Gerakan pembaruan di dalam kehidupan beradat dan beragama di
Minangkabau, dapat dikatakan satu gerakan pembaruan oleh para ulama
zuama, yakni para cendekiawan yang hidup dengan latar belakang kehidupan
adat Minangkabau yang kuat, dan kemudian menuntut mendalami ilmu
pengetahuan agama Islam ke negeri-negeri sumber ilmu, sampai ke Mekah al
Mukarramah, yang kemudian diwarisi sambung bersambung membentuk rantai
sejarah yang panjang, dan bekelanjutan terus ke abad-abad sesudahnya.
Masuknya Islam dan sejarah perkembangannya di Minangkabau sejajar dengan
sejarah pertumbuhan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M
atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah
Islam.
DARI BERBAGAI SISI DAN PENJURU
Masuknya Islam ke rantau timur di masa itu tidak terlepas dari
persaingan perdagangan dan pengaruh kerajaan-kerajaan, seperti
melemahnya kekuasaan Sriwijaya, dan lahirnya kerajaan Islam Perlak
dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut
Islam (840 M).
Berkembangnya Malaka dan Samudera Pasai menjadi kota dagang dan kerajaan
Islam (1400 M), dan kalahnya Sriwijaya melawan Majapahit, sejak tahun
1477 M itu, pantai timur ranah Minang di bawah kendali Majapahit hingga
meninggalnya Hayam Wuruk, dan di masa itu kerajaan Pagarruyung di
Minangkabau diperintah oleh keturunan Kertanegara dan Dara Petak, putri
dari Minang, yaitu Adityawarman.
Ketika itu, rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam,
walau Adityawarman masih memeluk Budha, tetapi dinastinya berkuasa
hingga 1581 M. Namun pernah tercatat 1411 M, raja-raja turunan
Adityawarman sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku
Maulana Malik Ibrahim. Kekuasaan kerajaan hanya sebatas simbol kekuasaan
dan lambang persatuan.
Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau.
Setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda, atau penghulu di rantau.
Raja berdaulat dengan tiga kekuasaan serangkai Rajo Tigo Selo, di
Pagarruyung, di Luhak Tanah Datar, yang terdiri dari Rajo Alam, Rajo
Adat, dan Rajo Ibadat yang mempunyai daerah kedudukan masing-masing di
Buo dan di Sumpur Kudus. Tiga serangkai kekuasaan ini diperkuat oleh
dewan menteri Basa Ampek Balai, yang terdiri dari Bandaharo dari Sungai
Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso, Indomo
dari Sumanik, dan diperkuat lagi oleh Tuan Gadang dari Batipuh dalam
urusan pertahanan.
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat
setempat, seperti adaik mananti, syarak mandaki. Namun kegiatan yang
erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala
itu.
GERAKAN DAKWAH PERSUASIF
Kedatangan Syekh Burhanuddin (Pono), yang berguru kepada Syekh Abdurrauf
Singkili di Aceh, dan kemudian mengembangkan Islam di Minangkabau
dengan membuka surau atau sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman, dan
di Kapeh Kapeh Pandai Sikek, Padangpanjang, mulai melakukan gerakan
pemurnian Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha, serta menghapuskan
kebiasaan-kebiasaan anak nagari seperti minum tuak, menyabung ayam atau
berkaul ke tempat keramat.
Istana Pagarruyung juga menjadi sasaran dakwahnya dan ia berhasil.
Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang.
Murid beliau mulai banyak dari darek atau dari Luhak nan Tigo.
Semasa itu, sudah terjadi juga persilangan paham antara penghulu dalam
hal setuju dan yang menentang ulama zuama, ulama cerdik pandai yang
pulang dari berguru dan melakukan pemurnian terhadap kebiasaan adat yang
salah menurut syarak. Lambat laun, kesepakatan damai tercipta antara
para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang, untuk saling mengakui
kedudukan ulama dengan penghulu, sehingga ulama menjadi suluah bendang
dalam nagari, tidak menjadi bawahan dari Penghulu seperti kedudukan
panungkek, dan manti, dubalang.
Semenjak itu lahir beberapa ungkapan petatah-petitih, syarak mandaki
adaik manurun, syarak nan lazim adaik nan kawi, syarak babuhue mati
adaik babuhue sintak, syarak balinduang adaik bapaneh, syarak mangato
adaik mamakai, syarak batilanjang adaik basisampieng.
GERAKAN PADERI ADALAH GERAKAN PEMBARUAN
Gerakan pembaruan tatanan masyarakat Minangkabau dalam beradat dengan
ketentuan syarak di masa kedua ini, sejak masuknya Islam ke Minangkabau
mulai empat abad sebelumnya. Selanjutnya, gerakan pembaruan ulama zuama,
yakni kaum ulama dan cerdik pandai suluh benderang di dalam nagari, di
abad 18 dan 19 itu, yang kemudian menjadi gerakan Paderi (1802-1837) di
Minangkabau, dan sekitarnya, adalah mata rantai dari gerakan pembaruan
pemikiran berlatar belakang pendidikan-pendidikan yang dilalui para
pembaru penggerak pergerakan tersebut.
Karenanya dapat disebut bahwa gerakan ini lahir tidak didorong oleh
keinginan perebutan kekuasaan kerajaan, atau gerakan balas dendam yang
menghabisi lawan-lawan yang tidak sesuai atau tidak disenangi sampai
musnah, akan tetapi lebih bertujuan kepada berkehendak lahirnya
perubahan tata pergaulan di dalam masyarakatnya yang beradat dengan
agama (syarak), atau melaksanakan ajaran syarak (agama Islam) di dalam
adat istiadatnya, di ranah Minangkabau.
Gerakan Paderi di awal abad kedelapan belas, bermula dengan pulangnya
tiga serangkai ulama zuama Minangkabau (1802), terdiri dari Haji Miskin
di Pandai Sikek, Luhak Agam, Haji Abdur Rahman, di Piobang, Luhak
Limopuluah, dan Haji Muhammad Arief, di Sumanik, Luhak nan Tuo, Tanah
Datar, yang juga dikenal bergelar Tuanku Lintau, berawal dengan
penyadaran semangat beragama Islam di dalam kehidupan beradat di
Minangkabau.
Gerakan Kembali ke Syariat yang dilaksanakan di bawah bimbingan Tuanku
Nan Tuo, kemudian berlanjut ke Gerakan Paderi di bawah pimpinan Tuanku
Nan Renceh di Kamang, sambung bersambung menjadi mata rantai gerakan
menyeluruh dalam wilayah yang luas, di bawah pimpinan Tuanku Imam
Bonjol, senyatanya tidak terbatas menentang dan menghapuskan hukum waris
berdasarkan garis ibu, atau menghapuskan lembaga kaum adat yang sudah
jauh menyimpang dari syarak di Minangkabau, atau perang pengembagan
ajaran agama Islam secara paksa kenegeri di sekitar. Sama sekali tidak.
Dalam masa 100 tahun penjajahan Belanda, telah memberi pengaruh yang
tidak sedikit. Warna budaya di Minangkabau terutama, berbentuk segi tiga
dengan sisi yang tidak sama panjang antara budaya adat, budaya agama,
dan budaya barat yang mulai masuk ke kehidupan masyarakat adat dan
budaya di Minangkabau, Riau, Mandahiling dan tanah Batak, yang selama
ini amat menjunjung tinggi budaya timur, dan bukan kultur barat.
Ada satu benang merah yang tampak jelas dipunyai para pejuang, bahwa
ulama cerdik pandai (cendekiawan) yang menjadi suluh benderang di
negeri, adalah kalangan kaum terpelajar muslim di zamannya, yang
berpikiran maju dan rasional, sesuai bimbingan agama Islam yang
dianutnya, terang bertolak belakang dengan anutan penjajahan masa itu.
Ulama zuama Gerakan Paderi ini memiliki perasaan dan semangat untuk
membebaskan kaumnya yang beradat dan beragama Islam dari belenggu
keterbelakangan dan jumud, sejak tiga abad sebelumnya. Keterkekangan
dianggap sebagai sebab utama ketakberdayaan bangsa yang dicap inlander
di depan bangsa kolonialisme.
Dengan membangun kembali cara pandang dan sikap keberagamaan, kondisi
menyedihkan itu dapat diperbaiki. Kendati berbeda dalam metodologi dan
pendekatan, para ulama zuama memiliki kesamaan dalam menyikapi kondisi
kaum, yang beradat dan beragama Islam. Kesamaan pandangan juga, bahwa
hanya pembebasan diri (self-liberating) yang dapat mengeluarkan bangsa
dari kondisi itu.
Pembebasan itu adalah perlawanan terhadap kolonialisme secara fisik,
baik pada bungkus adat dan agama (syarak), dimulai dari membuka pintu
ijtihad seluas-luasnya, secara teoritis, dan mengaji ulang tradisi dan
khazanah (turats) syarak yang mesti dilakukan di dalam kehidupan
beradat, khususnya di Minangkabau. Ulama zuama atau para tuanku, yang
menggerakkan perubahan sangat dipengaruhi latar belakang pendidikan,
ekonomi, dan tingkat kedudukan sosial mereka, yang kemudian banyak
memunculkan pengotakan kaum dan jalannya perjuangan gerakan pembaruan
itu.
Gerakan pembaruan yang dilaksanakan sejak Tuanku nan Tuo, Tuanku nan
Renceh, dan Tuanku Imam Bonjol, lebih menguatkan harta pusaka, yakni
pusaka tinggi dimanfaatkan untuk kesejahteraan kaum. Karena itu, harta
pusaka tetap diturunkan kepada kemenakan, dalam pengawasan garis
perempuan. Mengenai harta pencaharian, gerakan sependapat harus
diwariskan kepada anak.
IMAM BONJOL, TUANKU (1722-1864)
Pemimpin Utama Perang Paderi
Pemimpin Utama Perang Paderi
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan
nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November
1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837)
yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di
ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas,
bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB
dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak
(1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan,
Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964,
yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral
Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan
nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi
1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober
2007).
MITOS KEPAHLAWANAN
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini
mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum
intelektual dan akademis, khususnya sejarawan, adalah pihak yang paling
bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan
munculnya friksi di tingkat dasar yang berpotensi memecah belah bangsa
ini.
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya
seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi
akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus
disingkirkan si penulis.
Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun,
generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus
menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos
pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting
yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional,
seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII,
juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa
Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in
Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam
Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah
dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya
terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan
negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang
telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa
PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman
perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang
kini dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan
beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial
dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga.
Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat
kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk
mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat
kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan
nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
BUKAN MANUSIA SEMPURNA
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik
sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama
perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang
Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema
awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni
melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman
Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang,
sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum
Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah
pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan
Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar,
pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat
dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)—
transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah
sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung
diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak
bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi
atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah
melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang
terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum
Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?),
tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda
yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16
Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het
einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837:
Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan
Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat
dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan
yang telah diperbuat TIB.
Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah TIB akan tetap
ditempatkan atau diturunkan dari “tandu kepahlawanan nasional” yang
telah “diarak” oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori
mereka. (Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada
Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit
Leiden, Belanda).
Tuanku Imam Bonjol, sadar bahwa setelah utusan anak kemenakannya
mempelajari hukum Islam ke tanah Mekah, menyatakan pembagian tugas yang
nyata antara adat dan agama (syarak), bahwa masalah adat dikembalikan
kepada Basa dan Penghulu, sedang soal agama dipulangkan ke Tuanku atau
malim (mu’allim), sesuai doktrin adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah.
SUMPAH SATIE (SUMPAH SAKTI, atau SUMPAH SETIA) BUKIT MARAPALAM
Sulit mencari bukti tertulis, kepastian waktu, tempat, siapa pelaku
utama peristiwa, dan pencetus ide piagam sumpah satie (sumpah sakti)
Bukik Marapalam, yang diyakini oleh masyarakat Minang telah disepakati
oleh para pemuka adat dan ulama, di puncak bukit Marapalam, semasa
perkembangan Islam di Minangkabau. Konsensus itu di dasari sifat
egaliter masyarakat Minang, yang yakin piagam itu berisi sumpah satie
(janji setia) antara kaum adat dan ulama, yang menyatakan “adaik basandi
syarak, syarak basandi Kitabullah” (adat bersendi syari’at Islam, Islam
bersendi Kitabullah, yakni Al Quran).
Ada beberapa pendapat, tentang waktu terjadinya Sumpah Satie Bukik
Marapalam, di antaranya menyebutkan di masa awal gerakan Paderi
(1803-1809), terkait tempat strategis, di puncak Bukit Marapalam.
Gagasan maksud piagam diadakan, menghindari banyak korban yang akan
jatuh antara kelompok yang bertikai. Dari kalangan ulama zuama disebut
penggagasnta Tuanku Lintau, dan kaum adat atas inisiatif Datuk Bandaro,
yang mendatangi Datuk Samik, dan di sampaikan kepada Datuk Surirajo
Maharajo di Pariangan. Akhirnya antara kaum adat dan ulama zuama
menyepakarti satu piagam, Sumpah Satie Bukik Marapalam yaitu “adaik
basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.
Kesepakatan ini, tidak didapat kepastian tahun terjadinya. Yang terlihat
hanya peranan Tuanku Lintau dan Datuk Bandaro, keduanya pengikut
gerakan Paderi. Ketika keduanya dianggap sebagai penggagas, mengatur
pertemuan, dan mengeluarkan piagam sumpah satie “adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah”, namun masih juga tidak diketahui pasti kapan
tanggal, bulan, dan tahun terjadinya. Akan tetapi, sejak piagam itu
ada, ketegangan antara kaum adat dan para ulama zuama mulai mereda,
walau masih terasa ada pertentangan para datuk dari Nagari Saruaso dan
Batipuh.
Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Piagam Sumpah
Satie Bukik Marapalam ada di masa Perang Paderi II, ketika Belanda
kembali memerangi kaum Paderi setelah Belanda dapat memadamkan Perang
Diponegoro.
Gerakan Paderi dilanjutkan oleh Tuanku nan Tuo, Tuanku nan Renceh,
Tuanku Kubu Sanang, Tuanku Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur, Tuanku di
Ladang Laweh dan Tuanku Imam Bonjol yang berujung dengan perlawaanan
terhadap penjajahan Belanda, atau Perang Paderi (1821-1837).
Dalam Perang Paderi ini, pihak Belanda berhasil memecah kekuatan bangsa
di Minangkabau. Pihak kolonial memakai politik adu domba, antara kaum
adat dan agama, yang saling curiga, sehingga kekuatan melemah. Akhirnya,
Belanda dapat merebut benteng pertahanan Paderi di puncak Bukit
Marapalam, di Lintau, Agustus 1831, dan kemudian berturut-turut
menguasai banteng Paderi di Talawi, Bukit Kamang, dan kekuatan Tuanku
Nan Renceh di obrak-abrik, sehingga membawa kekalahan bagi kaum Paderi
di Agam, akhir Juni 1832..
Perang Paderi (1821-1837) menyadarkan masyarakat Minang dan sekitarnya,
bahwa pihak Belanda berhasil menampilkan konflik antara kalangan ulama
zuama, dengan kaum adat, yang berakibat melemahnya kekuatan bangsa di
Minangkabau. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda,
antara kaum adat dan agama telah berunding membuat sumpah satie,
melahirkan piagam Marapalam yang menyepakati adaik basandi syarak,
syarak basandi Kitabullah di ranah Minang. Dalam peristiwa ini, nama
Tuanku Lintau kembali disebut sebagai pemerakarsa.
Ada pula pendapat, bahwa sumpah satie Bukik Marapalam terjadi di akhir
perang Paderi. Setelah Paderi kalah dari tentara Belanda. Pihak colonial
Belanda merubah tatanan sosial masyarakat adat Minang dengan mengangkat
Penghulu Bersurat (besluit), guna lebih mudah urusan memungut pajak
untuk kepentingan kolonial. Nagari-nagari yang tadi otonomi di
Minangkabau, tunduk ke wilayah Administratif Pemerintahan Hindia
Belanda.
Kekhawatiran masyarakat Minang terhadap bangsa Belanda penjajah yang
kafir, dengan berubahnya struktur pemangku adat diberi besluit, akan
berakibat menjauhkan masyarakat Minangkabau dari nilai-nilai adat dan
agama Islam yang dianut mereka. Sebagai upaya menguatkan kembali jalinan
persatuan kaum adat dan ulama zuama di dalam kesatuan masyarakat adat
Minangkabau, menyebabkan lahir piagam sumpah satie Bukik Marapalam ini.
Namun, tanggal kejadian belum juga pasti.
Ketiadapastian tanggal peristiwa ini, memberi peluang besar melakukan
penelitian sejarah, serta nilai-nilai yang dikandung dalam setiap
peristiwa di dalam gerakan Paderi, juga tentang hubungan antara variabel
adat dan agama (syarak), yang serta merta berkembang untuk kasus-kasus
di luar dan dalam masyarakat Minang sepanjang waktu.
Di samping itu, ada pula pendapat yang menyatakan tentang peristiwa
munculnya sumpah satie ini, semasa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam
di tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minangkabau. Pengembangan Islam
secara bersahabat (evolusi) menyiratkan gerakan dakwah Syekh
Burhanuddin, telah ada kesepakatan (consensus) di tengah masyarakat,
yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”. Kenyataan social di
tengah kehidupan masyarakat Minang di nagari, membuktikan bahwa aliran
Syattariyah, yang berkaitan erat dengan Syekh Burhanuddin, telah
berkembang sampai ke pedalaman Minang, di Nagari Andaleh, yaitu
Marabukit, yang ada di kaki Bukit Marapalam.
Sungguhpun begitu, Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak
Canduang, penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”, di akhir tahun
1966, di Pekan Kamis, Candung, dan menuliskan dalam makalahnya “Piagam
sumpah satie Bukik Marapalam”, bahwa peristiwa sumpah satie itu telah
terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum gerakan Paderi
berkembang di alam Minangkabau.
SARI PATI SUMPAH SATIE BUKIT MARAPALAM (MENURUT CATATAN INYIAK CANDUANG)
Agama Islam mula-mula datang ke Minangkabau dengan melalui daerah
Pesisir (rantau), disambut dengan tangan terbuka oleh Penghulu-Penghulu
dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo.
Sesudah Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah perselisihan
antara Kaum Adat dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari
pamaianan kaum adat yang tidak disetujui oleh Alim Ulama seperti
basalung barabab, manyabung, bajudi, badusun bagalanggang, basorak
basorai dan lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan oleh agama tidak
dapat dibenarkan menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.
Untuk memelihara persatuan dalam nagari, diusahakan oleh orang
pandai-pandai dan terkemuka mencari air nan janih sayak nan landai guna
terwujudnya perdamaian antara Penghulu dan Alim Ulama. Nan di atas ke
bawah-bawah nan di bawah ke atas-atas, masing-masing surut salangkah.
Kaum adat meninggalkan pamainan yang bertentangan dengan agama seperti
manyabung, berjudi dan sebagainya.
Dan Alim Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak berlawanan
dengan agama seperti melarang perkawinan sepasukuan dan lain-lain,
sehingga dapatlah kata sepakat: “Bulat boleh digolongkan picak boleh
dilayangkan”.
Buat mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu, diadakanlah pertemuan
besar di atas Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung Sungayang) yang
dihadiri oleh Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta orang-orang
terkemuka dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Dibantai kerbau, dagingnya
dilapah darahnya dikacau, tanduk ditanamkan, ditapung batu dilicak
pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan doa selamat. Dalam
pertemuan besar itulah diikrarkan bersama-sama dan menjunjung tinggi
kebulatan yang telah dibuat oleh orang-orang pandai dan para terkemuka,
yaitu:
1. Penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh manggantung tinggi.
2. Alim Ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo di Panghulu.
2. Alim Ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar tempat batanyo di Panghulu.
Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan.
Di sinan ditanamlah Rajo Adat di Buo dan Rajo ibadat di Sumpur Kudus.
Dikarang sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.”
Dikarang sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan biso kewi di atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah dilarik kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.”
Di sinan ditetapkan pepatah adat nan berbunyi: “Adat bapaneh syarak
balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh dan syarak adalah jiwa di Alam
Minangkabau”. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak mangato adat
mamakai”.
Itulah sari pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan kita terima
turun temurun sampai kini. Dan hambo terima dahulunya dari tiga orang
tuo, yaitu:
1. Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2. Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3. Angku Candung nan Tuo.
1. Tuangku Lareh Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2. Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3. Angku Candung nan Tuo.
Bukti-bukti yang bersua dalam pelaksanaan, yang bahasa Penghulu
memerintahkan menjalankan fatwa Ulama seperti berzakat, berpuasa,
bersunat rasul dan sebagainya, yang sulit dapat dikerjakan kalau tidak
diiringi fatwa Ulama itu dengan perintah Penghulu sebagai rajo dalam
nagari.
Pada akhir abad ke-sembilan belas dan lai hambo dapati bahwa sesuatu
perkara yang terjadi dalam nagari dihukum oleh Penghulu. Sebelum
Penghulu menjatuhkan hukuman malamnya mendatangi Ulama yang dinamakan
waktu itu dengan “Bamuti” (mungkin asalnya bermufti) untuk minta nasihat
dan bermusyawarah tentang hukum yang akan dijatuhkan (waktu itu tempat
“bamuti” adalah Angku Candung nan basurau di Baruhbalai). Dan begitu
juga ditiap nagari di Minangkabau sampai ada peraturan baru oleh Belanda
yang perkara diadili oleh Tuangku Lareh, kemudian Magistraad dan
kemudian sekali Landraad.
Kaum penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan adat dan agama.
Maka diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan menjauhi
Alim Ulama.
Tambo-tambo adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi
sebenarnya untuk dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya,
termasuk sejarah Bukit Marapalam ini.
Demikianlah hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak cucu hambo
kemudian hari di Candung khususnya dan di Minangkabau umumnya, karena
sudah terdengar orang-orang yang hendak mencoba memisahkan antara adat
dan agama di Minangkabau.
Wabilahitaufieq.
Wabilahitaufieq.
Candung, 7 Juni 1964 26 Muharam 1384.
Dto
Syekh Suleiman Ar Rasuly
Dto
Syekh Suleiman Ar Rasuly
MATA RANTAI GERAKAN PEMBARU ABAD 20, di Sumatera Barat
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang
penuh pergolakan sosial dan intelektual. Di awal pulangnya tiga ulama
Minangkabau selepas menuntut ilmu di Mekah, yang membawa modernisasi
Islam ajaran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani dari Mesir, yaitu
Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek (1860-1947), M. Thaib Umar
(1874-1920), Abdullah Ahmad (1878-1933).
Gerakan ini tidak hanya dimotivasi oleh gerakan pembaruan yang sudah
berkembang di Mesir dan beberapa Negara Arab, tapi juga oleh dorongan
rivalitas terhadap golongan berpendidikan Barat yang secara material dan
sosial terlihat lebih bergengsi. Tahapan kemajuan pemikiran di Ranah
Minang, dalam menerapkan syarak (agama Islam) di tengah kehidupan
masyarakat adat Minangkabau, pertanda tumbuhnya kemerdekaan berfikir di
kalangan para intelektual, ulama zuama seperti Hadji Agus Salim
(1884-1954), seiring muncul “liberal age” , yang mengarus masuk ke
Indonesia, dan juga ke ranah Minangkabau.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam
yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.
Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, dalam bentuk
mendirikan sekolah dan madrasah-madrasah, juga kerajinan di nagari,
mulai bermunculan. Kaum pembaru berusaha mengembalikan ajaran dasar
agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang
kemudian dalam agama, dengan melepaskan penganut Islam dari belenggu
jumud dan kebekuan di dalam masalah dunia.
Mereka berusaha memecah tembok tambahan dan jumud itu, agar dapat
menemukan isi dan inti ajaran Islam sesungguhnya, dengan keyakinan
menjadi cahaya menyinari alam ini. Kaum pembaru berkeyakinan bahwa bab
al-ijtihad, masih tetap terbuka, dan mereka menolak taqlid. Ijtihad
membawa kaum pembaru untuk lebih memerhatikan pendapat.
Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan
gagasan yang ideal, menghadapkan Minangkabau pada pilihan yang
kadang-kadang saling bertentangan.
Model barat mungkin baik, tetapi dapat pula berarti ancaman pada dasar
agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang syumul,
memang merupakan pemecahan.
Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau?
Dan, apa pula contoh bimbingan syarak yang bisa diikuti?
Namun parameter adat sangat terbatas dan bias pula menutup jalan ke
dunia maju dan mungkin pula berhadapan dengan masalah dosa dan tidak
berdosa, soal batil dan haq.
PERANAN GURU DAN MURID
Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu
mulai banyak diterbitkan. Berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan
hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam
pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan.
Pengamalan adat sesuai panduan syarak (agama Islam) sangat ramai
dibicarakan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang
banyak menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20
adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855) , turunan dari seorang
hakim gerakan Paderi yang sangat anti penjajahan Belanda.
Ia dilahirkan di Bukittinggi, pada tahun 1855, oleh ibu bernama Limbak
Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras,
Kepala Nagari Ampek Angkek berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara
dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan
IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.
Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang punya
latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua
orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ayah dan ibu Ahmad
Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari, karena sama-sama
memiliki kedudukan terpandang dalam adat, keluarga tuanku laras,
generasi pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecil Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang
didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halaman
pergi ke Mekah, tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan
pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah, Siti
Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi.
Sejak itu, Ahmad Khatib mulai mengajar di kediamannya, di Mekah, dan
tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Ahmad Khatib, mencapai derajat
kedudukan tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab
Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia
tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh,
seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.
Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di
Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat
Naqsyabandiyah yang banyak dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu
terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan
syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy, dilanjutkan
oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan
muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar
pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera
Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau,
sehingga menjadi pergerakan yang ikut memelopori upaya merebut
kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih
mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah termasuk kafir dan akan masuk
neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris
kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai
harta rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu
pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau.
Di pihak lain perlawanan terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari
kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya
mengenai tarekat, ditantang oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari
Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang, dengan menerbitkan beberapa
tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan, telah menumbuhkan
kesadaran banyak orang Minangkabau untuk memahami, bahwa tidak dapat
disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.
Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian
Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran
itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak
menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah
melahirkan hasrat lebih berkembang, menghidupkan kesadaran pengenalan
diri, dan kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari
Mekah melalui tulisan-tulisan di majalah dan buku-buku agama Islam, dan
melalui murid-murid yang belajar kepadanya. Dengan begitu, beliau
pelihara hubungan dengan Minangkabau. Murid-muridnya yang menunaikan
ibadah haji, dan yang belajar padanya di Mekah, disuruhnya pulang dan
menjadi guru di daerah asalnya masing-masing. Murid-muridnya menjadi
penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh
Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah atau
Inyik Rasul (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .
Murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam
bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu
pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, tetap
melahirkan pembaruan pemikiran dengan bimbingan agama, untuk memperbaiki
pola penghidupan umatnya. Cita-cita kemajuan ditemukan dalam agama
Islam.
Cara berpikir seorang Muslim bertolak dari keyakinan, bahwa Islam tidak
memusuhi kebudayaan. Akan tetapi budaya yang dipakai memajukan cara
berpikir, bagaimana menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Di dalam
Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan,
hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan Ahmad Khatib dalam
memberikan pelajaran, selalu menghindari sikap taqlid.
MERENTANG NUSANTARA DAN TANAH SEMENANJUNG
Seorang pembaru lainnya adalah Syekh Taher Djalaluddin (1869-1956), pada
masa mudanya dipanggil Muhammad Taher bin Syekh Muhamad, lahir di Ampek
Angkek, Bukittinggi, tahun 1869, anak dari Syekh Cangking, cucu dari
Faqih Saghir yang bergelar Syekh Djalaluddin Ahmad Tuanku Sami’, pelopor
kembali ke ajaran syariat bersama Tuanku Nan Tuo. Syekh Taher
Djalaluddin adalah saudara sepupu dari Ahmad Khatib Al Minangkabawy,
karena ibunya adik beradik, penerus generasi terakhir keluarga Paderi.
Syekh Taher Djalaluddin, berangkat ke Mekah 1880, dan menuntut ilmu
selama 15 tahun, kemudian meneruskan ke Al Azhar, di Mesir (1895-1898),
dan kembali ke Mekah mengajar sampai tahun 1900. Beliau ahli di bidang
ilmu falak. Mulai tahun 1900, Syekh Taher Djalaluddin menetap di Malaya,
dan diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak. Eratnya hubungan Syekh Taher
Djalaluddin dengan Al-Azhar di Kairo, maka dia menambahkan al-Azhari di
belakang namanya.
Syekh Taher Djalaluddin terbilang seorang tertua dan pelopor ajaran
Ahmad Khatib di Minangkabau dan di tanah Melayu. Dia juga adalah guru
kalangan pembaru Minangkabau. Pengaruhnya tersebar pada murid-muridnya
melalui majalah Al-Imam dan melalui sekolah yang didirikannya di
Singapura bersama Raja Ali Haji bin Ahmad pada tahun 1908. Sekolah yang
bernama Al-Iqbal al-Islamiyah, menjadi model Sekolah Adabiyah yang
didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1908.
Majalah Bulanan Al-Imam memuat artikel tentang pengetahuan popular,
komentar penting terutama dunia Islam, dan masalah-masalah agama, bahkan
mendorong umat Islam berfikir betapa penting memiliki sebuah Negara
yang merdeka, dan tidak dijajah. Majalah ini menyeru umat Islam mencapai
kemajuan dan berkompetisi dengan dunia barat. Al-Iman sering mengutip
pendapat dari Mohammad Abduh yang dikemukakan majalah Al-Mannar di
Mesir.
Majalah ini memakai bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu atau
tulisan Jawi, dan tersebar di Nusantara, meliputi tanah Jawa, Betawi,
Jakarta, Cianjur, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Pontianak dan Sambas,
Sulawesi (di Makassar). Di Padang, Haji Abdullah Ahmad meniru bentuk dan
moto Al-Iman pada majalah yang diterbitkannya di Padang bernama
Al-Munir. Banyak artikel Al-Iman mendapat tempat pada Al-Munir.
Syekh Taher baru dapat pulang ke Minangkabau pada tahun 1923 dan tahun
1927. Ketika itu dia ditangkap dan ditahan oleh Pemerintah Belanda
selama enam bulan, terkait artikel-artikelnya di dalam majalah Al Iman
itu.
Setelah bebas Syekh Taher meninggalkan kampung halamannya dan tidak
pernah kembali lagi ke daerah asalnya, sampai meninggal dunia pada tahun
1956 di Kuala Kangsar, Perak, Malaya.
Pemikiran para pembaru telah memacu dinamika masyarakat adat dan agama
di di Minangkabau yang tengah berubah. Lahirnya keinginan baru untuk
melakukan proses pemeriksaan kembali nilai-nilai kultur yang dipunyai.
Ketika arah perobahan sosial terjadi, setelah berakhirnya penindasan
panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai
Nippon, maka merebut kemerdekaan Indonesia menjadi wajib.
Fatwa para ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran
Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat, dengan basis ilmu
pengetahuan agama dan adat istiadat. Bahasan-bahasan dan suasana
pergulatan politik merebut kemerdekaaan, telah menyumbang pencarian
model yang sesuai dengan agama yang haq, dan menuntut sikap lebih
rasional dalam menumbuh semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan
bernegara.
Gerakan pembaruan ulama zuama di awal abad ke 20 di tanah Melayu dan
ranah Minangkabau ini, semakin marak dengan eratnya hubungan guru dan
murid, antara Ahmad Khatib Al Minangkabawi dengan murid-muridnya.
Hubungan tersebut ikut memberikan sumbangan bagi pemahaman dan
pengamalan syari’at Islam, serta memunculkan perdebatan-perdebatan umum
yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut
pula membuka pintu lahirnya berbagai jenis perkumpulan memperdalam ilmu
agama dan adat istiadat. Bertumbuhnya pendidikan Islam,
madrasah-madrasah sampai ke nagari-nagari, oleh berjenis organisasi
pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan
bahkan meluas sampai ke semenanjung Malaya, adalah bentuk pencerahan
lain yang berjalin berkelindan karena adanya mata rantai gerakan Paderi,
satu setangah abad sebelumnya.
KEKUATAN TABLIGH DAN PENDIDIKAN
Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah adalah satu dari
tiga ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat di awal abad
ke-20, dilahirkan di Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak
terkemuka. Nama Syekh Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan
sebutan Inyik Syekh Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek,
dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan
penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari
Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Muhammad Djamil mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang
khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru (Kweekschool).
Ketika berusia 22 tahun, Mohammad Djamil mulai tertarik pada pelajaran
agama dan bahasa Arab. Ia belajar pada surau di Koto Mambang, Pariaman
dan di Batipuh Baruh. Ayahnya membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan
bermukim di sana selama 9 tahun. Guru-gurunya di Mekah, adalah Taher
Djalaluddin, Syekh Bafaddhal, Syekh Serawak dan Syekh Ahmad Khatib.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib el Minangkabau.
Dia berguru kepada Syekh Taher Djalaluddin tentang ilmu falak, sehingga
menjadi bidang spesialisasi beliau. Keahliannya di bidang ilmu falak
mendapat pengakuan luas sejak dari Mekah, karenanya dia bergelar Syekh
Muhammad Djamil Djambek al Falaky. Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah
air. Hatinya lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun
tidak melalui lembaga atau organisasi.
Dia tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Kemudian ia
mendekati teman-temannya yang masih dalam kehidupan parewa di Kamang,
sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah Tuanku nan Renceh pada abad
ke-19. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau
Tengah Sawah dan Surau Kamang, dan mulai menyebarkan pengetahuan agama
untuk meningkatkan iman.
Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak nagari
tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena kurang
keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka kurang
tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang masih
gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan membicarakan
berbagai masalah masyarakat. Perhatiannya lebih banyak ditujukan untuk
meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik
mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan
orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia
bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada
tahun 1908 didirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari agama
yang dikenal dengan nama Surau Inyiak Djambek di Tengah Sawah,
Bukttinggi. Surau ini menjadi tempat pertemuan bagi
organisasi-organisasi Islam.
Gerakan tabligh yang dilakukan telah mampu memberikan warna baru di
bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Umpamanya, Barzanji (rawi)
atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang
menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu. Demikian
pula kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj Nabi Muhammad dari kitab
berbahasa Arab, digantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa
tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan
masyarakat. Semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa
saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih
bergiat di aktivitas tablig dan ceramah, yang kemudian diikuti oleh para
pembaru lainnya di ranah Minangkabau.
Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam juga berarti
kemajuan, agama Islam tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan,
perkembangan kehidupan dunia, dan menghormati kedudukan perempuan. Islam
adalah agama universal, yang dasar ajarannya telah diungkapkan oleh
para nabi, yang diutus kepada semua bangsa (QS. 10;47;2: 164; 35:24;
40:78). Tugas mereka diselesaikan oleh Nabi Muhammad saw, rasul utusan
terakhir untuk seluruh umat manusia.
Bersama sesama murid dari Ahmad Khatib, di antaranya H.Abdullah Ahmad,
mulai pula melakukan gerakan pembaruan melalui jalur pendidikan dengan
mendirikan sekolah dan madrasah, seperti Sumatera Thawalib di
Padangpanjang, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan
Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI), di Jati, Padang Melalui gerakan jalur pendidikan ini,
dimulai gerakan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong para muridnya
untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa
guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang
membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak
semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi
pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu.
MENGHAPUS KHURAFAT DAN BID’AH
Cita-cita pikiran untuk memajukan umat dengan agama Islam, hanya dapat
dicapai melalui pengamalan syariat, mencakupi tauhid dan ibadat. Dalam
ibadah, semuanya terlarang, kecuali yang disuruh. Jadi cara-cara
beribadah telah diperintah Allah. Tradisi-tradisi yang tidak ada
perintahnya, tidak dapat diterima sebagai ibadah, dan disebut bid’ah.
Dalam kegiatan pemurnian agama, kaum pembaru menentang berbagai bid’ah
yang bertalian dengan hukum (syar’iyah), maupun niat pengamalan yang
tidak karena Allah. Bid’ah syar’iyah tidak dapat dibiarkan berlaku.
Perlu diteliti dalam segala hal, apakah yang lazim dilakukan sehari-hari
sesuai bimbingan syarak (agama Islam). Dengan menggunakan akal dan
berpegang kepada tiang hukum Quran dan Sunnah umat dibimbing kearah
kemajuan.
Di samping itu mulai dibicarakan bagaimana mempelajari bahasa,
mendirikan sekolah-sekolah agama, pembangunan menara, semuanya dipandang
sebagai alat bantu yang disesuaikan dengan zaman untuk memenuhui
perintah nabi, seperti ‘carilah ilmu’.
Islam pada masa kemajuan tidak harus berkembang sejajar dengan
perkembangan inteletual, sebab ada hal yang dilarang dan disuruh, dalam
batas halal dan haram, serta amat ma’ruf dan nahyun ‘anil munkar,
sebagai sifat asli dari agama Islam.
Agama juga mengatur hal yang bersangkutan dengan dunia. Masalah ini ada
yang mengandung ciri ‘ubudiyah, dalam arti berdasarkan perintah dan
bagian dari din Allah, sedangkan cara mengamalkannya bersifat duniawi.
Umpamanya perintah memelihara anak yatim, menghormati orang tua,
membersihkan gigi, yang pelaksanaannya sebagian besar terletak pada
pilihan individu, dan mengiautkan persaudaraan atau ukhuwah Islamiyah.
Sudah mulai agak janggal pula kedengarannya bila menyebut kata-kata ini
yang sudah begitu lama dikunyah-kunyah, tetapi masih sedikit sekali
berjumpa pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kehidupan modern dengan alat-alat penghubungnya yang serba lengkap,
automobil, kereta api, kapal terbang, telepon, pers, radio, televisi,
semua itu ternyata gagal dalam menghubungkan jiwa dan jiwa, dalam ikatan
persaudaraan yang ikhlas dan hakiki.
Rupanya, soalnya bukan soal alat. Soalnya terletak pada jiwa yang akan
mempergunakan alat penghubung itu sendiri. Secanggih-canggih kamera atau
seaik-baik alat pemotret, niscaya tidak bisa memproduksi gambar
seseorang yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi yang ultra modern yang dapat menyampaikan pesan
kepada satu satelit di luar bumi dengan tekanan suatu knop saja,
alat-alat semacam itu tidak mampu menghubungkan rasa muhibbah itu
sendiri yang tidak ada.
Alat-alat komunikasi sebagai hasil dari teknik modern ini telah dapat
memperpendek jarak sampai sependek-pendeknya. Akan tetapi jarak jiwa dan
rasa manusia tidak bertambah pendek lantarannya. Malah sebaliknya yang
seringkali kita jumpai. Hidup bernafsi-nafsi, siapa lu siapa gua,
semakin merajalela.
Inilah problematika dunia umumnya sekarang ini, di tengah-tengah
kemajuan material dan teknik yang sudah dapat dicapai manusia di abad
ini. Ini juga problematika yang dihadapi manusia Umat Islam khususnya.
MENJALIN UKHUWAH DAN PERSAUDARAAN ISLAM
Persoalan ukhuwwah Islamiyah ini wajib dipecahkan dengan
sungguh-sungguh, kalau benar-benar hendak menegakkan Islam dengan segala
kejumbangannya kembali di negara ini. Bagi Umat Islam soal ini hanya
dapat dipecahkan oleh Umat Islam sendiri, tidak boleh orang lain. Dan
jika tidak dipecahkan, maka yang salah ialah Umat Islam sendiri,
terutama para pemimpinnya, bukan orang lain.
Para pembaru di Sumatera Barat, memilih mengamalkan ilmunya secara
langsung kepada masyarakat Inyik Djambek contohnya, mengajarkan ilmu
tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah
Sawah Bukittinggi, dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai sekarang.
Syekh Muhammad Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu
sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid)
yang dihadiri oleh masyarakat banyak.
Penggerak gerakan pembaruan pemikiran di bidang agama di Sumatra Barat,
adakalanya dinamakan kaum modernist atau disebut juga kaum muda yang
banyak mendorong penggunaan akal sebagai kurnia Allah, kecuali
menyangkut halal haram menurut agama. Tidak saja masalah fikh, tetapi
juga masalah tauhid harus dihadapi dengan pikiran yang terbuka.
Perbedaan yang fundamental antara inovasi yang menyalahi hukum hakiki,
yang bersumber Quran dan Hadits, dan pembaruan sebagai akibat dari
peralihan zaman, harus dibedakan dengan tegas.
Salah seorang di antara kaum pembaru itu adalah H.Abdullah Ahmad yang
berkali-kali berkata, bahwa jika kepercayaan hanya merupakan penerimaan
atas wibawa guru semata, maka hal itu akan membawa kepada taqlid, dan
kepercayaan seperti itu tidak ada gunanya. Orang berakal harus pujaannya
Allah dan untuk itu dipelajarinya akar-akar hukum (ushul al-fiqh).
Untuk mengenalkan semua inti ajaran agama Islam ini kepada masyarakat
luas diperlukan gerakan penyampaian berbentuk tabligh. Seperti dilakukan
Inyik Djambek yang memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada
masyarakat, dan mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan
cara bertabligh, di Surau dan menjadi Surau Inyik Djambek, sampai
sekarang. Dan juga pendalaman ilmu agama Islam serta pemurnian
pengamalannya, yang dilakukan pula oleh Abdullah Ahmad dan Inyik H.
Rasul di Surau Djembatan Besi di Padangpanjang, yang kemudian melahirkan
Madrasah Sumatera Thawalib Padangpanjang itru.
Para pembaru itu berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya
disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang
dihadiri oleh masyarakat banyak, dan dengan demikian dapat pula mengikat
tali pergaulan atau ukhuwwah Islamiyah secara luas.
Menegakkan dan menyuburkan Ukhuwwah Islamiyah tidaklah sangat bergantung
kepada alat-alat modern, tidak pula kepada harta bertimbun-timbun.
Malah di kalangan kaum yang hidup sederhana itulah kita banyak berjumpa
“suasana ukhuwwah” lebih dari kalangan yang serba cukup dan mewah.
Dimulai dari surau.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangan terhadap tarekat mulai
berubah. Di awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna
membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang
Panjang.
Syekh Muhammad dan teman-temannya seperguruan di Mekah, berada di pihak
yang menentang tarekat. Dia menulis buku mengenai kritik terhadap
tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu
al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas
dua jilid, yang menjelaskan bahwa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan
oleh orang dari Persia dan India, yang penuh tahayul khurafat, dan
semakin lama, makin menjauh dari ajaran Islam. Buku lain yang ditulisnya
berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya
mewujudkan pembaruan pemikiran Islam.
Sungguhpun tarekat masih banyak diminati oleh orang Minangkabau, namun
secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat
Minangkabau. Ukhuwwah dan persaudaraan dalam Islam mesti dijaga dan
dihidup tumbuhkan terus menerus, melalui gerakan atau juga organisasi
yang bergerak terus menerus berkesinambungan.
Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah Bukittinggi yang berdiri tahun 1908,
menjadi tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam, dan terkenal
sebagai surau yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka
umum, dengan menggunakan bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh
lapisan masyarakat. Termasuk tradisi membaca kitab, dalam membahas
masalah kehidupan sehari-hari, dengan satu tradisi ilmu. Semua itu
dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat
memahaminya, dan kegiatan seperti ini diikuti oleh para pembaru lainnya
di ranah Minangkabau.
Melalui gerakan bersurau ini, para ulama pembaru menekankan pentingnya
penjalinan ukhuwah Islamiyah, sebagai satu kekuatan di dalam batang
tubuh masyarakat. Kalau ukhuwwah Islamiyah belum kunjung tercipta juga,
itu tandanya pekerjaan kita belum selesai. Dan kalau usaha-usaha selama
ini belum berhasil dengan memuaskan, itu tandanya masih ada yang
ketinggalan, belum dikerjakan.
Ukhuwwah dan persaudaraan Islam mesti diciptakan melalui sarana tabligh
dengan anjuran-anjuran lisan dan tulisan, supaya ukhuwwah Islamiyah itu
hidup subur dikalangan Umat Islam, dan umat mesti kuat dan tegak.
Penerbitan majalah-majalah, buku-buku pelajaran dan surat-surat kabar,
menjadi alat yang ampuh dalam membentuk persaudaraan di tengah umat.
Beberapa usaha penerbitan mulai bermunculan. Pada tahun 1913, berdiri
organisasi bersifat sosial di Bukittinggi, dipelopori oleh Inyik
Djambek, dengan nama Tsamaratul Ichwan yang menerbitkan buku-buku kecil
dan brosur tentang pelajaran agama tanpa mencari keuntungan. Beberapa
tahun berikutnya organisasi berkembang menjadi menjadi perusahaan yang
bersifat komersial. Seiring bertumbuhnya Padangpanjang jadi kota
pendidikan, telah mengundang lahirnya beberapa percetakan yang
menerbitkan buku-buku pelajaran agama, di antaranya Drukkerij atau
penerbit Sa’adiyah. Sebenarnya, ketika itu pembaruan telah membentuk
gerakan sosial masyarakat guna meraih kemajuan bangsa dan negara,
melalui tradisi ilmu di Minangkabau, Sumatera Barat.
Tahun 1929, Inyik Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan
Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan
mencintai adat istiadat, serta untuk memelihara dan mengusahakan agar
adat dan agama Islam menyatu, serta terhindar dari bahaya yang dapat
merusaknya.
Satu hal yang fenomenal, dia dan teman-temannya para pembaru, turut
menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam
Minangkabau di tahun 1939. Rupanya soal ukhuwwah dan persaudaraan ini
soal hati, yang hanya dapat dipanggil dengan hati pula. Sedangkan yang
sudah terpanggil sampai saat sekarang barulah telinga dan dengan kata.
Oleh karena, pihak pemanggil yang bisa berbicara barulah lidah dan
penanya, belum lagi hati dan jiwanya. Karena itu, pengamalannya kurang
tampak menjadi minat orang banyak.
Rupanya dan memang terbukti rahasianya menegakkan ukhuwwah dan pergaulan
Islamiyah terletak dalam sikap langkah dan perbuatan yang kecil-kecil
dalam pergaulan sehari-hari, seperti yang ditekankan benar oleh
Rasulullah SAW dalam membina jamaah dan umat Islam.
Secara substansi, Rasul SAW menyerukan pelajaran dari yang kecil-kecil,
karena secara sosil filosofis masyarakat lebih bergairah menghadapi yang
besar-besar, sehingga yang kecil-kecil terabaikan. Padahal, yang
kecil-kecil itu, menjadi amalan dasar untuk memudahkan menghadapi kerja
besar.
Umpamanya, amalan kecil yang mesti dibiasakan itu, antara lain yang
pertama-tama, tegur sapa, memberi salam, dan menjawab salam, mengunjungi
orang sakit yang sedang menderita, mengantarkan jenazah ke kubur,
memperhatikan kehidupan sejawat, membujuk hati yang masygul, membuka
pintu rezeki bagi mereka yang terpelanting.
Bahkan, membukakan pintu rumah dan pintu hati kepada para dhu’afa, dan
amal-amal kecil yang semacam itu, kecil-kecil tapi keluar dari hati yang
ikhlas dan penuh rasa persaudaraan. Kemudian sampai pula kepada
persoalan yang lebih sensitif sampai di manakah kebebasan yang dimiliki
memilih alternatif? Selama ini, masalah persaudaraan Islam seringkali
dilakukan dengan cara-cara borongan, demonstratif, dengan berteras
keluar, asal kelihatan oleh orang banyak.
Membangun kembali ukhuwwah atau pergaulan dan persaudaraan yang Islami
memerlukan peninjauan dan penilaian kembali akan cara-cara yang sudah
ditempuh sekarang. Persoalan politik dan kemudian menyebarkan
nasionalisme anti kolonial menuju Indonesia Raya tidak terlepas dari
pergolakan intelektual dan penguatan persaudaraan dalam Islam.
Kemudian, tidak kalah penting dalam perjalanan dakwah di masa pendudukan
Jepang, Syekh Djambek dan para pembaru abad 20 ikut mendirikan Majelis
Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi sebagai upaya mengikat umat
dalam satu persaudaraan Islam. Membangun ukhuwah memerlukan daya cipta
dari pada pemimpin yang dapat berijtihad, dan memerlukan para pekerja
lapangan tanpa nama, tanpa mau dikenal khalayak ramai, dan bersedia
meniadakan diri.
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang
tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Suraunya di
Tengah Sawah, Bukittinggi, dalam usia 87 tahun. Beberapa hari kemudian,
yakni 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H), teman berdakwahnya,
yakni Inyik Syekh Daud Rasyidy, atau Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo
Kayo, meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek ini, ketika mengimami
shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping makam Inyik Djambek,
dan sampai kini didapati makam kembar di samping surau Inyik Djambek
ini.
Patah tumbuh hilang berganti. Sesudah para Syekh murid Ahmad Khatib al
Minangkabawy, pergi satu persatu meninggal dunia, tetap lahir generasi
pengganti, menyambung rajutan adat dan syarak di Minangkabau. Mereka
adalah anak-anak ulama besar tersebut. Di antaranya Buya H. Mansyur Daud
Datuk Palimo Kayo (anak Inyik Daud), Sa’aaduddin Djambek (anak Inyik
Djambek), H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka (anak Inyik H.
Rasul), Zainuddin Labbay el Yunusiy (murid dari Inyik Syekh Abbas Padang
Jopang), Fachruddin HS. Datuk Majo Indo (murid dari Inyik H. Agus
Salim), dan lainnya, mereka adalah seorang ulama dan juga ninik mamak,
mata rantai gerakan Paderi.
TOKOH TOKOH PEMBARU di MINANGKABAU PADA ABAD KE 20
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang
penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik,
baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu, diterbitkan berbagai
majalah dan surat kabar yang mewakili aliran-aliran tertentu,
bermunculan perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, para
terpelajar dan ahli-ahli adat, berjenis-jenis perkumpulan berdiri pula.
Tak kurang pentingnya timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa
tempat, yang biasanya membayangkan kegelisahan masyarakat yang sedang
mengalami perubahan.
Pergolakan dalam satu aspek yang sangat sensitif dalam kehidupan
kultural dapat menyebabkan proses pemeriksaan kembali terhadap
nilai-nilai yang kita miliki. Oleh sebab itu di saat kita mengayun
langkah ke arah pembangunan dan perobahan sosial memang sangat penting
mempelajari kembali sejarah dinamika pemikiran Islam dalam pencarian
model yang sesuai dan haq yang menuntut sikap beragama yang rasional.
Pembaruan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta
pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar
Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.
Sementara itu usaha-usaha pembaruan yang praktis, baik dalam bentuk
sekolah dan madrasah-madrasah atau pun kerajinan desa, mulai
bermunculan.
Kaum pembaru pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama
Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan yang datang kemudian
dalam din, agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari jumud,
kebekuan dalam masalah dunia. Mereka berusaha memecahkan tembok tambahan
dan jumud itu, agar dapat menemu kembali isi dan inti ajaran Islam yang
sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat
menyinari alam ini.
SYEKH MUHAMMAD DJAMIL DJAMBEK atau INYIK DJAMBEK (1860 – 1947)
Syekh Muhammad Djamil Djambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari
Sumatra Barat awal abad ke-20, dilahirkan pada tahun 1860 di
Bukittinggi, terkenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh
Muhammad Djamil Djambek lebih dikenal dengan sebutan Inyik Syekh
Muhammad Djamil Djambek atau Inyik Djambek, dilahirkan dari keluarga
bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh
Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari
Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak sumber yang menceritakan. Namun, yang jelas
Syekh Muhammad Djambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah
yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Ayahnya
membawanya ke Mekah pada tahun 1896 dan bermukim di sana selama 9 tahun
lamanya mempelajari soal-soal agama.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula
Syekh Muhammad Djambek tertarik untuk mempelajari ilmu tarekat, tapi dia
disadarkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu
agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif
adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Djambek menjadi seorang ahli
tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat
Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa
guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Djambek dihormati sebagai
Syekh Tarekat. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada
akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Di akhir masa
studinya di Makkah, beliau sempat mengajarkan ilmu falak, yang menjadi
bidang spesialisasi beliau, kepada masyarakat Sumatera dan Jawi yang
bermukim di Mekkah.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh
sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Djambek
pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau
yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan
Tawalib Parabek) serta Syekh Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang
Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan
ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang
ketauhidan dan mengaji dengan cara bertabligh, di Surau Tangah Sawah
Bukittinggi, yang kelak menjadi Surau Inyik Djambek sampai sekarang.
Sekembalinya dari Mekah, Djamil Djambek mulai memberikan pelajaran agama
secara tradisional. Murid-muridnya kebanyakan terdiri dari para kalipah
tarekat. Kemudian ia meninggalkan Bukittinggi dan kembali menjalani
kehidupan parewa di Kamang, sebuah nagari pusat pembaruan Islam di bawah
Tuanku nan Renceh pada abad ke-19.
Djamil Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya
disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah (wirid-wirid) yang
dihadiri oleh masyarakat banyak. Perhatiannya ditujukan untuk
meningkatkan iman seseorang. Ia mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik
mamak dan kalangan guru Kweekschool. Bahkan ia mengadakan dialog dengan
orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya yang populer ialah ia
bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya, sehingga pada
tahun 1918 ia mendirikan pusat kegiatan keagamaan untuk mempelajari
agama yang dikenal dengan nama Surau Inyiak Djambek di Tengah Sawah,
Bukttinggi. Suraunya merupakan tempat pertemuan bagi
organisasi-organisasi Islam .
Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Djambek berpikir melakukan
kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan
pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia
begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga
kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan
Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau tempat mengaji dengan Inyik
Djambek.
Di Kamang pula ia mulai menyebarkan pengetahuan agama untuk meningkatkan
iman. Akhirnya, ia sampai pada pemikiran, bahwa sebagian besar anak
nagari tidak melaksanakan ajaran agama dengan sempurna bukan karena
kurang keimanan dan ketaqwaannya, tetapi karena pengetahuan mereka
kurang tentang ajaran Islam itu sendiri. Ia mengecam masyarakat yang
masih gandrung pada ajaran tarekat. Ia mendekati ninik mamak dan
membicarakan berbagai masalah masyarakat.
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di
Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam, Syekh Muhammad Djambek juga
dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di
muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW,
digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad
dalam bahasa Melayu.
Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi’raj Nabi
Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang
menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti
oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab,
digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya,
semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang
dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di
aktivitas tablig dan ceramah.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai
berubah. Syekh Muhammad Djambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat.
Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas
keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang,
Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan”
dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul
Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala
yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu
penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh
orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Djambek menyebut
orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin
lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat
dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan
tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat
istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Djambek mendirikan
organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk
memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.
Djamil Djambek tidak banyak menulis dalam majalah Al-Munir. Djamil
Djambek mempunyai pengetahuan tentang ilmu falak, yang memungkinkannya
menyusun jadwal waktu sembahyang serta untuk keperluan berpuasa di dalam
bulan Ramadhan. Jadwal ini diterbitkan tiap tahun atas namanya mulai
tahun 1911, dan karena Inyik Djambek dikenal sebagai Bapak Ilmu Falak,
beliau menerbitkan Natijah Durriyyah untuk masa 100 tahun. Walaupun
masalah ini sangat dipertikaikan dengan kaum tradisionalis.
Di samping kegiatan Inyik Djambek mengajar dan menulis, beliaupun aktif
dalam kegiatan organisasi masyarakat. Pada tahun 1913, ia mendirikan
organisasi bersifat sosial di Bukittinggi yang bernama Tsamaratul Ichwan
yang menerbitkan buku-buku kecil dan brosur tentang pelajaran agama
tanpa mencari keuntungan. Beberapa tahun ia bergerak di dalam organisasi
ini sampai menjadi perusahaan yang bersifat komersial. Ketika itu, ia
tidak turut lagi dalam perusahaan itu.
Syekh Djamil Djambek secara formal tidak mengikat dirinya pada suatu
organisasi tertentu, seperti Muhammadiyah dan Thawalib. Tetapi ia
memberikan dorongan pada pembaruan pemikiran Islam dengan membantu
organisasi-organisi tersebut.
Beliau tercatat sebagai pendiri dari Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), yang didirikan pada 1919 di Padang, Sumbar.
Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar
dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri
kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun
1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa
pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Djambek mendirikan Majelis Islam
Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.
Pada 30 Desember 1947 (18 Shafar 1366 H), Inyik Djambek wafat,
meninggalkan pusaka besar, wirid tsulasa (setiap hari Selasa), yang
tetap hidup sampai sekarang. Beliau di makamkan di samping Surau Inyik
Djambek di Tengah Sawah Bukittinggi, dalam usia 87 tahun.
Beberapa bulan setelah itu, 26 Januari 1948 (14 Rabi’ul awal 1366 H),
teman akrab Inyik Djambek dalam berdakwah, yakni Inyik Syekh Daud
Rasyidy (terkenal dengan sebutan Inyik Daud, ayah Buya Datuk Palimo
Kayo), meninggal dunia pula di Surau Inyik Djambek di Tangah Sawah ini,
ketika mengimami shalat maghrib, dan besoknya dikuburkan di samping
makamnya Inyik Djambek. Itulah sebabnya sampai sekarang ini, kita dapati
makam kembar di samping surau Inyik Djambek ini.
HAJI ABDUL KARIM AMARULLAH atau INYIK De-Er (dr) bergelar INYIK RASUL
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji Rasul. Haji
Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak seorang
ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat
pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia
pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia
diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya.
Kemudian ia kembali ke Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906.
Selama bermukim kedua di Mekah ini, ia mulai memberi pelajaran.
Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, Bukittinggi yang
kemudian menjadi salah seorang pendukung yang terpenting dari pembaruan
pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni
1945
Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang Maninjau, kemudian
mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat
keras, yang ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak
disetujuinya sampai soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju
kebaya dan terbukanya rambut seorang perempuan di hadapan bukan
muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1907, ia melarang
diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada anggota keluarganya.
Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak yang
membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil
Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar
Minangakabau.
Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah Minangkabau. Pada tahun
1915, ia bepergian ke Malaya dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak
disenangi oleh Sultan-Sultan serta guru agama di Malaya, karena
keterikatan guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di
Jawa, ia berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan
Muhamma-diyah.
Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di
Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada
tahun 1925. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib
yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai
politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan Guru
Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan
Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931.
Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan
menyerang ‘’Ordonansi Guru’’ pada tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah
Liar ‘ tahun 1932.
Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah
di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya. Pada
tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan
alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat
tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji Rasul
meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1945.
HAJI ABDULLAH AHMAD (1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak
dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang
kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama
di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah
dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899.
Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang.
Tindakannya yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan
tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui
publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan,
seperti Al-Imam di Singapuran dan Al-Ittihad dari Cairo.
Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan
pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Dio Padang, ia mengadakan
tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan
mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah
ini hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia
memberikan ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua
kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah.
Kenyataannya tidak semua anak-anak pedagang di Padang mendapat
pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad
membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang
ini setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura.
Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia menjadi ketua
persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang
erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan Sekolah
Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen
Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn
1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi
redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang
diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak
dengan tulisan Arab Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar
Said Cokroaminoto.
Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui ulama-ulama
Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun 1926.
Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang
agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di
Padang pada tahun 1933.
SYEKH IBRAHIM MOESA atau INYIK PARABEK (1882 – 19.. )
Dua orang di antara murid bekas ulama-ulama tersebut kemudian menjadi
pelopor pembaruan pemikiran Islam pula. Di antaranya Syekh Ibrahim Musa
dan Zainuddin Labai al-Yunusi. Mereka menyebarkan peranannya dalam
mendirikan lembaga pendidikan Islam yang bersifat modern.
Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat
ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke
Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian
ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun
1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak
Parabek sebagai pengakuan tentang agama.
Syekh Ibrahim Musa tetap diterima oleh golongan tradisi, walaupun ia
membantu gerakan pembaruan. Ia menjadi anggota dua organisasi Kaum Muda
dan kaum Tua, yaitu Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) dan Ittihadul
Ulama.
ZAINUDDIN LABAI EL YUNUSY (1890- 1934)
Zainuddin Labai adalah seorang auto-didact, yang mempelajari ilmu dan
agama dengan tenaga sendiri. Ia tidak pernah menamatkan pelajaran pada
sekolah formal. Pengetahuannya banyak diperolehnya dengan membaca
sendiri dan kemampuannya dalam bahasa-bahasa Ingegeri, Belanda dan Arab
sangat membantunya. Koleksi bukunya meliputi buku-buku bermacam bidang
seperti aljabar, ilmu bumi, kimia dan agama.
Enam tahun lamanya ia membantu Syekh Haji Abbas, seorang ulama di Padang
Japang, Payakumbuh dalam bidang kegiatan praktis. Dalam tahun 1913,
Zainuddin memilih Padang Panjang sebagai tempat tinggalnya. Ia memulai
mengajar di Surau Jembatan Besi, bersama Rasul dan Haji Abdullah Ahmad.
Zainuddin Labai banyak menulis artikel dalam majalah Al-Munir. Ia lebih
tertarik pada kehidupan dan kegiatan tokoh kebangsaan seperti Mustafa
Kamil, pendiri partai Hizb al Wathan di Mesir, Muhammad Abduh dan Rashid
Redha yang lebih banyak memperhatikan sal-soal agama. Zainuddin Labai
termasuk seorang yang mula-mula mempergunakan sistem kelas dengan
kurikulum teratur yang mencakup pengetahun umum seperti bahasa,
matematika, sejarah, ilmu bumi di samping pelajaran agama. Ia pun
mengorganisir sebuah klub musik untuk murid-muridnya, yang pada saat itu
kurang diminati oleh kalangan kaum agama.
Ia seorang yang produktif dalam menulis buku teks tentang fikh dan
tatabahasa Arab untuk sekolahnya. Terjemahan Autobiografi Mustafa Kamil
diterbitkannya dalam bentuk serial artikel pada majalah Al-Munir di
Padang Panjang. Zainuddin Labai adalah seorang termuda di antara tokoh
pembaru pemikiran Islam di Minangkabau dan mempunyai harapan besar untuk
perkembangan selanjutnya. Ia termasuk seorang anggota pengurus Thawalib
dan mendirikan pula perkumpulan Diniyah pada tahun 1922 dengan tujuan
bersama-sama membina kemajuan sekolah itu.
Rupanya Allah cepat memanggilnya,. Ia meninggal pada tahun 1934 dan
kegiatannya dilanjutkan oleh adiknya yang bernama Rahmah al Yunusiyah,
sebagai salah seorang pendidik kaum wanita di Minangkabau.
LEMBAGA ORGANISASI ULAMA ZUAMA KAUM PEMBAHARU
Tanggal 19 Agustus 1928, dihadiri lebih kurang 800 orang ulama dan wakil
115 organisasi. Rapat ini terjadi karena mereka risau benar-benar,
bahwa kemerdekaan beragama yang telah tertanam dalam hati nuraninya akan
terganggu oleh peraturan Pemerintah Belanda. Aapalagi mereka berhadapan
dengan wakil pemerintah yang mempunyai jabatan tinggi.
Pada umumnya para pembicara mengemukakan pendapat disertai kata-kata
kasar terhadap maksud pemerintah Belanda untuk memberlakukan peraturan
di daerah mereka
SYEKH ADAM BB (1889 1953)
PENDEKAR yang Jadi Ulama
PENDEKAR yang Jadi Ulama
Syekh Adam BB, atas izin Allah, menghirup udara dunia 1889 di Nagari
Balai balai Padangpanjang. Tanggal dan bulan kelahirannya persis sama
dengan kelahiran Wihelmina, ratu Negeri Belanda yang tiap ulang tahunnya
dirayakan dengan pesta rakyat di tanah jaja¬han Hindia Belanda.
Selesai sekolah desa, Adam masuk Gouvernement dan lulus dengan angka
angka tinggi. Bagi Adam muda, itu saja cukuplah. Anak ke¬luarga
terpandang ini kemudian memilih mendalami silat. Dasar dasar ilmu bela
diri tradisional itu memang sangat diminatinya sejak kecil ketika di
surau, di mana dulu ia tidur, belajar membaca al Quran dan ilmu agama.
Adam sebenarnya memperoleh kesempatan pendidikan lebih tinggi daripada
kebanyakan bumiputera. Karena dialah putra Sami’un Datuk Bagindo,
penghulu pucuk yang disegani dan pemutus kata pada tiap perundingan
ninik mamak. Tapi Adam menampik masuk Sekolah Raja Bukittinggi. Tidak
jelas benar alasannya. Yang terucap pada ayahnya hanyalah: “Saya takkan
masuk Sekolah Raja, saya tak suka pakai pentalon.”
Sepanjang sepuluh tahun masa belianya, hingga usia menjelang 25 tahun,
Adam berguru pada puluhan pandeka kenamaan dari berbagai aliran dan
sasaran silat. Itulah pilihan jiwa muda dan jati dirinya. Dan puncaknya,
Adam mematahkan perlawanan harimau dalam suatu perkelahian mencekam di
tepi bukit kawasan Agam.
Sejak itu tampillah Adam yang bertubuh tinggi kekar sebagai parewa
gadang. Tempramennnya tinggi. Wataknya keras dan pantang kelangkahan.
Pemuda yang sehari hari berbaju gunting cina “cap kelapa” serta sarung
melilit bahu ini mencuat sebagai rajo cakak. Kegemarannya main sepakbola
dan musik.
MANDOR ORANG RANTAI
Setelah merasa dewasa, ia pergi mencari untung ke Sawahlunto. Di sana ia
langsung diterima bekerja di Tambang Batubara sebagai mandor “orang
rantai” sebutan untuk buruh tambang yang ditang¬kap kembali setelah
melarikan diri. Beberapa bulan bekerja di tambang, Adam pulang membawa
segepok uang untuk diserahkan pada ibunda tercinta. “Bukan ini yang
kuharapkan darimu!,” sergah sang ibu sambil mencampakkan uang pemberian
anaknya.
Inilah anti klimaks keparewaan seorang Adam. Sebuah kenyataan yang
memaksanya mengartikan kembali perjalanan hidupnya. Bahwa menjadi orang
bagak dan bapitih bukanlah segalanya; tidak suatu kebanggaan bagi ibu,
orangtua dan masyarakat pribumi yang menger¬ti pahitnya hidup dijajah.
Kesadaran ini mencuat kembali dalam diri Adam. Masa kecil di surau;
mengaji dan belajar silat agar menjadi orang pandai dan berilmu adalah
untuk melawan kemungkaran, membela kebenaran, orang lemah dan tertindas.
Ini merupakan kesadaran kolektif masyarakat di mana Adam hidup dan
dibesarkan. Kesadaran itulah yang membuat hardikan ibunya menjadi cambuk
yang menyebabkan Adam luluh.
KEMBALI KE SURAU
Tapi perasaannya tak menentu. Ia pergi meninggalkan Padangpan¬jang.
Semula ia tetap bermaksud ke Sawahlunto untuk bekerja lagi. Hatinya
berontak, tapi hardikan ibunya terngiang ngiang mengirin¬gi langkah
gontainya menyusuri danau Singkarak. Penat berjalan, Adam terduduk di
surau kecil tepi danau di kam¬pung Sumpur. Di surau itu seorang anak
surau sedang membaca kitab. “Kenapa tulisan Arab tak berbaris itu bisa
kau baca?, Adam ber¬tanya. “Itulah gunanya mengaji,” jawab anak itu
lugas.
Adam tercenung. Lalu berlari, kembali ke Padangpanjang. Ia ingin mengaji
lagi, di Surau Jembatan Besi, surau yang merupakan basis ulama
Minangkabau awal abad ke 20. Adam diterima menjadi murid Syekh Abdul
Karim Amrullah.
Murid tertua dan bertubuh paling gedang ini sering jadi bahan cemooh
teman temannya. Inyiak Rasul, panggilan populer Syekh Abdul Karim
Amrullah, juga tak kasih ampun. Bila Adam tak cepat menangkap kaji ia
didamprat: “Segaek ini lambat juga mengerti….” Adam terlecut. ‘Jangan
panggil aku Adam kalau tak dapat kaji,’ tekadnya. Dan memang, lepas
mengaji di Surau Jemba¬tan Besi, Adam berguru pada Inyiak Daud. Syekh
Daud Rasjidi baru saja pulang dari Mekah dan membuka surau di
kampungnya, Balingka.
Tapi tabiat parewa Adam masih sering terlongsong walau telah mengaji dan
tinggal di Balingka. Salah salah banyak orang kena kakinya. Menghadapi
perangai muridnya, Inyiak Daud yang juga pandeka tahu persis. Di depan
orang banyak guru yang arif itu justru membela Adam walaupun bersalah.
Beberapa kali peristiwa pembelaan serupa itu membuat Adam malu dan ragu.
Akhirnya ia menghadap gurunya. Ia akui bahwa dialah yang menyebabkan
cakak.
Pakk! Inyiak Daud menampar muridnya. “Tahu bersalah kok tak mengaku sejak awal,” katanya berang.
Pendekatan yang diambil Inyiak Daud dalam mendidik muridnya menimbulkan
hubungan guru murid yang akrab, dan kecintaan murid yang dalam terhadap
gurun¬ya.
SURAU PASAR BARU
Tahun 1914 Adam diantar Inyiak Daud kembali ke Padangpanjang untuk
belajar ke Surau Inyiak Jaho, karena musibah galodo mempor¬ak porandakan
surau Balingka hingga semua murid pulang ke kampung masing masing.
Adamlah yang tetap setia menemani gurunya.
Tidak sampai setahun belajar pada Syekh Muhammad Jamil Jaho, Adam mulai
merasa cukup mantap untuk membuka surau sendiri. Tahun 1916 Adam mulai
merintis sebuah halaqah sederhana di Kampung Pasar Baru Padangpanjang.
Di bawah pengawasan Syekh Daud Rasjidi, 1920 halaqah itu kemudian
diresmikan menjadi sebuah surau, populer disebut SPB singkatan: Surau
Pasar Baru. SPB tidak lain dari obsesi keulamaan dan dan kependekaran
Adam.
Orientasi Pendidikannya ditekankan pada penanaman aqidah yang didukung
dengan ilmu ilmu agama, pembinaan fisik dan mental melalui latihan
silat, dilengkapi pula dengan pelajaran kesenian dan ketrampilan.
Lulusan ideal surau yang diinginkan Syekh Adam BB ialah kombinasi ulama,
pandeka dan jiwa seni yang mandiri dan terampil, seperti¬tergambar pada
profil dirinya.
Tahun 1929 setelah masuknya sistem pendidikan moderen, SPB dikembangkan
menjadi sistem klasikal, yang kemudian dinamakan Madrasah Irsyadin Naas
(MIN). MIN, yang hingga kini tetap eksis, pada paruh awal abad ke 20
merupakan satu dari empat madrasah terkemuka di Padangpanjang.
Berdampingan dengan perguruan Diniyah Puteri, Thawalib dan perguruan
Muhammadiyah.
Dakwah Ulama yang Pandeka
Semangat anti penjajah yang tertanam kuat dalam diri Syekh Adam BB
mempengaruhi perjalanan madrasah yang dipimpinnya. Ketika pemberlakuan
Wilde Scholen Ordonantie oleh Kolonial, guru MIN diintimidasi dan
sebagian ditangkap. Sewaktu Jepang masuk, Syekh Adam BB langsung masuk
daftar hitam. Beliau dikejar kejar tentara Jepang, hingga beliau
terpaksa tinggal di sebuah bukit kawasan Agam. Ketika Agresi Belanda,
Syekh Adam BB menjadikan gedung MIN sebagai dapur umum dan markas
perlawanan. Di sana diatur taktik untuk menghancurkan konvoi musuh.
Cara yang ditempuh Syekh Adam BB mengajak orang ke jalan Islam
menggambarkan sifatnya yang konsisten, keras tapi lugas dan sederhana.
Suatu kali beliau menegur seorang pemuda bagak. “Kenapa tidak shalat?,”
tanyanya tajam.
“Tidak punya kain sarung, Mak Adam,” jawab sang pemuda.
“Ini sarung, shalatlah!,” tukas Syekh Adam BB sembari menyerahkan sarung yang melilit bahunya.
“Ini sarung, shalatlah!,” tukas Syekh Adam BB sembari menyerahkan sarung yang melilit bahunya.
Suatu kali beliau diberitahu Bung Hatta, proklamator RI, bahwa banyak
anak anak dhuafa di Mentawai yang dipengaruhi Missionaris. Syekh Adam BB
langsung berangkat ke kepulauan masyarakat terbela¬kang itu, mengambil
dan membawa 18 orang anak ke Padangpanjang untuk dijadikan anak asuh.
Mereka bergabung dengan anak anak yatim dan miskin yang telah beliau
tampung sebelumnya. “Anak anak itu diberi makan oleh Allah,” tukas Syekh
Adam BB, setiap kali orang bertanya bagaimana ia memelihara anak anak
itu. Syekh Adam BB memperlakukan anak anak asuhnya sebagaimana anak
kandung sendiri. Sama makan, tempat tinggal, jatah pakaian dan keperluan
lainnya.
Pada kali lain, merebak perjudian di Padangpanjang. Syekh Adam BB minta
bertemu gubernur. “Tuan seorang gubernur, kenapa orang berjudi saja Tuan
tak bisa melarang?!” tanyanya. Besoknya segala bentuk perjudian di
Padangpanjang digrebek atas perintah guber¬nur.
Pribadi yang Mandiri
Sebagai seorang ototidak, di samping terus menambah wawasan pengetahuan,
Syek Adam BB rajin mempelajari dan memratekkan macam macam kerajinan
industri kecil. Itu adalah di antara cara hidup mandiri yang telah
mempribadi pada dirinya. Malah sampai usia lanjut, beliau tetap
produktif; berusaha tidak meminta pada orang lain untuk menghidupi diri,
anak dan istri, serta anak anak asuh yang ditampungnya, bahkan untuk
mengayuh jalannnya madrasah.
Sampai akhir hayatnya, keberadaan Syek Adam BB begitu berarti bagi
masyarakat Padangpanjang khususnya, dan Minangkabau umumnya. Jiwa
pendekarnya selaku ulama ternyata sangat diperlukan dalam masyarakat
zamannya. Pada zaman penjajahan dan awal kemerdekaan, di mana banyak
orang melarat sebanyak orang menindas, sebanyak perjuangan menegakkan
kebenaran sebanyak itu pula kemungkaran.
Jejak jejak Syekh Adam BB hingga kini masih membekas jelas di Padangpanjang.
HMD DT.PALIMO KAYO (1905 – 1985)
Buya Datuk, Profil Tokoh Ulama dan Adat
Buya Datuk, Profil Tokoh Ulama dan Adat
Dalam kesejukan pagi, pada tanggal 17 Shafar 1321 H, bertepatan dengan
tanggal 10 Maret 1905 di Pahambatan, Balingka, Kecamatan IV Koto
(Kabupaten Agam) lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama
Mansur. Orang tua berbahagia yang menyambut kelahir¬an putranya kala itu
adalah Syekh Daud Rasyidi dan Siti Rajab. Sebagai kepala keluarga,
Syekh Daud Rasyidi sudah mengarahkan anaknya supaya taat beragama.
Selain itu Syekh senantiasa beru-paya agar semua anak anaknya antara
lain; Anah, Mansur, Miramah, Sa’diah, Makmur dan Afifah agar giat
belajar.
Salah seorang putranya yaitu: Mansur Daud kemudian tumbuh dalam kerangka
kemungkinan yang diberikan oleh latar belakang budaya serta lingkungan
keluarga di sekitarnya.
Cikal Bakal Seorang Pemimpin Muslim
Pembentuk pribadi muslim yang pengaruhnya langsung terhadap Mansur Daud
sudah diberikan oleh ayahnya, yang pekerjaannya memang memberikan
pengajian dan ceramah ceramah agama. Besarnya perhatian dalam keluarga
terhadap pendidikan ini memacu semangat Mansur Daud untuk terus menekuni
Islam.
Walaupun waktunya juga dibagi untuk kegiatan keseharian yang lainnya,
tetapi, cikal bakal dirinya sebagai seorang pemimpin Muslim sudah mulai
terlihat.
Usia tujuh tahun memasuki sekolah Desa di Balingka pada tahun 1912.
Pendidikan ini hanya diikuti selama satu tahun. Selanjutn¬ya, beliau
pindah ke Lubuk Sikaping dan melanjutkan ke Gouvern¬ment School sampai
tahun 1915.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.
Mansur Daud meninggalkan Lubuk Sikaping, kemudian mempelajari agama Islam secara khusus di perguruan Sumatera Thawalib pada tahun 1917. Beliau langsung mendapat pendidikan dari ulama besar Haji Abdul Karim Amrullah (HAKA), sementara tetap mempelajari mata pelajaran agama pada Perguruan Islam Madrasah Diniyah di bawah asuhan Zainuddin Labay El Yunusi. Hampir seluruh waktunya diisi dengan mempelajari pendidikan agama Islam.
Ke Mekah dan Mengembara Semasa Muda
Usia Mansur Daud masih begitu muda ketika naik haji pada tahun 1923.
Dalam usia yang belum cukup dua puluh tahun, beliau sudah menginjak kota
suci Mekah serta langsung belajar agama Islam dengan Syekh Abdul Kadir
Al Mandily. Salah seorang Imam Masjidil Haram itulah yang mendidik
Mansur Daud selama lebih kurang satu tahun. Tetapi, lantaran adanya
perang saudara di Mekah kala itu, Mansur Daud terpaksa kembali pulang ke
Indonesia.
Kepulangan itu mengantarkannya kembali menuntut ilmu di perguruan Islam Sumatera Thawalib, Parabek Bukittinggi.
Selama tahun 1924, Mansur Daud mendalami agama di perguruan Islam yang
diasuh oleh Ibrahim Musa Parabek. Suasana politik yang tak menentu,
yakni menyebarnya pengaruh komunis ke dalam perguruan Sumatera Thawalib,
membuat Mansur Daud memutuskan untuk menghin¬darinya.
Tahun 1925, Mansur Daud berangkat ke mancanegara, menuju India. Langkah
ini ditempuhnya guna menghindari pengaruh komunis kala itu. Di Negeri
itu Mansur Daud kembali pada dunia yang dihadapin¬ya selama ini. Beliau
belajar agama di Perguruan Islam Tinggi (Jamiah Islamiyah), Locknow,
India. Abdul Kalam Azad sebagai Pemimpin perguruan tersebut langsung
jadi pengasuh sekaligus pengajarnya.
Selanjutnya, H. Mansur Daud melanjutkan belajar agama pada Isla¬mic
College di Heydrabad, India. Dua bersaudara yang memimpin perguruan itu;
Maulana Syaukat Ali dan Maulana Muhammad Ali cukup dikenal, sehingga
mereka dijuluki Two Brother oleh masyara¬kat. Serupa namanya, perguruan
tinggi agama Islam yang mereka pimpin juga cukup dikenal oleh
masyarakat, terbukti banyak murid yang datang dari luar India. H. Mansur
Daud adalah salah seorang diantaranya.
Selama lebih kurang 5 (lima) tahun, H. Mansur Daud mengembara, menuntut
ilmu di India. Pengembaraanya buat sementara ke mancane¬gara usai.
Beliau pulang dan sempat singgah di Malaysia. Beliau langsung ke pulau
Jawa.
Periode Aktifitas Organisasi
Setiba di Jawa Haji Mansur Daud bertemu dengan sejumlah tokoh pimpinan
organisasi dan politik antara lain: H.O.S. Cokroaminoto, H. Agus Salim,
K.H. Ahmad Dahlan, dan K.H. Fakhruddin. Sejak bergabung dengan beberapa
tokoh itu, beliau terpacu untuk berki¬prah dalam organisasi.
Aktifitas organisasi yang telah dimulainya sekembali dari India sejak
tahun 1930 diwujudkan dalam suatu kongres di Sumatera Thawalib,
Bukittinggi.
Kongres di Sumatera Thawalib itu mewujudkan Persatuan Muslim Indonesia
(PMI). Peranan H. Mansur Daud dapat dikatakan penting. Terbukti dari
Jabatan Sekretaris umum yang dipegangnya pada PMI sejak didirikan tahun
1930. H. Mansur Daud kemudian berperan dalam membentuk partai politik
Indonesia yaitu Persatuan Muslim Indonesia (PERMI).
Periode penjajahan Jepang memperlihatkan kemajuan aktifitas H. Mansur
Daud. Salah satu upayanya adalah membentuk badan koordi¬nasi alim ulama
Minangkabau. Badan itu, Majlis Islam Tinggi (MIT), diketuai pertama kali
oleh Sykeh Sulaiman Ar Rasuli, yang lebih dikenal dengan Inyiak
Canduang.
Penjajahan Jepang membuat rakyat begitu menderita. MIT seolah menjadi tempat mengadu bagi rakyat.
Jepang yang berupaya menghapus organisasi seperti Muhammadiyah dan
Persatuan Tarbiyah Islamiyah, seolah luput mewaspadai Majlis Tinggi
Islam. Tokoh ulama yang duduk dalam MIT sangat berpengar¬uh dalam sepak
terjang pejuang ketika berhadapan dengan pihak Jepang kala itu.
Kiprah dalam Agama dan Adat
Sejalan dengan kekalahan tentara Jepang, dan keberhasilan Bangsa
Indonesia merebut kemerdekaan membuat segenap warga ingin
menda-rmabaktikan perjuangannya. H.Mansur Daud menggiatkan kiprahnya di
bidang agama lewat dakwah dan ceramah di mesjid mesjid. Muncul sebagai
mubalig dan seorang tokoh Islam yang memperjuangkan hak hak rakyat
kecil.
H. Mansur Daud, tetap eksis,terutama sejak M.I.T difusikan ke Majlis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) di Yogyakarta pada bulan Februari
1946.
H. Mansur Daud cukup didengar dan dihargai pendapatnya. Didahulu¬kan
selangkah, ditinggikan seranting oleh anak kemenakan. Disera¬hi posisi
penting dalam adat sebagai seorang ninik mamak. Gelar adat yang kemudian
dipangkunya adalah Datuk Palimo Kayo.
Posisinya dalam raad (Dewan) Nagari dimanfaatkannya untuk
memu-syawarahkan soal harta pusaka bersama ninik mamak pada 2 4 Mei 1953
di Gedung Nasional Bukittinggi. Beliau juga melakukan akti¬fitas lain
dalam usaha meningkatkan dan mensejahterakan masyara¬kat khususnya di
Minangkabau. Upaya yang dilakukannya meliputi; pembangunan masjid,
mushalla maupun sekolah agama.
Hal terpenting, beliau sangat memperhatikan soal persatuan khu¬susnya sesama alim ulama.
Semangat dan Pengabdian
Kegiatan di bidang politik semakin membawa HMD Datuk Palimo Kayo menjadi
tokoh teras melalui semangat dan pengabdian yang ia curahkan. Terbukti
ketika dirinya dipercaya sebagai Ketua umum Masyumi wilayah Sumatera
Tengah.
Salah satunya karyanya adalah membentuk markas Perjuangan Hizbul¬lah
guna mewaspadai kembalinya penjajah, meskipun Bangsa Indone¬sia telah
memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Saat Masyumi mendapat
tempat dengan keikutsertaan pada pemilihan umum pertama pada tahun 1955,
HMD Datuk Palimo Kayo duduk di parlemen selama setahun sampai tahun
1956.
Karir politik HMD Datuk Palimo Kayo di tataran negara semakin melesat
ketika pemerintah menunjuknya sebagai Duta Besar (Dubes) Republik
Indonesia (RI) untuk negara Irak sampai tahun 1960.
Sekembali dari Irak, mengakhiri tugas sebagai duta besar, ia menyaksikan
partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Antara
tahun 1961 1967 HMD Datuk Palimo Kayo aktif berdakwah dan menekankan
peningkatan kemakmuran umat. Dewan Dakwah Islamiyah yang diketuai
Mohammad Natsir juga turut dirancang Buya Datuk sejak didirikan pada
tahun 1968.
Tanggal 3 Januari 1968, beliau turut mendirikan Yayasan Rumah Sakit
Islam (YARSI). Upaya yang dilakukan melalui wadah sosial serupa itu
kemudian semakin melengkapi pengabdian HMD Datuk Palimo Kayo dalam
memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Bidang pendidikan turut jadi perhatian beliau. Bersama sama guru agama
Islam beliau melangsungkan rapat pada 17 Desember 1978. Persatuan Guru
guru Agama Islam (PGAI) berupaya mengembangkan dunia pendidikan yang
selama ini dipandang sangat strategis melahirkan tokoh tokoh besar.
Riwayat hidup HMD Datuk Palimo Kayo yang begitu sarat dengan segala
bentuk aktifitas memang layak mendapat perhatian secara ilmiah. Sejumlah
kalangan yang dekat, baik dari keluarga maupun sesama ulama sangat
menghargai keberadannya. Kalangan akademik kemudian menjadikan sosoknya
sebagai sumber tulisan ilmiah seka¬ligus mencermati kiprahnya sepanjang
hayatnya. Pihak pihak lain yang memberikan semacam kerangka penilaian
tentang eksistensinya. Mengutip Sastrawan sekaligus Budayawan AA Navis
dalam tulisan Marthias D. Pandoe tentang Buya HMD Datuk Palimo Kayo,
“sebagai seorang ulama yang konsekuen dengan pendiriannya walau apapun
dihadangnya. Imannya kuat, tidak dapat dibeli dengan kedudukan maupun
uang. Mungkin riwayat hidupnya yang penuh pengalaman itu menjadikannya
tangguh”, (Kompas, 26 Juli 1981).
Kelangkaan akan keberadaan ulama sekaliber HMD Datuk Palimo Kayo kiranya
jadi titik tolak untuk mengenang tokoh ulama ini. Sungguh layak riwayat
hidup beliau ditulis di tingkat perguruan tinggi seperti yang telah ada
berupa “Biografi”, yang disusun Linda Fauzia dalam tugas akhirnya untuk
meraih sarjana, dengan anali¬sisnya; “Buya Haji Daud Datuk Palimo Kayo:
Profil Seorang Ulama dan Penghulu di Minangkabau.” (Fakultas Sastra
Universitas Andalas Padang, 1993).
Hingga akhir hayatnya, Buya HMD Datuk Palimo Kayo senantiasa teguh dalam
sikap telitinya, meskipun terhadap hal sekecil seka¬lipun. Kenyataan
tersebut diungkapkan oleh seorang mubalig yang giat mensyiarkan Islam H.
Mas’oed Abidin. Tokoh ulama besar ini telah meninggalkan kita buat
selama lamanya pada tahun 1988. Namun selama hayatnya beliau tetap
memacu semangat dan militansi Islam yang tak kunjung padam.
Syekh Haji Zainuddin Hamidy (1907 1957)
Ulama Diplomat Anti Kekerasan
Ulama Diplomat Anti Kekerasan
Syekh Haji Zainuddin Hamidy lahir pada 8 Februari 1907 di Koto Nan
Ampek, Payakumbuh. Ayahnya adalah Abdul Hamid yang dikenal sebagai
“orang bagak,” yakni julukan yang diberikan kepada pemuda Minangkabau
yang disegani karena keberanian dan ilmu beladirinya.
Kecintaan pada Ilmu Pengetahuan
Setelah menamatkan Gouvernement di Payakumbuh, Zainuddin melan-jutkan
pendidikannya ke Madarasah Thawalib Darul Funun el Abbas¬siyah di Padang
Japang. Kecintaan Zainuddin muda kepada ilmu pengetahuan tampak pada
kegiatannya untuk senantiasa menuntut ilmu kapan dan di mana saja. Jika
pulang kampung dalam masa libur di darul Funun, misalnya, Zainuddin
mendatangi Tuangku Karuang di Batang Tabik untuk mengaji. Di Batang
Tabik ini Zainuddin berke¬nalan dengan H Fachruddin HS, yang kemudian
menjadi kawan yang akarab dalam perjuangannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Darul Funun, Zainuddin lang¬sung
diminta Syekh Abbas Abdullah mengajar di madrasah itu. Namun tak lama
kemudian, karena merasa ilmunya belum cukup, Zainuddin memilih
melanjutkan pendidikan ke Mekah. Tahun 1927 Zainuddin berangkat ke Mekah
dan belajar di Ma’had Islamy. Di perguruan yang terkenal itu Zainuddin
belajar selama lima tahun.
Kembali ke Tanah Air pada 1932, Zainuddin diminta mengajar di Diniyah
School. Pada masa itu Diniyah School adalah perguruan Islam terkemuka di
Payakumbuh yang didirikan Engku Mudo Hamzah dan Engku Mudo Muhammad.
Kiprah di Dunia Pendidikan
Karena prestasi dan kepercayaan para pendiri Diniyah School pada Syekh
Zainuddin, kepemimpinan perguruan itu kemudian diamanahkan kepadanya.
Sejalan dengan idealisme keilmuan yang dituntutnya di Ma’had Islamy
Mekah, nama perguruan Diniyah School diganti dengan Ma’had Islamy
Payakumbuh.
Di bawah kepemimpinan Syekh Zainuddin Hamidy, Ma’had Islamy Payakumbuh
berkembang dengan sangat pesat. Pada 1936 jumlah pelajar Ma’had lebih
700 orang. Melihat perkembangan murid yang menggembirakan itu, Zainuddin
mengambil inisiatif untuk membangun gedung belajar yang lebih besar. Di
atas tanah wakaf keluarga Dt Rajo Basa dan pembelian Zainuddin sendiri,
di Koto Nan Ampek Payakumbuh, dibangunlah gedung Ma’had Islamy yang
tergolong megah untuk saat itu. Malang tak dapat ditolak, begitu gedung
hampir rampung, angin topan yang sangat kencang merobohkan gedung itu.
“Asa Rabbuna an yubdilana khairan minha,” ucap Syekh Zainuddin Hamidy
dengan ikhlas, semoga Allah memberi gantinya dengan yang lebih baik.
Meski gedung porak poranda namun pendidikan jalan terus. Dalam masa yang
sulit itu tekanan dari pihak kolonial datang pula. Belanda memasukkan
coro (kakitangan) dengan menyamar menjadi murid di Ma’had Islamy untuk
memata matai guru guru yang berbi¬cara menentang kolonial.
Semua cobaan itu dihadapi Zainuddin Hamidy dengan sabar dan tawa¬kal.
Beliau mencoba terus berbuat. Bersama Nashruddin Thaha dan kawan
lainnya, Zainuddin ikut mempelopori berdirinya Training College
Payakumbuh.
Bidang pendidikan memang telah menjadi fokus perhatian utama Syekh
Zainuddin Hamidy dalam perjuangannya. Selain mengajar dan memimpin
Ma’had Islamy, Syekh Zainuddin juga mengajar di SMI, PGA dan SGHA
Bukittinggi. Beliau juga ikut mengasuh Training College.
Untuk meningkatkan pengetahuan agama murid muridnya, Syekh Zai-nuddin
Hamidy membuka pengajian halakah. Pengajian secara berkala itu diikuti
guru guru dan murid murid kelas terakhir Ma’had Islamy. Pengajian ini
terutama berorientasi pada rangsangan dan gairah berpikir.
Syekh Zainuddin Hamidy dikenal luas sebagai ahli agama, hafidz, ahli
hadits, pengarang di samping sebagai tokoh pendidikan. Sering pula
beliau disebut sebagai politikus, organisator, pemi¬kir yang
berpandangan jauh ke depan dan berpikir jernih. Beliau orang yang
konsekuen, tegas dan ramah. Sebagai pengarang beliau menerjemahkan dan
menulis beberapa buku, antara lain, terjemahan Al Quran Kariem,
terjemahan Shahih Bukhari, terjemahan Hadits Arbain, Musthalah Hadits
dan Kitab At Tauhid.
Lima Sekawan
Pada tahun 1930 an di Payakumbuh muncul Kelompok Lima Serangkai.
Kelompok ini terdiri dari tokoh tokoh terkemuka yang secara rutin
bertemu dan berdiskusi tentang masalah masalah umat dan langkah langkah
perjuangan. Kelompok lima itu tediri dari Syekh Zainuddin Hamidy,
Fachruddin HS Dt Majo Indo, Arisun St Alamsyah, H Nasrud¬din Thaha dan H
Darwis Taram Dt Tumanggung. Lima sekawan inilah kekuatan yang
mengerjakan perlawanan terhadap kaum penjajah. Dari lima orang tokoh itu
Syekh Zainuddin Hamidy lebih dituakan dalam memutuskan masalah masalah
yang pelik, karena ilmu beliau lebih dalam.
Bersama teman temannya, Syekh Zainuddin Hamidy mendirikan PERMI di
daerah 50 Kota. PERMI kemudian berubah menjadi MIT, dan akhirnya menjadi
MASYUMI hingga wafat beliau.
Pada masa penjajahan Jepang, Syekh Zainuddin menjadi Gyu Gun Ko En Bu.
Di zaman awal kemerdekaan Syekh Zainuddin menjadi ketua Komite Nasional
Indonesia Kab. 50 Kota, di samping aktif dalam Panitia Dana Emas
Perjuangan. Dalam perjuangan fisik, Syekh Zainuddin Hamidy juga
mengambil peranan penting. Beliau mengge¬lorakan semangat jihad para
lasykar pejuang yang dikirim ke fron pertempuran. Ketika Agresi Belanda
II Syekh Zainuddin Hamidy ikut perang gerilya. Saat itu Ma’had Islamy
ditutup.
Diutus Menghadap Soekarno
Pada tahun 1950, Syekh Zainuddin Hamidy kembali membuka Ma’had Islamy.
Ketika itu terjadi ketegangan dan konflik antara pemerintah daerah
dengan Pemerintah Pusat. Dalam hal ini Syekh Zainuddin berperan dalam
upaya penyelesaian. Di sini tampaklah bahwa bahwa beliau orang yang
moderat dan anti kekerasan.
Tahun 1957 Syekh Zainuddin Hamidy diutus Pemerintah Daerah untuk
berunding dengan Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta. Kembali
dari perundingan itu, suatu kali beliau berkata pada isterinya:
“Usul awak kurang dapat perhatian Presiden Soekarno, barangkali akan
terjadi perang saudara. Tapi awak jangan melihat hendaknya.”
Pagi hari Jumat tanggal 29 Maret 1957, Syekh Haji Zainuddin Hamidy
meninggal dunia, berpulang ke Rahmatullah. Kepergian beliau begitu tiba
tiba, tanpa menderita sakit. Bahkan pada malamnya beliau masih
menghadiri pertemuan bersama Kol M Simbolon dan tokoh tokoh lain di
Gedung Pertemuan Payakumbuh.
Masyarakat kehilangan seorang ulama modern, pembaharu, serta seorang
idealis yang hidup sederhana. Hamka bertutur:”…Ustadz Syekh Haji
Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Percakapan dari mulutnya
hanya satu satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak
berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum.
Senyum yang mengandung seribu satu arti…”
Hamka
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik
bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik
dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir
pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat,
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik
bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik
dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir
pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat,
Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali
sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
HAMKA mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Meninjau sehingga
Darjah Dua. Ketika usia HAMKA mencecah 10 tahun, ayahnya telah
mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA telah
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti
pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal
seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Kerjaya HAMKA bermula sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan
Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929.
HAMKA kemudian dilantik sebagai pensyarah di Universitas Islam, Jakarta
dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga
tahun 1958. Setelah itu, beliau dilantik sebagai Rektor Perguruan Tinggi
Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustapo, Jakarta. Dari tahun
1951 hingga tahun 1960, beliau dilantik sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jawatan apabila Sukarno
memberi kata dua sama ada menjadi pegawai kerajaan atau bergiat dalam
politik Majlis Syura Muslim Indonesia (Masyumi).
HAMKA lebih banyak belajar sendiri dan melakukan penyelidikan meliputi
pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti falsafah, kesusasteraan,
sejarah, sosiologi dan politik, sama ada Islam ataupun Barat. Dengan
kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya
ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-’Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal.
Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis,
Inggeris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Freud, Toynbee,
Jean Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. HAMKA juga rajin membaca dan
bertukar-tukar fikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Chokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fakrudin, Ar Sutan Mansur
dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi
seorang pemidato yang handal.
HAMKA juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah.
Beliau menyertai pertubuhan itu mulai tahu 1925 bagi menentang khurafat,
bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun
1928, beliau mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada
tahun 1929, HAMKAmendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua
tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makasar. Kemudian
beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera
Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S. Y. Sutan Mangkuto
pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres
Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, HAMKA
dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Julai
1957, Menteri Agama Indonesia iaitu Mukti Ali melantik HAMKA sebagai
ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak
jawatan pada tahun 1981 kerana nasihatnya diketepikan oleh kerajaan
Indonesia.
Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi
anggota parti politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu
menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato
dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947,
HAMKA dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama
dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh
pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966,
HAMKA telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh
pro-Malaysia.
Karena dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA
dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia,
anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan
Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang
wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, HAMKA
menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan
Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau
menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga
pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan
Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti
novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5
jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan
menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau
ke Deli.
HAMKA pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
antarabangsa seperti anugerah kehormat Doktor Honoris Causa, Universiti
al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universiti Kebangsaan Malaysia,
1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada kerajaan
Indonesia.
HAMKA telah pulang ke rahmatullah pada 24 Julai 1981, namun jasa dan
pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam.
Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan
di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara,
termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Dr. H. Mohammad Natsir (1908 – 199)
Bumi Minangkabau, tepatnya Kampung Jambatan Baukia Alahan Panjang,
negeri dingin di balik Gunung Talang Solok menjadi saksi kelahiran
Pembawa Hati Nurani Ummat, tokoh yang kemudian mendunia, pemikir dan
pemimpin politik , Mohammad Natsir, pada 17 Juli 1908. Putra Sutan Sari
Pado dan Khadijah yang kemudian menjadi tokoh nasional bahkan aset
internasional dari berbagai segi: agama, politik, sosial budaya, ilmu
pengetahuan, ketelada¬nan, pemikiran, bahkan menjadi mata air kajian
ilmiah dalam berbagai seminar, simposium, untuk skripsi, thesis serta
diserta¬si para doktor berbagai disiplin ilmu.
Masa kanak kanak beliau lalui di tengah pergolakan pemikiran para tokoh
besar pembaharu dari Ranah Minang. Belajar di pendidikan dasar Sekolah
Belanda, Natsir kecil dengan tekun mengikuti gebrakan para tokoh besar
di negerinya. Dari usia delapan tahun (1916) sampai 15 tahun (1923)
Natsir remaja menggali kekayaan para ulama itu di HIS Adabiyah Padang
dan Madrasah Diniyah Solok.
Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidikan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Bandung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Natsir aktif dalam Jong Islamiten Bond Padang sewaktu melanjutkan pendidikan ke MULO Padang tahun 1923. Masih dalam jalur pendidikan Belanda, beliau melanjutkan pendidikan ke AMS (A2) di Bandung. Kesempatan tersebut membawa beliau berkenalan dengan ustaz A. Hassan, tokoh PERSIS (Persatuan Islam) garis keras, yang membimbing beliau melakukan studi tentang Islam. Dengan ustaz ini beliau mengelola majalah “Pembela Islam” sampai tahun 1932.
Natsir secara formal mengikuti pendidikan barat di sekolah sekolah
Belanda. Beliau selesaikan pendidikan Al Gemene Middel School di Bandung
dalam kajian Kesusastraan Barat Klasik.
Sebenarnya beliau punya kesempatan memperoleh besiswa untuk melanjutkan
sekolahnya ke Leiden pada pendidikan yang lebih tinggi. Namun beliau
memilih mendalami kajian keagamaan melalui ustaz A. Hassan yang dikenal
dengan ulama yang berpaham radikal dan jadi sesepuh organisasi sosial
keagamaan. Beliaupun menolak tawaran bekerja sebagai pegawai negeri
pemerintah Hindia Belanda dan lebih tertarik menekuni dunia pendidikan.
Obsesi itu membuat ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam di Bandung
sekaligus menjabat Direktur dari tahun 1932 1942.
Keluasan wawasannya mencuat kepermukaan setelah dapat menguasai beberapa
bahasa asing sebagai alat untuk menggali buku buku tokoh kelas dunia.
M. Natsir mulai berkecimpung dalam dunia politik setelah beliau menjadi
anggota PII (Partai Islam Indonesia) pada awal tahun 40 an, memimpin
organisasi yang terkenal radikal untuk bumi pancasila. Majelis Al Islam
A’la Indunisiya (MIAI) semakin berkiprah setelah kepemimpinannya. Bahkan
dalam masa penjajahan Jepang ( 1942 1945) sesepuh dari berbagai
kalangan ini masih sempat jadi kepala bagian kodya Bandung sekaligus
merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) Jakarta. Di samping itu
dalam masa Pemerintah Jepang terbentuklah Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia) di bawah kepemimpinannya. Kiprah politiknya semakin
menanjak semenjak beliau tampil jadi anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) pada tahun 1945 1946 dan menjabat anggota DPR sementara di
tahun 1948 menjabat sebagai Menteri Penerangan. Karier politiknya sampai
ke puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan Republik
Indonesia. Peranan beliau amat menentukan dalam penyelamatan Republik
Proklamasi di tahun 50 an. Mosi Integrasinya adalah manuver politik yang
mengantarkan dia menjadi Perdana Menteri pada usia 42 tahun.
Ibarat roda, kariernya sebagai politikus mengalami pasang surut setelah
bergesekan dengan dinding kekuasaan yang waktu itu beratribut Demokrasi
Terpimpin yang menjadikan angin segar bagi Komunis untuk menyibakkan
sayapnya di persada ini. Di tengah gelombang politik yang semakin
mengempas ia terdampar di pantai oposan yang digerakkan oleh para
Panglima militer di berbagai daerah dengan wujud PRRI ( Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia). Dengan hadirnya beliau di barisan
oposisi ini, kom¬plik semakin merebak hingga agresi fisik dan bentrokan
senjata tidak bisa dihindari.
Dengan tuduhan subversif, Natsir terpaksa meringkuk di belakang terali
besi selama 7 tahun, tanpa proses peradilan. Setelah mengalami karantina
politik di Batu Malang Jawa Timur, dengan perpanjangan tahanan politik
berakhir tahun 1966 di Rumah Tahanan Militer (RTM), Jakarta. Natsir
menghirup udara kebebasan setelah Presiden Soekarno jatuh dari kursi
kepresidenannya.
Sebagai seorang da’i, panutan umat ini tampil meyuarakan nurani umat kendatipun kadang kadang dengan mempergunakan nama samaran.
A. Moechlis adalah nama samaran yang sangat produktif di majalah
“Pembela Islam” awal tahun 1930 an. Ia tampil meneriakkan berba¬gai
masalah umat dalam berbagai forum yang berkaitan dengan hubungan inter
dan antara umat beragam, politik, kebudayaan, ekonomi dan berbagai
dilema yang tersentuh oleh realitas yang kadang kadang sempat menyentuh
hal hal sensitif sehingga ia harus berhadapan dengan pemegang kekuasaan.
Di samping sebagai Ketua Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sejak tahun
1967 sampai akhir hayatnya, kepiawaiannya sebagai seorang pemikir dan
aktivis dakwah tidak hanya di negeri tercinta ini akan tetapi
cendikiawan kawakan ini juga mempunyai reputasi dalam harokah
(pergerakan) Islam International. Aktif sebagai anggota Muslim League
Makkah (1969 1993), berkiprah di Majlis A’la Al Alamy li Masjid di
Makkah kemudian menjabat wakil presi¬den World Moeslim Congress
(Muktamar Alam Islami) Karachi di Pakistan (1967 1993). Iapun ikut
membidani The International Islam Charitable Foundation, Kuwait dan
Oxford Center For Islamic Studies di Inggris.
Menyoroti pola pikirya yang multi dimensi menyebabkan ia harus dilihat
dari perspektif yang setaraf dengan beberapa pemikir Islam terkemuka di
abad ini seperti Hasan Al Banna, Said Hawa, Said Quth Al Maududi dan
tokoh reformis lainnya.
Sebelum melambaikan tangan selamat tinggal pada 6 Februari 1993 di
Jakarta, tokoh kawakan ini masih sempat meninggalkan jejak perjuangan
berupa khazanah intlektual dan buku buku yang bernuan¬sa dakwah seperti
Fiqhud Dakwah, Islam dan Akal Merdeka, Fungsi Dakwah Perjuangan, Tugas
Ulama, Kapita Selecta dan masih banyak lainnya.
Di Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) beliau juga meninggalkan aset
kekayaan ilmiah dan ruhiyah yaitu dengan hadirnya majalah Serial Media
Dakwah, Suara Mesjid, Serial Khutbah Jum’at, majalah “Sahabat” untuk
anak anak serta Bulletin Dakwah sebagai penyiram hati umat yang gersang
dengan siraman rohani.
Tokoh yang tidak pernah absen dalam sejarah ini telah memberi warna
tersendiri dalam dunia perpolitikan di negara iklim tropis ini sehingga
ia jadi tempat bertanya dari berbagai kalangan. Pak Natsir memang punya
peran khusus yang tidak bisa dilupakan oleh sejarah, umat Islam, bangsa
dan negara. Selamat jalan Pak Natsir semoga sepak terjangmu mampu
membangkitkan ghirah pemuda negeri ini hingga mampu berdiri menantang
dan menyuarakan suara kebenaran. Di sini telah menunggu para natsir
natsir muda untuk melanjutkan perjuanganmu yang harum semerbak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar