolong kepada mereka adalah syirik dan bila wasilah itu tidak syirik, maka akan menjadi sesuatu yang bermaksiat. Seperti bila ada jin yang fasik berteman dengan manusia yang fasik, lalu manusia yang fasik itu meminta bantuan kepada jin tersebut dalam perkara dosa dan maksiat. Maka meminta bantuan yang seperti ini hukumnya maksiat dan tidak sampai ke batas syirik. (Al-Qaulul Mufid hal. 276-277, Fatawa ‘Aqidah Wa Arkanul Islam hal. 212, dan Majmu’ Fatawa 11/169)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu mengatakan:
“Adapun masalah tolong menolong dengan jin, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan di dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan dan ketakwaan dan jangan kalian saling tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Ma`idah: 2)
Boleh ber-ta’awun (kerja sama) dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang harus kamu ketahui dulu tentang mereka, bahwa dia bukanlah setan yang secara perlahan membantumu namun kemudian menjatuhkan dirimu dalam perbuatan maksiat dan menyelisihi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan telah didapati, bukan hanya satu orang dari kalangan ulama yang dibantu oleh jin.” (Tuhfatul Mujib, hal. 371)
Al-Lajnah Ad-Da`imah (Lembaga Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) menjelaskan:
“Meminta bantuan kepada jin dan menjadikan mereka tempat bergantung dalam menunaikan segala kebutuhan, seperti mengirimkan bencana kepada seseorang atau memberikan manfaat, termasuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan termasuk bersenang-senang dengan mereka. Dengan terkabulkannya permintaan dan tertunaikannya segala hajat, termasuk dari katagori istimta’ (bersenang-senang) dengan mereka. Perbuatan ini terjadi dengan cara mengagungkan mereka, berlindung kepada mereka, dan kemudian meminta bantuan agar bisa tertunaikan segala yang dibutuhkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا
“Dan ingatlah hari di mana Allah menghimpun mereka semuanya dan Allah berfirman: ‘Wahai segolongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia.’ Kemudian berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari kami telah mendapatkan kesenangan dari sebahagian yang lain dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami’.” (Al-An’am: 128)
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ اْلإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوْهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang dari laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada laki-laki di antara jin kemudian jin-jin itu menambah kepada mereka rasa takut.” (Al-Jin: 6)
Meminta bantuan jin untuk mencelakai seseorang atau agar melindunginya dari kejahatan orang-orang yang jahat, hal ini termasuk dari kesyirikan. Barangsiapa demikian keadaannya, niscaya tidak akan diterima shalat dan puasanya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu melakukan kesyirikan, niscaya amalmu akan terhapus.” (Az-Zumar: 65)
Barangsiapa diketahui melakukan demikian, maka tidak dishalatkan jenazahnya, tidak diringi jenazahnya, dan tidak dikuburkan di pekuburan orang-orang Islam.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah, 1/162-163)
Kesimpulan
Meminta bantuan kepada jin adalah boleh dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun demikian, kami memandang agar hal itu dihindari pada zaman ini, mengingat kebodohan yang sangat menyelimuti umat. Sehingga banyak yang tidak mengerti perkara yang mubah dan yang tidak mengandung maksiat, atau mana tata cara yang boleh dan tidak mengandung pelanggaran agama serta mana pula yang mengandung hal itu. Wallahu a’lam (ed). Sedangkan bila perkara itu bermaksiat, hukumnya bisa jatuh kepada tingkatan haram yaitu bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan bisa juga menjadi kufur keluar dari agama.

Wallahu a’lam.
1 HR. Al-Imam Muslim no. 2813 dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma
2 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
3 HR. Al-Imam Muslim no. 2699 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
4 HR. Al-Imam Muslim no. 1718 dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2518 dan Al-Imam Ahmad no. 2804 dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma

Sumber : http://www.asysyariah.com, Judul Asli : Bolehkah meminta bantuan kepada Jin?, Kategori : Akidah, Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah,

Kisah setan pencuri zakat

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkisah dalam sebuah hadits yang panjang:
وَكَّلَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكاَةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ وَقُلْتُ: وَاللهِ، لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: إِنِّي مُحْتَاجٌ وَعَلَيَّ عِيَالٌ، وَلِي حَاجَةٌ شَدِيْدَةٌ. قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ. فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيْرُكَ الْبَارِحَةَ؟. قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، شَكَا حَاجَةً شَدِيْدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ، وَسَيَعُوْدُ. فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُوْدُ لِقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّهُ سَيَعُوْدُ. فَرَصَدْتُهُ، فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: دَعْنِي فَإِنِّي مُحْتَاجٌ، وَعَلَيَّ عِيَالٌ، لاَ أَعُوْدُ. فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ماَ فَعَلَ أَسِيْرُكَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيْدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ، وَسَيَعُوْدُ. فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ، فَجَعَلَ يَحْثُوْ مِنَ الطَّعاَمِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ، إِنَّكَ تَزْعُمُ لاَ تَعُوْدُ ثُمَّ تَعُوْدُ. قَالَ: دَعْنِي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللهُ بِهَا. قُلْتُ: مَا هُنَّ؟ قَالَ: إِذَا أََوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِي {اللهُ لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ} (البقرة: 255) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرِبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا فَعَلَ أَسِيْرُكَ الْبَارِحَةَ؟ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِي كَلِمَاتٍ يَنْفَعُنِيَ اللهُ بِهَا فَخَلَّيْتُ سَبِيْلَهُ. قَالَ: مَا هِيَ؟ قُلْتُ: قَالَ لِي: إِذَا أَوَيْتُ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِي {اللهُ لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ} وَقَالَ لِي: لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حَافِظٌ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ. وَكَانُوْا أَحْرَصَ شَيْءٍ عَلَى الْخَيْرِ. فَقاَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُذْ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: ذَاكَ شَيْطَانٌ.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan (berupa makanan, pent.). Tiba-tiba seseorang datang. Mulailah ia mengutil makanan zakat tersebut. Aku pun menangkapnya seraya mengancamnya: “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.” Orang yang mencuri itu berkata: “Aku butuh makanan, sementara aku memiliki banyak tanggungan keluarga. Aku ditimpa kebutuhan yang sangat.” Karena alasannya tersebut, aku melepaskannya. Di pagi harinya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat tawananmu semalam?” “Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga. Aku pun menaruh iba kepadanya hingga aku melepaskannya,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.” (Di malam berikutnya) aku yakin pencuri itu akan kembali lagi karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan: “Dia akan kembali.” Aku pun mengintainya, ternyata benar ia datang lagi dan mulai menciduk makanan zakat. Kembali aku menangkapnya seraya mengancam: “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.” “Biarkan aku karena aku sangat butuh makanan sementara aku memiliki tanggungan keluarga. Aku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi.” Aku kasihan kepadanya hingga aku melepaskannya. Di pagi harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat oleh tawananmu?” “Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga, aku pun iba kepadanya hingga aku pun melepaskannya,” jawabku. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.” Di malam yang ketiga, aku mengintai orang itu yang memang ternyata datang lagi. Mulailah ia menciduk makanan. Segera aku menangkapnya dengan mengancam: “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau. Ini untuk ketiga kalinya engkau mencuri, sebelumnya engkau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu tetapi ternyata engkau mengulangi kembali.” “Lepaskan aku, sebagai imbalannya aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan kalimat-kalimat tersebut,” janji orang tersebut. Aku berkata: “Kalimat apa itu?” Orang itu mengajarkan: “Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi: اللهُ لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ (Al-Baqarah: 255) hingga engkau baca sampai akhir ayat. Bila engkau membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari.” Aku pun melepaskan orang itu, hingga di pagi hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali bertanya kepadaku: “Apa yang diperbuat tawananmu semalam?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, ia berjanji akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat-kalimat tersebut, akhirnya aku membiarkannya pergi.” “Kalimat apa itu?”, tanya Rasulullah. Aku berkata: “Orang itu berkata kepadaku: `Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi dari awal hingga akhir ayat: اللهُ لاَ إلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ’. Ia katakan kepadaku: `Bila engkau membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari’.” Sementara mereka (para shahabat) merupakan orang-orang yang sangat bersemangat terhadap kebaikan1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sungguh kali ini ia jujur kepadamu padahal ia banyak berdusta. Engkau tahu siapa orang yang engkau ajak bicara sejak tiga malam yang lalu, ya Abu Hurairah?.” “Tidak,” jawabku. “Dia adalah setan,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Al-Wakalah bab Idza Wakkala Rajulan Fatarakal Wakil Syai`an Fa’ajazahul Muwakkil fa Huwa Ja`iz no. 2311. Selain itu Al-Bukhari juga menyebutkan hadits di atas secara ringkas dalam kitab Bad`ul Khalqi, bab Shifatu Iblis wa Junudihi dan dalam kitab Fadha`ilul Qur`an, bab Fadhlu Shuratil Baqarah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu menyebutkan adanya tambahan dalam riwayat Abul Mutawakkil bahwa Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ditugaskan menjaga kurma sedekah. Maka ia menemukan adanya bekas telapak tangan yang sepertinya telapak tangan itu telah mengambil kurma sedekah. Pada awalnya, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengadukan hal itu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi berkata kepadanya:
إِنْ أَرَدْتَ أَنْ تَأْخُذَهُ فَقُلْ: سُبْحَانَ مَنْ سَخَّرَ لِمُحَمَّدٍ
“Bila engkau ingin menangkapnya, katakanlah: Maha Suci Dzat yang menundukkanmu kepada Muhammad.”
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
“Aku pun mengucapkan demikian, maka tiba-tiba pencuri itu telah berdiri di hadapanku, maka aku dapat menangkapnya.” (Fathul Bari, 4/614)

Mengenal Ya’juj dan Ma’juj

Kemunculan sebuah bangsa yang akan menciptakan kekacauan serta kerusakan di muka bumi telah ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai salah satu penanda kiamat besar. Siapakah dan bagaimanakah mereka?
Di dalam beberapa hadits tentang tanda-tanda hari kiamat kubra, disebutkan ada sepuluh tanda hari kiamat. Di antaranya adalah keluarnya Ya`juj dan Ma`juj.
Berita tentang keluarnya Ya`juj dan Ma`juj bukan hanya mutawatir, bahkan disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya’ ayat 96-97:
حَتَّى إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ. وَاقْتَرَبَ الْوَعْدُ الْحَقُّ فَإِذَا هِيَ شَاخِصَةٌ أَبْصَارُ الَّذِينَ كَفَرُوا يَاوَيْلَنَا قَدْ كُنَّا فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا بَلْ كُنَّا ظَالِمِينَ.
Hingga apabila dibukakan (dinding) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. Dan telah dekatlah datangnya janji yang benar (hari berbangkit), maka tiba-tiba terbelalaklah mata orang-orang yang kafir. (Mereka berkata): “Aduhai, celakalah kami, sesungguhnya kami dalam kelalaian tentang ini, bahkan kami adalah orang-orang yang dzalim.”
Ibnu Katsir rahimahullahu menerangkan: mereka adalah dari keturunan Adam ‘alaihissalam dari keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam, dari anak keturunan Yafits yakni nenek moyang bangsa Turki yang terisolir oleh benteng tinggi yang dibangun oleh Dzulqarnain.
Sedangkan makna “min kulli hadabin yansilun” diterangkan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu: yakni turun dari tempat-tempat yang tinggi dengan cepat dengan membuat kerusakan.
Demikian pula disebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 94:
قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي اْلأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا
“Wahai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj wa Ma`juj merusak di muka bumi, kami akan siapkan imbalan yang besar agar kiranya engkau membuatkan benteng antara kami dengan mereka.”
Adapun kalimat yang menunjukkan bahwa runtuhnya benteng Dzulqarnain dan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj sebagai tanda dekatnya hari kiamat adalah ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada ayat ke-98:
هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ
“Ini adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh…..”
Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan:
“Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mereka tidak akan bisa melubanginya sedikitpun…”

Sedangkan makna “Jika datang janji Rabbku” adalah:
Jika telah dekat hari kiamat, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan runtuhkan benteng tersebut. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullahu.

Ya`juj wa Ma`juj dari keturunan Adam ‘alaihissalam
Ya’juj dan Ma’juj adalah dari jenis manusia keturunan Adam ‘alaihissalam. Tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian orang bahwa mereka bukanlah dari keturunan manusia. Hanya saja mereka adalah orang-orang yang merusak serta memiliki sifat dan perangai yang Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan kepada mereka tidak seperti manusia pada umumnya.

Dalil yang menunjukkan bahwa mereka dari jenis manusia keturunan Adam ‘alaihissalam adalah apa yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dalam Kitabul Anbiya’ bab Qishah Ya’juj dan Ma’juj, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: يَا آدَمُ. فَيَقُولُ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِي يَدَيْكَ. فَيَقُولُ: أَخْرِجْ بَعْثَ النَّارِ. قَالَ: وَمَا بَعْثُ النَّارِ؟ قَالَ: مِنْ كُلِّ أَلْفٍ تِسْعَ مِائَةٍ وَتِسْعَةً وَتِسْعِينَ فَعِنْدَهُ يَشِيبُ الصَّغِيرُ وَتَضَعُ كُلُّ ذَاتِ حَمْلٍ حَمْلَهَا وَتَرَى النَّاسَ سُكَارَى وَمَا هُمْ بِسُكَارَى وَلَكِنَّ عَذَابَ اللَّهِ شَدِيدٌ ﭼ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأَيُّنَا ذَلِكَ الْوَاحِدُ؟ قَالَ: أَبْشِرُوا فَإِنَّ مِنْكُمْ رَجُلًا وَمِنْ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ أَلْفًا …
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Adam: “Wahai Adam.” Maka Adam menjawab: “Labbaika wa sa’daika wal khairu fi yadaika (Aku sambut panggilan-Mu dengan senang hati dan kebaikan semuanya di tangan-Mu).” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keluarkan utusan (penghuni) neraka.” Maka Adam bertanya: “Apa itu utusan (penghuni) neraka?” Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka dari setiap seribu orang, sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang!” Maka ketika itu anak kecil menjadi beruban, setiap yang hamil melahirkan apa yang dikandungnya, dan kamu lihat orang-orang seakan-akan mabuk padahal mereka tidak mabuk, tetapi karena adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sangat keras. Kemudian para shahabat bertanya: “Siapa satu yang selamat dari kita itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Bergembiralah, sesungguhnya penghuni neraka itu dari kalian satu dan dari Ya’juj dan Ma’juj seribu….” (HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari, juz 6 hal. 382)
Dari hadits di atas kita dapatkan beberapa faedah:
Pertama: Ya’juj dan Ma’juj adalah calon penghuni neraka.
Kedua: jumlah Ya’juj dan Ma’juj sangat besar.
Ketiga: bahwa Ya’juj dan Ma’juj dari jenis manusia keturunan Adam.

Sifat-sifat Ya`juj dan Ma`juj
Walaupun mereka dari jenis manusia keturunan Adam, namun mereka memiliki sifat khas yang berbeda dari manusia biasa. Ciri utama mereka adalah perusak dan jumlah mereka yang sangat besar sehingga ketika mereka turun dari gunung seakan-akan air bah yang mengalir, tidak pandai berbicara dan tidak fasih, bermata kecil (sipit), berhidung kecil, lebar mukanya, merah warna kulitnya seakan-akan wajahnya seperti perisai dan sifat-sifat lain.

Disebutkan dalam riwayat Al-Imam Ahmad rahimahullahu, dari Ibnu Harmalah, dari bibinya, dia berkata:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَاصِبٌ إِصْبَعَهُ مِنْ لَدْغَةِ عَقْرَبٍ فَقَالَ: إِنَّكُمْ تَقُولُونَ لاَ عَدُوَّ وَإِنَّكُمْ لاَ تَزَالُونَ تُقَاتِلُونَ عَدُوًّا حَتَّى يَأْتِيَ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ عِرَاضُ الْوُجُوهِ صِغَارُ الْعُيُونِ شُهْبُ الشِّعَافِ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الْمَجَانُّ الْمُطْرَقَةُ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dalam keadaan jarinya terbalut karena tersengat kalajengking. Beliau bersabda: “Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya’juj dan Ma’juj, lebar mukanya, kecil (sipit) matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai.” (HR. Ahmad)
Ya`juj dan Ma`juj Sudah Ada Sekarang
Ya`juj dan Ma`juj sudah ada dan terus dalam keadaan turun-temurun (beranak pinak), tidak meninggal satu orang dari mereka, kecuali lahir seribu orang lebih. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Hakim rahimahullahu dalam Mustadrak-nya.

Namun alhamdulillah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah bentengi mereka dari kita, yaitu dengan sebab menakdirkan munculnya Dzulqarnain yang dengan kemampuannya membuat benteng yang terbuat dari besi dan tembaga.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَتْبَعَ سَبَبًا. حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَيْنَ السَّدَّيْنِ وَجَدَ مِنْ دُونِهِمَا قَوْمًا لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ قَوْلاً. قَالُوا يَاذَا الْقَرْنَيْنِ إِنَّ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ مُفْسِدُونَ فِي اْلأَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلَى أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا. قَالَ مَا مَكَّنِّي فِيهِ رَبِّي خَيْرٌ فَأَعِينُونِي بِقُوَّةٍ أَجْعَلْ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ رَدْمًا. آتُونِي زُبَرَ الْحَدِيدِ حَتَّى إِذَا سَاوَى بَيْنَ الصَّدَفَيْنِ قَالَ انْفُخُوا حَتَّى إِذَا جَعَلَهُ نَارًا قَالَ ءَاتُونِي أُفْرِغْ عَلَيْهِ قِطْرًا. فَمَا اسْطَاعُوا أَنْ يَظْهَرُوهُ وَمَا اسْتَطَاعُوا لَهُ نَقْبًا. قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ رَبِّي جَعَلَهُ دَكَّاءَ وَكَانَ وَعْدُ رَبِّي حَقًّا
“Kemudian dia menempuh suatu jalan (yang lain lagi).
Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia mendapati di hadapan keduanya, suatu kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan.
Mereka berkata: ‘Hai Dzulqarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?’
Dzulqarnain berkata: ‘Apa yang telah dikuasakan oleh Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka,
berilah aku potongan-potongan besi.’ Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Dzulqarnain: ‘Tiuplah (api itu).’ Hingga apabila besi itu sudah menjadi (merah seperti) api, diapun berkata: ‘Berilah aku tembaga (yang mendidih) agar kutuangkan ke atas besi panas itu.’
Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya.
Dzulqarnain berkata: ‘Ini (dinding) adalah rahmat dari Rabbku, maka apabila sudah datang janji Rabb-ku Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Rabbku itu adalah benar’.” (Al-Kahfi: 92-98)

Kesombongan Ya`juj dan Ma`juj
Ya`juj dan Ma`juj ketika keluar tidaklah melewati sesuatu kecuali dirusaknya. Tidaklah melewati danau kecuali meminumnya hingga habis. Tidaklah mendapati manusia kecuali dibunuhnya sampai ketika mereka merasa menang membantai seluruh penduduk bumi, mereka menantang penduduk langit. Inilah kesombongan yang luar biasa dari Ya`juj wa Ma`juj.

ثُمَّ يَسِيرُونَ حَتَّى يَنْتَهُوا إِلَى جَبَلِ الْـخُمَرِ وَهُوَ جَبَلُ بَيْتِ الْمَقْدِسِ فَيَقُولُونَ: لَقَدْ قَتَلْنَا مَنْ فِي اْلأَرْضِ هَلُمَّ فَلْنَقْتُلْ مَنْ فِي السَّمَاءِ. فَيَرْمُونَ بِنُشَّابِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ فَيَرُدُّ اللهُ عَلَيْهِمْ نُشَّابَهُمْ مَخْضُوبَةً دَمًا
“Kemudian mereka berjalan dan berakhir di gunung Khumar, yaitu salah satu gunung di Baitul Maqdis. Kemudian mereka berkata: “Kita telah membantai penduduk bumi, mari kita membantai penduduk langit.” Maka mereka melemparkan panah-panah dan tombak-tombak mereka ke langit. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala kembalikan panah dan tombak-tombak mereka dalam keadaan berlumuran darah.” (HR. Muslim dalam kitab Al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah)
Yakni mereka mengira bahwa darah tersebut bukti kemenangan mereka melawan penduduk langit. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala binasakan seluruhnya pada saat puncak kesombongan mereka dalam waktu yang hampir bersamaan.
Binasanya Ya’juj dan Ma’juj dengan doa Nabi Isa ‘alaihissalam
Diriwayatkan dari An-Nawwas Ibni Sam’an radhiyallahu ‘anhu dalam hadits yang panjang. Di antaranya sebagai berikut:
إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيسَى إِنِّي قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَادًا لِي لاَ يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ فَحَرِّزْ عِبَادِي إِلَى الطُّورِ وَيَبْعَثُ اللهُ يَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ فَيَمُرُّ أَوَائِلُهُمْ عَلَى بُحَيْرَةِ طَبَرِيَّةَ فَيَشْرَبُونَ مَا فِيهَا وَيَمُرُّ آخِرُهُمْ فَيَقُولُونَ لَقَدْ كَانَ بِهَذِهِ مَرَّةً مَاءٌ وَيُحْصَرُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ حَتَّى يَكُونَ رَأْسُ الثَّوْرِ لِأَحَدِهِمْ خَيْرًا مِنْ مِائَةِ دِينَارٍ لِأَحَدِكُمُ الْيَوْمَ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ فَيُرْسِلُ اللهُ عَلَيْهِمُ النَّغَفَ فِي رِقَابِهِمْ فَيُصْبِحُونَ فَرْسَى كَمَوْتِ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ثُمَّ يَهْبِطُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اْلأَرْضِ فَلاَ يَجِدُونَ فِي اْلأَرْضِ مَوْضِعَ شِبْرٍ إِلاَّ مَلَأَهُ زَهَمُهُمْ وَنَتْنُهُمْ فَيَرْغَبُ نَبِيُّ اللهِ عِيسَى وَأَصْحَابُهُ إِلَى اللهِ فَيُرْسِلُ اللهُ طَيْرًا كَأَعْنَاقِ الْبُخْتِ فَتَحْمِلُهُمْ فَتَطْرَحُهُمْ حَيْثُ شَاءَ اللهُ ثُمَّ يُرْسِلُ اللهُ مَطَرًا لاَ يَكُنُّ مِنْهُ بَيْتُ مَدَرٍ وَلاَ وَبَرٍ فَيَغْسِلُ اْلأَرْضَ حَتَّى يَتْرُكَهَا كَالزَّلَفَةِ ثُمَّ يُقَالُ لِلْأَرْضِ أَنْبِتِي ثَمَرَتَكِ وَرُدِّي بَرَكَتَكِ…
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewahyukan kepada Isa ‘alaihissalam: Sesungguhnya aku mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak ada kemampuan bagi seorang pun untuk memeranginya. Maka biarkanlah mereka hamba-hamba-Ku menuju Thuur. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala keluarkan Ya’juj dan Ma’juj dan mereka mengalir dari tiap-tiap tempat yang tinggi. Kemudian mereka melewati danau Thabariyah1, dan meminum seluruh air yang ada padanya. Hingga ketika barisan paling belakang mereka sampai di danau tersebut mereka berkata: “Sungguh dahulu di sini masih ada airnya.” Ketika itu terkepunglah Nabiyullah Isa ‘alaihissalam dan para sahabatnya. Hingga kepala sapi ketika itu lebih berharga untuk mereka daripada seratus dinar kalian sekarang ini. Maka Isa dan para sahabatnya berharap (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengirim sejenis ulat yang menyerang leher mereka. Maka pagi harinya mereka seluruhnya binasa menjadi bangkai-bangkai dalam waktu yang hampir bersamaan. Kemudian turunlah (dari gunung Thuur) Nabiyullah Isa dan para sahabatnya, maka tidak didapati satu jengkal pun tempat kecuali dipenuhi oleh bangkai dan bau busuk mereka. Maka Nabi Isa ‘alaihissalam pun berharap (berdoa) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan burung-burung yang lehernya seperti unta, membawa bangkai-bangkai mereka dan kemudian dilemparkan di tempat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki2. Kemudian Allah kirimkan hujan yang tidak menyisakan satu pun rumah maupun kemah, lalu membasahi bumi hingga menjadi licin. Kemudian dikatakan kepada bumi itu: ‘Tumbuhkanlah buah-buahanmu dan kembalilah berkahmu…” (HR. Muslim)
Wajib Beriman dengan berita Ya`juj wa Ma`juj
Berita tentang Ya`juj wa Ma`juj adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, sehingga seorang muslim yang beriman wajib menerimanya. Bukankah ciri-ciri orang yang bertakwa adalah beriman kepada hal ghaib yang dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya? Dan termasuk hal yang ghaib adalah apa yang akan terjadi pada akhir zaman, termasuk berita akan keluarnya Ya`juj wa Ma`juj?

Namun sebagian kaum muslimin, khususnya kaum Mu’tazilah dan para rasionalis atau orang-orang yang terpengaruh oleh mereka, menolak berita-berita hadits yang -menurut anggapan mereka- tidak masuk akal. Mereka menganggap hadits-hadits tersebut hanya akan membuat orang lari dari Islam.
Ketika mereka mendengarkan hadits-hadits tentang diangkatnya Nabi Isa ‘alaihissalam dalam keadaan hidup, akan turunnya beliau pada akhir zaman, berita tentang Dajjal -yang sudah ada wujudnya dalam keadaan terbelenggu- atau tentang Ya`juj wa Ma`juj yang masih beranak-pinak dan terus menerus berupaya untuk keluar dari benteng yang dibuat oleh Dzulqarnain, dan lain-lainnya. Mereka benar-benar gelisah, panas dadanya seraya berkata: “Untuk apa hadits-hadits seperti ini disampaikan. Hadits-hadits ini akan menjadikan manusia semakin jauh dari Islam.” Mereka melontarkan olok-olok, celaan, dan berbagai macam ucapan penolakan terhadap hadits-hadits tersebut. Keadaan mereka ini persis seperti yang dikatakan oleh para ulama tentang ahlul bid’ah:
Ahmad bin Sinan Al-Qaththan rahimahullahu berkata: ”Tidak ada di dunia ini seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) pun kecuali akan membenci ahlil hadits. Jika seseorang mengada-adakan kebid’ahan niscaya akan dicabut kelezatan hadits dari hatinya.” (Aqidatussalaf wa Ashhabul Hadits hal. 300)
Abu Nashr bin Sallam Al-Faqih rahimahullahu berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dan lebih dibenci bagi orang-orang mulhid (sesat) daripada mendengarkan hadits dengan riwayat dan sanadnya.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits hal. 302)
Penutup
Sebagai nasihat dan peringatan untuk kita dan seluruh kaum muslimin, kami nukilkan beberapa ucapan para ulama dalam masalah ini:
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu menyatakan:
“Barangsiapa yang menolak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi sa wallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran.” (Thabaqat Al-Hanabilah, 2/11 dan Al-Ibanah, 1/269; lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 29)

Al-Imam Al-Barbahari rahimahullahu menegaskan:
“Jika engkau mendengar seseorang mencela riwayat-riwayat (yakni riwayat hadits yang shahih), menolaknya atau menginginkan selainnya, maka curigailah keislamannya dan jangan ragu kalau dia adalah pengekor hawa nafsu, ahlul bid’ah.” (Syarhus Sunnah hal. 51)

Abul Qashim Al-Ashbahani rahimahullahu menerangkan: Ahlus Sunnah dari kalangan salaf berkata: “Barangsiapa mencerca riwayat-riwayat hadits, maka sepantasnya untuk dituduh keislamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/248. Lihat Ta’zhimus Sunnah, hal. 29)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu –imamnya para imam pada zamannya- berkata:
“Dari Allah Subhanahu wa Ta’ala keterangannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikannya, maka kewajiban kita adalah menerimanya.” (Aqidatus Salaf Ashhabil Hadits, hal. 249)

Beliau rahimahullahu berkata juga: “Diriwayatkan dari salaf bahwa kaki Islam tidak akan kokoh, kecuali di atas fondasi at-taslim (yakni menerima dan tunduk pada seluruh ucapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, pent.).” (Aqidatus Salaf Ashhabul Hadits hal. 200). Wallahu a’lam.
1 Danau Tiberias/Galilea, terletak di wilayah pendudukan Yahudi, tepatnya di barat daya Dataran Tinggi Golan. Merupakan sumber air tawar bagi warga Yahudi-Israel.
2 Dalam riwayat lain, dilemparkan ke laut. (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak-nya, dan Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya)

Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Sumber : http://www.asysyariah.com

Menyingkap alam ghaib

Penglihatan manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok. Contoh kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca inderanya.
Merunut sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin (baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ
“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ
“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:
وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْبَ
“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:
قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:
إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat:
…فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} الآية
“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib (yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ
“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata:
“Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ
“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis yang cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat. Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi) lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-. Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Para pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
Adapun keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya. Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4)
Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Bila demikian, berarti semua perkara ghaib haruslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perkara ghaib (baca: yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghaib tersebut diterangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata:
“Iman kepada perkara ghaib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 24)
Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُو;ْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata:
“Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indra, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, -pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim, -pen.) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Penutup
Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Kondisinya, setiap satu berita yang benar diiringi dengan seratus berita dusta. Sebagaimana hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 3210, 3288, 5762, 6213, 7561 dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 2228.
2 Sebagaimana diterangkan dalam catatan kaki no. 1, hal. 5
3 Diringkas dari Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 5/3-4, 6/3-4, dan 1/8-13.
4 Yakni tidak menemukan solusi dari masalah yang dibahasnya.
Sumber : http://www.asysyariah.com, Judul Asli : Alam Ghaib dalam Sorotan, Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc

Bagi-bagi ke yang lain...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar